.
.
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Nyeri abdomen merupakan
keluhan umum yang sering ditemukan pada pasien, termasuk pada wanita yang
sedang dalam masa kehamilan
(Cappel dan Friedel, 2003). Pada umumnya, keadaan yang dikarakterisasi oleh kondisi
ini disebut dengan istilah akut
abdomen, yakni penyakit yang disebabkan oleh nyeri yang
timbul akibat masalah bedah dan non bedah serta terjadi secara tiba-tiba (Sudoyo dkk, 2006). Apapun
penyebabnya, keadaan ini membawa tantangan tersendiri dalam dunia
klinis mengingat diagnosis banding untuk nyeri abdomen selama kehamilan sangatlah
ekstensif. Dalam hal ini,
nyeri abdomen mungkin saja disebabkan oleh kelainan obstetri atau ginekologi
yang berhubungan dengan kehamilan, sebagaimana penyakit intraabdominal juga
seringkali berhubungan
(Kilpatrick dan Monga, 2007).
Presentasi klinis dan
riwayat dari berbagai penyakit abdomen juga berubah selama masa kehamilan.
Bahkan, berbagai teknik yang dilakukan selama evaluasi diagnostik ikut berubah
dan terhambat. Sebagai contoh, tes radiologis dan pemeriksaan invasif akan
mengancam keselamatan janin selama kehamilan. Tantangan lain yang muncul
sehubungan dengan adanya nyeri abdomen selama kehamilan adalah kondisi dari ibu
maupun janin yang harus dipertimbangkan dalam menentukan suatu tindakan.
Biasanya, kedua tujuan diatas tidak akan mengalami konflik, karena apa yang
baik bagi ibu pada umumnya baik untuk janin. Bagaimanapun juga, terapi maternal
harus dimodifikasi menjadi terapi yang lebih aman karena pertimbangan akan adanya
efek teratogenik dari suatu obat. Prioritas terhadap keselamatan ibu dan janin
kadangkala bertentangan satu sama lainnya, meskipun keadaan ini jarang
ditemukan. Sebagai contoh, kemoterapi untuk kanker maternal, merupakan terapi
yang secara potensial menyelamatkan ibu namun disisi lain mengancam kondisi
janin (parangi et al, 2007).
Satu hal
penting yang dibutuhkan dalam pengelolaan akut abdomen yang tepat adalah
pengambilan keputusan untuk tindakan bedah. Lebih jauh, keputusan tersebut
memerlukan informasi tentang riwayat penyakit pasien, pemeriksaan fisik,
pengumpulan data laboratorium serta foto abdomen. Setiap pasien yang
menunjukkan sindroma akut abdomen haruslah menjalani evaluasi untuk menetapkan
diagnosis secepat mungkin, sehingga pengobatan dapat diberikan tepat waktu dan
morbiditas maupun mortalitas dapat diminimalisir (Cordell WH dkk,
2002).
Pendekatan klinis untuk nyeri abdomen pada ibu hamil juga harus
dilakukan secara sistematis dan mendalam. Nyeri
yang muncul dapat merupakan akibat dari adanya beberapa kelainan utama
diantaranya : (1) kelainan obstetri, (2) ginekologi, (3) gastrointestinal, (4)
penyakit pankreatobilier, (5) penyakit liver, (6) kelainan ginjal, dan (7)
penyakit sistemik (Cappel dan Friedel, 2003). Kondisi-kondisi ini mungkin
memerlukan intervensi bedah, atau di sisi lain tidak mengingat intervensi bedah
seringkali dapat memperburuk kondisi baik ibu maupun bayi. Oleh sebab itu, Ahli gastroenterologi,
sebagaimana ahli obstetri, ginekologi, penyakit dalam dan bedah sudah
seharusnya terbiasa dengan kondisi medis maupun bedah yang dapat muncul selama
kehamilan, dan juga bagaimana efek dari kehamilan terhadap berbagai kondisi
tersebut (Kilpatrick dan
Monga, 2007).
I.2. Tujuan dan Manfaat
1.2.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pendekatan klinis nyeri
abdomen yang terjadi selama kehamilan.
1.2.2. Tujuan
Khusus
1.
Menjelaskan mengenai karakeristik
berbagai jenis nyeri abdomen dan perbandingannya dengan nyeri abdomen yang
terjadi selama kehamilan.
2.
Memaparkan berbagai perubahan
fisiologis selama masa kehamilan dan pengaruhnya terhadap nyeri abdomen.
3.
Menjelaskan berbagai teknik
pemeriksaan yang aman untuk digunakan dalam pendekatan klinis nyeri abdomen
selama kehamilan.
4.
Memberikan penjelasan
mengenai berbagai kelainan yang mencetuskan nyeri abdomen selama kehamilan
beserta penatalaksanaannya
1.2.3. Manfaat
1.
Menambah wawasan keilmuan
tentang nyeri perut yang muncul selama kehamilan bagi penulis
2.
