Dari Mata Yang Berbeda

.
.
Dari Mata Yang Berbeda

Malam yang indah dengan ditemani siraman cahaya rembulan. Angin malam berhembus pelan menembus tubuhku. Tanpa berpikir dua kali, aku keluar dari persembunyian. Sejenak kuedarkan pandangan untuk menentukan jalan mana yang akan kutempuh.

Baru beberapa meter, mataku menangkap sepasang kekasih yang sepertinya sedang berkencan. Terlintas pikiran jail di otakku untuk mengganggu mereka. Sasaran empuk!

“Kau keterlaluan!”
Teriakan itu menarik perhatianku. Tanpa kusadari, pandanganku telah teralih pada asal teriakan tersebut.
“Kau pengkhianat, Alex!” Seorang gadis berteriak di tengah tangisnya. Tak dihiraukan orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya. Pandangan gadis itu hanya fokus pada lelaki yang kurasa bernama Alex itu.
“Maafkan aku!” Nada bersalah terdengar jelas dari kalimat yang dilontarkan lelaki itu. Tiba-tiba ia menundukkan kepala, mungkin tak sanggup menatap gadis yang sedang menangis frustasi di hadapannya.
Tangis gadis itu semakin menjadi. Membuatku ikut merasakan betapa besar sakit yang dirasakannya. “Kau tega” Ucapnya serak
Terdengar hembusan pelan dari mulut lelaki itu. “Maafkan aku, Zea. Aku tidak mencintaimu lagi. Kuharap kau mengerti”
Tanpa diminta, tamparan keras mendarat di pipi lelaki itu. Sekilas mata lelaki itu membesar, terlihat jelas keterkejutan di wajah tampannya. Tapi ia hanya bisa memejamkan mata untuk menahan rasa panas yang menjalar.
“Aku membencimu!” Desis gadis itu. Tanpa menunggu balasan, ia berlari meninggalkan lelaki yang masih terpaku di tempatnya.
Tanpa sadar kerutan tercipta di keningku. Aneh! Kehidupan manusia benar-benar aneh! Masih dalam keheranan yang menyelimutiku, tiba-tiba terdengar rintihan dari arah lain.
“Pak tolong! Saya lapar….” Seorang bocah laki-laki terduduk di trotoar sambil meremas pelan perutnya. Pakaian tak layak membalut tubuh kering kerontangnya. Sisa air mata yang mengering terlihat jelas di pipi bocah itu. Rintihan demi rintihan keluar dari mulut kecilnya, tapi tak seorang pun yang menghiraukannya. Bocah laki-laki itu seperti tak kasat mata bagi mereka.
Apa yang ada dipikiran mereka semua? Apa begitu susah mengulurkan sedikit bantuan kepada bocah tersebut? Manusia benar-benar tak berperasaan!
Aku hanya dapat menghela napas pasrah. Apa boleh buat? Aku tidak mungkin bisa membantunya. Dengan berat hati, aku meneruskan perjalananku yang sempat terhenti.

Aku melihat sebuah toko di persimpangan jalan. Toko itu sangat besar dan banyak orang di dalamnya. Dengan rasa penasaran, aku mendekati toko tersebut. Terdapat beberapa benda tak asing berbentuk kotak dengan berbagai warna, tapi mayoritas berwarna hitam. Bagian depan benda itu mengeluarkan gambar dan suara.
Awalnya aku memang sangat penasaran dengan benda itu, tapi rasa ingin tahuku tiba-tiba memudar menyadari bahwa hampir setiap hari aku melihat benda kotak itu. Di setiap rumah yang kumasuki pasti terdapat benda itu, bahkan kadang lebih dari 1 buah. Dan aku menyimpulkan, mungkin manusia bisa mati bila tidak terdapat benda itu di rumahnya.
“Kalau kau tidak mempunyai uang, jangan membeli televisi!” Bentak seorang perempuan tua
Keributan lagi? Mengapa manusia sangat menyukai keributan? Apa mereka tidak bisa menciptakan suasana yang tenang dan damai?
“Berilah sedikit potongan harga, Bu” Ucap melas seorang gadis yang berdiri di depan perempuan itu
Perempuan itu membenarkan letak kacamatanya, lalu membuka kipas yang sedari tadi digenggamnya dengan angkuh. “Tidak ada potongan! Kalau kau tidak mampu, sudah pergi sana!” Perempuan itu melenggang meninggalkan gadis yang masih menundukkan kepala di tempatnya.
Dasar perempuan tua sombong!
Dengan geram aku mendekati perempuan itu. Aku hinggap di lengan besarnya. Lengan itu terlihat sangat menggiurkan untukku. Kutancapkan mulutku dalam-dalam dan kuhisap banyak darah dari lengan perempuan sombong itu.
PLAK!
“Dasar nyamuk sialan!” Ucapnya kesal sambil memukul lengannya sendiri,
Maaf Nyonya, gerakanku terlalu kesit untuk mati di tanganmu!
Senyum licikku mengembang. Tak peduli beberapa banyak orang yang mengataiku, toh aku memang diciptakan untuk menggigit dan menghisap darah manusia. Haha.