Sebagai sumber bacaan bagi
pembaca untuk membuat karya tulis serupa
3.
Sebagai bahan pustaka bagi
institusi
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. Definisi Kehamilan
Kehamilan didefinisikan
sebagai fertilisasi atau penyatuan dari spermatozoa dan ovum dan dilanjutkan
dengan nidasi atau implantasi. Kehamilan adalah rangkaian peristiwa yang baru
terjadi bila ovum dibuahi dan pembuahan ovum akhirnya berkembang sampai menjadi
fetus yang aterm (Guyton
dan Hall,
2006).
Bila dihitung dari saat fertilisasi hingga lahirnya bayi, maka rentang waktu
normal kehamilan berlangsung
dalam 40 minggu atau 10 bulan lunar atau 9 bulan menurut kalender internasional.
Lebih jauh, kehamilan terbagi dalam 3 trimester, dimana trimester kesatu
berlangsung dalam 12 minggu, trimester kedua adalah 15 minggu (minggu ke 13 hingga ke 27), dan trimester
ketiga adalah 13 minggu (minggu ke 28 hingga ke 40) (Prawirohardjo,
2006).
Penentuan dan dugaan terhadap kehamilan sangat terkait dengan
pengetahuan tentang fisiologi awal kehamilan. Selama proses kehamilan
berlangsung, terjadi berbagai perubahan fisiologis pada sistem organ wanita. Perubahan tersebut
mencakup perubahan produksi dan pengaruh homonal serta perubahan anatomi dan
fisiologi selama kehamilan. Pengenalan ini juga penting bagi penapisan terhadap
kelainan yang mungkin terjadi selama kehamilan, mengingat pengenalan dan
pemahaman tentang perubahan fisiologis tersebut, menjadi modal dasar dalam
mengenali kondisi patologis seperti munculnya nyeri abdomen yang dapat mengganggu
status kesehatan ibu maupun bayi yang di kandungnya (Adriaansz, 2008).
II.2. Akut Abdomen pada Kehamilan
Akut abdomen merupakan suatu kegawatdaruratan medis
yang terjadi karena nyeri abdomen yang timbul tiba-tiba atau sudah berlangsung
lama. Nyeri abdomen ini dapat
berupa nyeri viseral maupun nyeri somatik dan dapat berasal dari berbagai proses pada berbagai organ di rongga perut atau di
luar rongga perut, misalnya
di rongga dada (Grace et all, 2006).
Nyeri abdomen juga merupakan keluhan umum yang sering
ditemukan pada pasien wanita yang sedang dalam masa kehamilan (Cappel dan Friedel, 2003). Nyeri yang muncul mungkin saja disebabkan
oleh kelainan obstetri atau ginekologi yang berhubungan dengan kehamilan, namun, sering juga ditemukan kasus dimana nyeri perut pada
masa kehamilan muncul sebagai akibat dari adanya kelainan gastrointestinal (Kilpatrick
dan Monga, 2007). Apapun penyebabnya, keadaan ini membawa
tantangan tersendiri dalam dunia klinis mengingat diagnosis banding untuk nyeri abdomen selama kehamilan
sangatlah ekstensif (Cappel
dan Friedel, 2003).
II.3. Neurofisiologi
dari Nyeri Abdomen
Nyeri melibatkan
refleks afektif atau otonom dari viscera abdominal hingga korteks serebral pada
tiga tingkat neuron. Adapun jenis serabut saraf yang menghantarkan nyeri
abdomen terdiri dari serabut C dan A-delta. Serabut C, menjalarkan impuls secara perlahan, tak bermielin dan menghasilkan sensasi nyeri tumpul yang sulit dilokalisir.
Serabut A-delta lebih lebar, bermielin, menjalarkan impuls dengan cepat dan
menghasilkan sensasi nyeri tajam yang mudah dilokalisir. Neuron tingkat pertama
berjalan dari struktur abdomen menuju sinapsis di bagian dorsal medula
spinalis. Neuron kedua berjalan dari garis tengah menuju sisi kontralateral
dari medula spinalis, naik ke atas melewati traktus spinotalamikus dan
spinoretikularis menuju talamus dan area retikular dari pons dan medula. Neuron ketiga berjalan menuju
sistem limbik dan korteks sensoris dimana nyeri dipersepsikan (Cappel dan Friedel, 2003).
Nyeri abdomen dapat
bersifat visceral
(berasal dari organ gaastrointestinal), atau parietal (berasal dari iritasi
peritoneum), somatik (berasal
dari dinding abdomen), neurologis (berasal dari penyakit yang mempengaruhi
persarafan abdomen), ekstraintestinal (berasal dari nyeri alih) atau serebral
(berasal dari penyakit neuropsikiatrik). Nyeri viscera biasanya tumpul, sulit
dilokalisir dan dirasakan didaerah midabdomen karena serabut saraf aferen dari
viscera abdomen merupakan tipe serabut C dan menerima inervasi aferen secara
bilateral dan multisegmental dari medulla spinalis. Nyeri viscera mungkin
disertai oleh gangguan otonom seperti mual, diaporessis dan muka pucat.
Kebanyakan orang viscera abdomen sangatlah sensitif terhadap peregangan. Nyeri
parietal sifatnya lebih akut, tajam dan fokal karena diperntarai oleh gabungan
dari serabut A-delta dan C serta memiliki inervasi yang terpisah dari medulla
spinalis. Nyeri parietal dieksaserbasi oleh batuk, gerakan dan inspirasi dalam.
Jaringan somatic pada kulit, jaringan subkutan dan otot kebanyakan dipersarafi
oleh serabut A-delta sehingga nyeri ini bersifat fokal dan tajam (Guyton dan Hall,
2006).
Nyeri alih dirasakan berpisah dari area nyeri yang
sesungguhnya karena adanya konvergensi dari neuron aferen somatic dan visceral
menuju tingkat yang sama pada medulla spinalis dan adanya penggunaan inervasi
yang sama. Sebagai contoh, nyeri dari penyakit gastrointestinal, seperti
kolesistitis akut, atau nyeri dari penyakit obstetri seperti kehamilan ektopik,
dapat dialihkan ke pundak atau ke punggung (Cappel dan Friedel, 2003).
Nyeri dapat dimodifikasi secara sentral ataupun
perifer oleh kondisi emosional ataupun stress psikologis. Jalur desendens yang
berasal dari korteks, thalamus dan batang otak menghambat impuls saraf
nosiseptif pada tingkat medula spinalis sehingga otak memiliki kendali serta
inhibisi terhadap sensasi nyeri. Hormon dan mediator inflamasi, seperti
sitokin, juga mempengaruhi berat tidaknya stimulus nyeri
ini.
Mekanisme
ini menjelaskan munculnya nyeri abdomen secara sekunder terhadap stres
tertentu, yang didukung oleh hipotesis mengenai hiperalgesia pada irritable bowel syndromme dan gangguan
fungsional lainnya pada sistem pencernaan. Nyeri visceral yang menetap
seringkali merujuk pada struktur yang letaknya lebih superficial dan kadang
dapat menjadi hiperalgesia, karena berbagai faktor seperti impuls jangka
panjang yang dimediasi oleh sistem saraf pusat, yang kemungkinan melibatkan
N-methyl-d-aspartat (Cappel
dan Friedel, 2003).
II.4. Efek
Fisiologis Kehamilan pada Nyeri Abdomen
Penilaian abdominal
selama kehamilan dipengaruhi oleh perubahan pada organ viscera abdomen karena adanya perluasan dari
uterus yang sedang berkembang. Sebagai contoh, lokasi dari nyeri dan nyeri
tekan akibat apendisitis berpindah ke bagian lateral superior karena lokasi
apendiks terdesak oleh perkembangan uterus. Rigiditas dan adanya nyeri lepas
dapat menjadi petunjuk adanya peritonitis selama kehamilan, namun lemahnya
dinding abdomen pada akhir kehamilan seringkali mengaburkan gejala klasik dari
peritonitis. Bahkan massa abdomen seringkali sulit dideteksi selama kehamilan
karena adanya perluasan dari rahim (Parangi et al, 2007).
Adanya perubahan pada
standar normal berbagai hasil tes laboratorium juga harus diperhitungkan,
termasuk diantaranya leukositosis ringan, anemia fisiologis selama kehamilan,
hipoalbuminemia ringan, peningkatan kadar alkaline fosfatase dan perubahan
elektrolit serta hiponatremia ringan. Tingkat sedimentasi eritrosit juga
mengalami elevasi sehingga tidak dapat dijadikan patokan adanya reaksi
inflamasi selama kehamilan. Hormon-hormon yang disekresikan selama masa
kehamilan, khususnya estrogen, menyebabkan terjadinya hiperkoagulopati ringan
dengan meningkatkan sintesis dari faktor pembekuan. Fenomena tromboemboli juga
disebabkan oleh stasis vaskular intraabdomen karena adanya tekanan uterus yang
sedang berkembang. Stasis kandung kemih dan dilatasi uretra muncul sebagai
akibat dari adanya relaksasi otot saluran kemih yang diinduksi oleh progesteron
dan kompresi mekanis pada ureter oleh tengkorak janin. Perubahan pada kadar
glukosa darah selama kehamilan sangatlah kompleks. Normalnya, kehamilan
dikarakterisasi oleh hipoglikemi saat puasa, hiperglikemia postprandial dan
hiperinsulinemia. Pengawasan ketat terhadap kadar glukosa darah sangatlah
penting pada pasien dengan diabetes karena faktor tersebut sangatlah
berpengaruh terhadap perkembangan janin (Lucas, 2001).