Tanpa menghiraukan umpatan perempuan tua itu, aku keluar dari toko tersebut. Niatan untuk mendapat darah yang lebih segar masih tertancap dalam benakku. Darah segar? Mengapa aku terdengar seperti drakula yang muncul tiba-tiba dan siap menerkam leher siapapun? Tapi tentu saja aku tidak mengerikan seperti itu.

“Ayo majalah dan bukunya dipilih!” Teriak lelaki sambil menyodorkan beberapa buku kepada setiap orang yang lewat di depan kiosnya
‘Tikus Pemakan Uang Rakyat Semakin Berulah’
Ha, tikus? Aku mengerjap beberapa kali untuk memastikan tulisan besar yang tercetak di buku itu. Tikus memakan uang rakyat? Apa maksudnya?
Aku tahu tikus adalah salah satu binatang yang sering kujumpai di selokan dekat tempat persembunyianku. Dan aku juga mengetahui bahwa tikus adalah binatang yang sangat rakus tapi apakah mereka juga memakan uang? Uang rakyat, tepatnya? Sepengetahuanku, tikus hanya memakan sisa makanan di tong sampah, ya walaupun mereka suka menyelinap masuk ke dalam rumah dan menyebabkan kekacauan, seperti mencuri makanan di meja dapur atau merusak berbagai benda. Tapi aku yakin tikus tidak memakan uang.
Aku tersenyum samar. Bayangkan saja, tikus yang hanya mencuri makanan dan merusak beberapa benda saja sudah membuat semua orang ingin membunuhnya dengan segala cara. Apalagi jika tikus memakan uang –benda yang sama pentingnya sepeti udara bagi manusia-, aku tidak dapat membayangkan perlakuan kejam apa yang diterima oleh bangsa tikus. Dan tikus seperti apa yang dimaksud di sini? Apakah tikus berkumis tebal dengan dasi mahal di kemejanya? Oh tidak mungkin! Apa yang baru saja kupikirkan, mana mungkin ada tikus seperti itu.

Sebelum kepalaku bertambah pening dengan pemikiran manusia, lebih baik aku mencari tempat yang sedikit tenang. Aku menggerakkan sayapku untuk menjauh dari keramaian ini.
Samar-samar aku menangkap bayangan seseorang di rel kereta api. Apa yang dilakukannya di sana? Aku mendekati sosok tersebut. Terdengar isakan pelan saat aku berhenti di belakangnya.
Gadis itu merunduk, tangisnya semakin menjadi. Entah apa yang terjadi padanya. Dengan penasaran, aku bergerak mendekati gadis itu. Aku sedikit menelan ludah saat menatap wajahnya. Pandangannya kosong, mata bengkak, bibir kebiruan. Benar-benar pucat. Tak ada tanda-tanda kehidupan di wajah cantik itu. Putus asa Hanya itu yang tergambar jelas.
“Aku benci…” Desisnya
Benci? Siapa atau apa yang dibenci?
Tiba-tiba mataku menangkap silau cahaya dari kejauhan. Dan gadis itu merendahkan tubuhnya secara perlahan. Apa yang akan ia lakukan sih? Aku benar-benar tidak mengerti.
Aku mengerjap. Bodoh! Itu kereta api!
Mataku menatap gadis yang kini justru tiduran di atas rel itu. Gila! Ya, dia mau bunuh diri! Dasar tidak punya otak!
Aku menggerakkan sayapku cepat ke atas. Belum sempat aku berkedip, suara klakson kereta api itu berbunyi sangat keras. Namun gadis gila itu tidak menggubrisnya, ia masih dalam posisi yang sama.
Dasar manusia! Aku tak mengerti dengan manusia, sungguh makhluk yang rumit. Beruntung aku diciptakan di bumi ini sebagai nyamuk. Meskipun aku mati hanya dengan sebuah tepukan tangan, tapi aku tidak akan melakukan hal bodoh dan mengerikan seperti ini. Aku mulai meragukan jika manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Buktinya mereka selalu membuat keributan di sana-sini, kerusakan di mana-mana. Dan lihatlah! Ternyata otak mereka cukup dangkal dalam menghadapi kehidupan ini. Benar-benar menyedihkan.

Suara klakson terdengar semakin keras, sinar lampunya sangat menyilaukan. Suara gemuruh gesekan roda dan rel juga terdengar semakin jelas. Kereta api itu terus bergerak mendekat, semakin dekat, semakin dekat dan….

Gadis itu terlindas.

Aku tak tahu harus berkata apa. Udara di sekitarku seperti menghilang. Tubuh gadis itu hancur. Darah berceceran. Sungguh gadis yang malang. Semoga Tuhan mengampuni dosamu, gadis malang. Dengan sedikit limbung dan pusing, aku terbang meninggalkan jasad gadis itu.

Cerpen Karangan: Ifarifah

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Dari Mata Yang Berbeda"