Imunitas pada mukosa organ
abdominal menurun selama kehamilan sebagai akibat dari adanya mekanisme
toleransi yang sifatnya fisiologis terhadap antigen janin dalam rahim. Faktor
ini mengurangi kekebalan mukosa terhadap infeksi sehingga menimbulkan
peningkatan risiko terjadinya pyelonefritis selama kehamilan. Kehamilan juga
menjadi salah satu faktor risiko terjadinya kolelitiasis karena peningkatan
sintesis kolesterol dan hipomotilitas kandung empedu yang dihubungkan dengan
peningkatan kadar berbagai hormon
(Cappel and Friedel, 2003).
Janin sangat sulit
beradaptasi terhadap hipotensi maternal, kondisi hipovolemia, anemia, dan juga
hipoksia. Ketidakmampuan ini mempengaruhi jenis dan waktu pemberian terapi
untuk kelainan abdomen selama masa kehamilan. Pada posisi telentang, rahim yang
membesar dapat menekan vena cava inferior sehingga menurunkan aliran balik
vena, dan memperberat kondisi hipovolemia maupun pendarahan gastrointestinal.
Dengan membalikkan tubuh pasien ke kiri untuk merubah posisi uterus dapat
menghilangkan tekanan ini, sehingga meningkatkan aliran balik vena dan menormalkan tekanan
darah. Selama kehamilan, tekanan darah seringkali mengalami penurunan yang
tidak terlalu bermakna sehingga adanya peningkatan tekanan darah, menjadi
petunjuk akan munculnya preeklampsia maupun eklampsia (Kametas et al,
2004).
II.5. Pendekatan Klinis pada Pasien dengan Nyeri Selama Kehamilan
Dalam menghadapi seorang penderita ginekologik,
terutama pemeriksaan pertama kali, dari sang dokter sangat diperlukan
pengertian (simpati), kesabaran dan sikap yang menimbulkan kepercayaan. Untuk
mengurangi atau menghilangkan rasa malu penderita, sebaiknya anamnesis diambil
tanpa hadirnya orang lain. Waktu dilakukan pemeriksaan, dokter hendaknya didampingi
oleh seorang perawat wanita. Atau bila pasien seorang gadis muda belia atau
anak kecil, perlu didampingi oleh ibu atau keluarga terdekatnya (Wiknjosastro,
2007).
Dalam anamnesis penderita perlu diberi kesempatan
untuk mengutarkan keluhan-keluhan secara spontan; baru kemudian ditanyakan
gejala-gejala tertentu yang menuju ke arah kemungkinan diagnosis.
Simptomatologi penyakit-penyakit ginekologik untuk bagian terbesar berkisar
antara 3 gejala pokok, yaitu perdarahan, rasa nyeri dan pembengkakan (Wiknjosastro,
2007).
A.
Anamnesis
Secara
rutin ditanyakan identitas pasien seperti nama pasien, umur pasien. Sudah
menikah atau belum, paritas, siklus haid, penyakit yang pernah diderita,
terutama kelainan ginekologk serta pengobatannya, dan operasi yang pernah
dialami (Wiknjosastro,
2007).
1)
Riwayat
Obstetrik
Perlu diketahui riwayat tiap-tiap kehamilan
sebelumnya; apakah itu berakhir dengan keguguran, ataukah berakhir dengan
persalinan; apakah persalinannya normal, diselesaikan dengan tindakan atau
dengan operasi (seksio sesarea), dan bagaimana nasib anaknya. Infeksi nifas dan
kuretase dapat menjadi sumber infeksi panggul menahun (Wiknjosastro,
2007).
2)
Riwayat
Ginekologik
Riwayat
penyakit atau kelainan ginekologik serta pengobatannya dapat memberi keterangan
penting, terutama operasi yang pernah dialami. Apabila penderita pernah
diperiksa oleh dokter lain, tanyakan juga hasil-hasil pemeriksaan dan pendapat
dokter itu. Tidak jarang wanita Indonesia pernah memeriksakan dirinya di luar
negeri, dan membawa pulang hasil-hasil pemeriksaan (Wiknjosastro,
2007).
3)
Riwayat
Haid.
Haid
merupakan peristiwa sangat penting dalam kehidupan wanita. Perlu diketahui menarche, siklus haid teratur atau
tidak, banyaknya darah yang keluar waktu haid, lamanya haid, disertai rasa
nyeri atau tidak, dan menopause. Selalu harus ditanyakan tanggal haid terakhir
yang masih normal. Jikalau haid terakhirnya tidak jelas normal, maka perlu pula
ditanyakan tanggal haid sebelum itu. Dengan cara demikian, dicari apakah haid
penderita terlambat (satu, dua, atau tiga minggu), ataukah ia mengalami
amenorea (dua, tiga, empat bulan atau lebih) (Wiknjosastro,
2007).
4)
Keluhan
Sekarang
Mendengar
keluhan penderita sangat penting untuk pemeriksaan. Pertanyaan yang sangat
sederhana seperti “untuk apa nonya datang kemari?” atau “apa keluhan nyonya?”
dapat memberi keterangan banyak kearah diagnosis. Misalnya, apabila wanita
mengatakan bahwa ia mengeluarkan darah dari kemaluannya setelah haidnya
terlambat, bahwa peranakannya turun atau keluar, bahwa ia mengalami perdarahan
tidak teratur dan berbau busuk, maka dalam-dalam hal demikian kiranya tidak
sulit untuk menduga kelainan apa yang sedang dihadapi oleh pemeriksa, yaitu
berturut-turut abortus, prolapsus uteri, dan karsinoma servisis uteri. Namun
demikian, pemeriksaan lebih lanjut tetap harus dilakukan karena diagnosis tidak
boleh didasarkan atas anamnesis semata-mata (Wiknjosastro,
2007).
5)
Perdarahan.
Perdarahan
yang bersifat normal sering dijumpai. Perlu ditanyakan apakah perdarahan itu
ada hubungannya dengan siklus haid atau tidak, banyaknya dan lamanya perdarahan
(Wiknjosastro, 2007).
Perdarahan
yang didahului oleh haid yang terlambat biasanya disebabkan oleh abortus,
kehamilan mola, atau kehamilan ektopik. Walaupun demikian, kemungkinan
perdarahan karena polipus servisis uteri, erosio porsionis uteri, dan karsinoma
servisis uteri tidak dapat disingkirkan begitu saja tanpa pemeriksaan yang
teliti (Wiknjosastro, 2007).
Perdarahan sewaktu atau setelah koitus dapat merupakan
gejala dini karsinoma servisis uteri, walaupun itu dapat disebabkan pula oleh
erosio porsionis uteri, polipus servisis uteri, atau vulnus traumatikum
postkoitum (hymen robek disertai perdarahan dari arteri kecil pada koitus
pertama, atau pada perlukaan forniks posterior) (Wiknjosastro,
2007).
Perdarahan dalam menopause perlu mendapat perhatian
khusus karena gejala ini mempunyai arti klinik yang penting. Penderita harus
diperiksa secara sistemtis dan lengkap untuk menyingkirkan kemungkinan tumor
ganas, baik yang berasal dari vagina, serviks uteri, korpus uteri, maupun yang
berasal dari ovarium. Metroragia merupakan gejala penting karsinoma servisis
dan karsinoma korporis uteri. Juga sarkoma uteri yang bertukak dapat
menyebabkan perdarahan. Tumor ganas ovarium jarang disertai perdarahan, kecuali
kadang-kadang pada tumor sel granulosa dan tumor sel teka (Wiknjosastro,
2007).
6)
Flour
Albus (Leukorea).
Atau
dikenal juga dengan keputihan, walaupun tidak mengandung bahaya maut (kecuali
pada karsinoma servisis uteri), cukup mengganggu penderita, baik fisik maupun
mental. Sifat dan banyaknya keputihan dapat memberi petunjuk ke arah
etiologinya. Perlu ditanyakan sudah berapa lama keluhan itu, terus menerus atau
pada waktu-waktu tertentu saja, banyaknya, warnanya, baunya, disertai rasa
gatal atau nyeri atau tidak (Wiknjosastro, 2007).
Secara
fisiologik keluarnya lendir yang berlebihan dari vula dapat dijumpai pada waktu
ovulasi, waktu menjelang dan setelah haid, rangsangan seksual dan dalam
kehamilan. Akan tetapi, apabila wanita merasa terganggu dirinya, berganti
celana beberapa kali sehari, lebih-lebih apabila keputihan itu disertai rasa
gatal dan atau rasa nyeri, maka pasti yang dihadapi itu suatu keadaan
patologik, yang memerlukan pemeriksaan dan penanganan yang seksama (Wiknjosastro,
2007).
Flour
albus karena trikomoniasis dan kandidiasis hampir selalu disertai rasa gatal.
Demikian pula halnya dengan flour albus karena diabetes mellitus, seorang
vaginitis sinilis disertai rasa nyeri. Adanya radang pelvis menahun dan infeksi
virus dapat menimbulkan keputihan pula (Wiknjosastro,
2007).
7)
Rasa
Nyeri.
Rasa
nyeri di perut, panggul, atau alat kelamin luar dapat merupakan gejala dari
beberapa kelainan ginekologik. Dalam menilai gejala ini dapat dialami kesulitan
karena faktor subyektifitas memegang peranan penting. Walaupun biasanya
hebatnya rasa nyeri sesuai dengan beratnya penderitaan, namun dokter selalu
harus waspada. Sukar kiranya untuk menghasilkan derajat nyeri itu, lebih-lebih
apabila penderita mempunyai maksud atau kecenderungan untuk berpura-pura dengan
tujuan untuk menarik perhatian atau untuk menghindari keadaan atau kewajiban
yang tidak disenangi (Wiknjosastro, 2007).
Dismenorea yang dapat dirasakan diperut
bawah atau dipinggang, dapat bersifat seperti mulas-mulas, seperti ngilu, atau
seperti ditusuk-tusuk. Mengenai hebatnya rasa nyeri yang diderita, perlu
ditanyakan apakah wanita dapat melakukan pekerjaan sehari-hari ataukah ia
sampai harus berbaring dan minum obat-obatan anti nyeri. Rasa nyeri itu bisa
timbul menjelang haid, sewaktu dan setelah haid, selama satu-dua hari atau
lebih lama. Endometriosis hampir selalu disertai dismenorea (Wiknjosastro,
2007).
Dispareunia, rasa nyeri waktu
bersenggama, dapat disebabkan oleh kelainan organik atau oleh faktor
psikologik. Karena itu, perlu dicari sebab-sebab organik, seperti introitus
vagina atau vagina terlampau sempit, peradangan atau perlukaan, dan kelainan
yang letaknya lebih dalam, misalnya adneksitis, parametritis, atau
endometriosis di ligamentum sakrouterinum dan kavum Douglass. Apabila semua
kemungkinan itu dapat disingkirkan, baru dapat dipertimbangkan bahwa faktor
psikologik mungkin pegang peranan, dan pemeriksaan dilengkapi dengan pendekatan
psikoanalitik, jikalau perlu oleh seorang psikolog atau psikiater (Wiknjosastro,
2007).
Nyeri Perut sering menyertai kelainan
ginekologik, yang dapat disebabkan oleh kelainan letak uterus, neoplasma, dan
terutama peradangan, baik yang mendadak maupun menahun. Seperti ditanyakan
lamanya, terus-menerus atau berkala, sifatnya (seperti ditusuk-tusuk, seperti
mulas, ngilu), hebatnya dan lokasinya (Wiknjosastro, 2007).
Kadang-kadang
penderita dapat menunjuk secara tepat dengan jari tempat yang dirasa nyeri.
Perasaan nyeri yang hebat diderita pada ruptur tuba, salpingo-ooforitis akuta,
dan putaran tangkai pada kistoma ovarii dan mioma subserosum. Pada abortus tuba
biasanya nyeri dirasakan seperti mulas-mulas dan berkala. Mioma uteri tanpa
putaran tangkai dapat disertai rasa nyeri apabila terjadi degenerasi dan
infeksi. Penjalaran rasa nyeri ke bahu sering dijumpai pada kehamilan ektopik
terganggu (Wiknjosastro, 2007).
Nyeri Pinggang bagian bawah diderita oleh
wanita yang pernah mengalami parametritis sebelumnya dengan akibat fibrosis di
ligamentum kardinale dan ligamentum sakrouterinum. Lebih sering nyeri pinggang
disebabkan oleh sebab lain, biasanya oleh kelainan yang sifatnya ortopedik,
terutama apabila nyerinya dirasakan agak tinggi diatas vertebra sakralis
pertama, misalnya pada hernia nukleopulposus. Persalinan dangan forceps dalam
letak litotomia dan persalinan lama dalam kala dua sering mengakibatkan nyeri
pinggang yang disebabkan keletihan otot-otot iliosakral dan lumbosakral (Wiknjosastro,
2007).
B.
PEMERIKSAAN
UMUM, PAYUDARA, DAN PERUT
1)
Pemeriksaan
Umum
Dari
pemeriksaan umum sering didapat keterangan-keterangan yang menuju ke arah
tertentu dalam usaha membuat diagnosis (Wiknjosastro, 2007).
Bentuk
konstitusi tubuh mempunyai kolerasi dengan keadaan jiwa penderita.
Penimbunan dan penyebaran lemak
mempunyai hubungan dengan makanan, kesehatan badan, penyakit menahun, dan faal
kelenjar-kelenjar endokrin. Pertumbuhan rambut, terutama di daerah pubis,
betis, dan kumis, menunjuk ke arah gangguan endokrin (Wiknjosastro, 2007).
Perlu
diperhatikan apakah penderita terlampau gemuk (obesitas) atau terlampau kurus (cachexia), dan sudah berapa lama
keadaan demikian itu, perlu pula ditanyakan. Cachexia dapat dijumpai pada tuberculosis dan pada tumor ganas
stadium lanjut dan anoreksia nervosa (Wiknjosastro, 2007).
Selanjutnya,
perlu diperiksa nadi, suhu badan dengan perabaan tangan (kalau perlu, dengan
termometer), tekanan darah, pernapasan, mata (anemia, ikterus, eksoftalmus),
kelenjar gondok (struma), payudara, kelenjar ketiak, jantung, paru-paru, dan
perut. Adanya edema, panikulus adiposus yang tebal, asites, gambaran vena yang
jelas/melebar, dan varises-varises perlu pula mendapat perhatian yang seksama
(Wiknjosastro, 2007).
Jikalau
perlu, pemeriksaan dilengkapi dengan pemeriksaan laboratorium, misalnya Hb,
leukosit, laju endap darah, pemeriksaan air kencing, dan lain sebagainya
(Wiknjosastro, 2007).
2)
Pemeriksaan
Payudara
Pemeriksaan
payudara (mamma) mempunyai arti yang penting bagi penderita wanita, terutama
dalam hubungan dengan diagnostik kelainan endokrin, kehamilam, dan karsinoma
mamma (payudara) (Wiknjosastro, 2007).
3)
Pemeriksaan
Perut
Pemeriksaan perut sangat penting pada setiap
penderita ginekologik, tidak boleh diabaikan dan harus lengkap, apapun keluhan
penderita. Penderita harus tidur telentang secara santai (Wiknjosastro, 2007).
a)
Inspeksi
Perlu
diperhatikan bentuk, pembesaran/cekungan, pergerakan pernapasan, kondisi kulit
(tebal, mengkilat, kriput, striae, pigmentasi, gambaran vena), parut operasi,
dan lain sebagainya (Wiknjosastro, 2007).
Masing-masing
kelainan tersebut di atas memberi petunjuk ke arah mana pikiran kita harus
ditujukkan; misalnya, pembesaran perut ke depan dengan batas-batas jelas menuju
kearah kehamilan atas tumor (mioma uteri atau kistoma ovarii), sedang
pembesaran ke samping (perut katak) merupakan gejala dari cairan bebas dalam
rongga perut (lazim disebut asites, walaupun istilah ini tidak selalu benar)
(Wiknjosastro, 2007).
b)
Palpasi
Sebelum
pemeriksaan dilakukan, harus diyakini bahwa kandung kencing dan rectum kosong
karena kandung kencing dan rektum kosong karena kandung kencing penuh teraba
sebagai kista dan rectum penuh menyulitkan pemeriksaan. Jikalau perlu,
penderita disuruh kencing/buang air besar terlebih dahulu, atau dilakukan
keteterisasi (ingat bahaya infeksi), atau diberi huknah (klisma)/semprit gliserinum
(Wiknjosastro, 2007).
Penderita
diberitahu bahwa perutnya akan diperiksa, supaya ia tidak menegangkan perutnya
dan bernapas biasa. Jikalau perlu, kedua tungkai ditekuk sedikit dan wanita
disuruh bernapas dalam (Wiknjosastro, 2007).
Perabaan
perut dilakukan dengan perlahan-lahan dengan seluruh telapak tangan dan
jari-jari. Mula-mula perut diraba saja (tanpa ditekan) seluruhnya sebagai
orientasi dengan satu atau kedua tangan, dimulai dari atas (hypocondrium) atau tempat yang tidak dikeluhkan nyeri. Lalu,
periksa dengan tekanan ringan apakah dinding perut lemas, tegang karena
rangsangan peritoneum (defence
musculaire), ataukah dirasakan nyeri, dan dimana yang paling nyeri.
Sekaligus diperiksa pula gejala nyeri lepas (Wiknjosastro, 2007).
Baru
kemudian dilakukan palpasi lebih dalam, sebaiknya bersamaan dengan irama
pernapasan, untuk mencari-cari kelainan yang tidak tampak dengan inspeksi. Ini
sebaiknya dimulai dari bagian-bagian yang tampaknya normal, yaitu tidak
dirasakan nyeri yang tidak menonjol/membesar. Karena telapak tangan dan
jari-jari bagian ulna lebih peka, maka palpasi dalam dilakukan dengan bagian
ulna ini. Rasa nyeri yang letaknya lebih dalam menjadi lebih jelas. Perlu
diperhatikan bahwa tidak boleh ditimbulkan perasaan nyeri yang berlebihan
karena wanita sangat menderita, dan secara reflex menegangkan perutnya
(Wiknjosastro, 2007).
Pada
pemeriksaan tumor dapat ditemukan lebih jelas bentuknya, besarnya,
konsistensinya, batas-batasnya, dan gerakannya. Besar tumor dibandingkan dengan
benda-benda yang secara umum diketahui, misalnya telur bebek, telur angsa/bola
tenis, tinju kecil, kepala bayi, kepala dewasa, buah nangka, dan sebagainya.
Selanjutnya apakah batas-batas tumor itu jelas/tajam atau tidak; batas atas
sampai di mana, batas kanan dan kiri, dan apakah kutub bawah tumor masuk dalam
rongga panggul atau tidak. Perlu diperiksa apakah tumor itu dapat digerakkan
(bebas atau terbatas) atau tidak (Wiknjosastro, 2007).
Komsistensi
tumor biasanya tidak sulit untuk ditemukan, yaitu padat kenyal, padat lunak,
padat keras, atau kistik. Kistik lunak kadang-kadang sulit dibedakan dari
cairan bebas dalam rongga perut, terutama apabila penderita gemuk.
Kadang-kadang ada bagian padat dan bagian kistik bersamaan. Permukaan tumor ada
yang rata dan ada yang berbenjol-benjol. Tumor padat kenyal dan
berbenjol-benjol biasanya mioma uteri, dan tumor kistik biasanya kistoma ovari
(Wiknjosastro, 2007).
Rasa
nyeri pada perabaan tumor menunjuk kearah peradangan/infeksi, degenerasi,
putaran tungkai, dan hematoma uterina akibat kehamilan ektopik terganggu
(Wiknjosastro, 2007).
c)
Perkusi
Dengan
perkusi (periksa ketok) dapat ditentukan pembesaran disebabkan oleh tumor
(mioma uteri dan kistoma uteri), ataukah oleh cairan bebas dalam perut
(Wiknjosastro, 2007).
Pada
tumor, ketokan perut pekak terdapat di bagian yang paling menonjol ke depan
apabila penderita tidur telentang; dan apabila tumornya tidak terlampau besar,
maka terdengar suara timpani di sisi perut, kanan dan kiri karena usus-usus
terdorong ke samping. Daerah pekak ini tidak alan berpindah tempat apabila
penderita dibaringkan di sisi kanan atau kiri (Wiknjosastro, 2007).
Lain
halnya dengan perkusi pada cairan bebas. Cairan mengumpul di bagian yang paling
rendah, yaitu dasar dan disamping, sedang usus-usus mengambang di atasnya.
Apabila penderita berbaring terlentang, maka suara timpani di bagian atas perut
melengkung ke ventral, dan sisi kanan dan kiri pekak (pekak sisi). Keadaan ini
berubah apabila penderita disuruh berbaring miring, misalnya berbaring pada
sebelah kanan. Cairan berpindah dan mengisi bagian kanan dan bagian ventral.
Jadi, daerah timpani berpindah juga: timpani di perut kiri (kiri menjadi paling
atas karena usus-usus mengambang) dan pekak di perut kanan dan depan (paling
rendah, diisi oleh cairan). Selain itu, terdapat pula gejala undulasi
(Wiknjosastro, 2007).
Tumor
yang disertai cairan bebas menunjuk ke arah keganasan. Pada tuberculosis
peritonei dapat ditemukan daerah-daerah timpani dan pekak itu berdampingan,
seperti gambaran papan catur, sebagai akibat perlekatan-perlekatan usus-usus
dan omentum (Wiknjosastro, 2007).
Selain
hal-hal tersebut di atas, periksa ketok penting pula dalam diagnostik ileus dan
keadaan-keadaan lain apabila usus-usus mengembung dan terisi banyak udara
(Wiknjosastro, 2007).
d)
Auskultasi
Periksa
dengar (auskultasi) sangat penting pada tumor perut yang besar untuk
menyingkirkan kemungkinan kehamilan. Detik jantung dan gerakan janin terdengar
pada kehamilan yang cukup tua, sedang bising uterus dapat terdengar pada uterus
gravidus dan pada mioma uteri yang besar. Pemeriksaan bising usus penting pula
dalam diagnostic peritonitis dan ileus, baik ileus paralitikus (tidak/hampir
tidak terdengar bising usus) maupun ileus obstruktivus (hiperperistaltik dengan
bising usus yang berlebihan). Kembalinya aktivitas usus ke batas-batas normal
sangat penting dalam masa pascaoperasi dan merupakan petunjuk yang baik
(Wiknjosastro, 2007).
II.6. Diagnosis Banding dari Nyeri Abdomen selama Kehamilan
Diagnosis banding dari nyeri abdomen sangat ekstensif, bervariasi
menurut lokasinya. Nyeri abdomen umumnya dibatasi oleh lokasinya, dan
dapat menjadi
manifestasi dari adanya suatu
kondisi ringan hingga yang mengancam nyawa. Sebagai tambahan, perubahan
fisiologis selama kehamilan dapat menimbulkan barbagai manifestasi pada
abdomen. Mual, muntah, rasa mudah kenyang, perut kembung, dan pirosis umum
ditemukan dalam selama masa kehamilan. Oleh karena itu, penyakit serius yang
juga disertai oleh gejala ini sering kali sulit untuk dibedakan dari
perubahan-perubahan fisiologis selama masa kehamilan. Manifestasi seperti
diatas sebaiknya tidak dianggap normal selama kehamilan tanpa evaluasi yang
sistematis dan teliti terhadap riwayat penyakit pasien (Stone, 2002).
Intensitas nyeri, sifat, penyebaran, pancaran, faktor
yang memperberat dan faktor yang meringankan dapat menyingkirkan diagnosis
banding dari nyeri abdomen selama masa kehamilan. Nyeri abdomen secara
progresif meningkat pada appendicitis tapi berbeda halnya dengan gastroenteritis
yang disebabkan oleh virus. Nyeri dari obstruksi usus halus mungkin bersifat
intermitten tetapi berat. Kolik renal dan kolik billier juga menghasilkan
intensitas nyeri yang hilang timbul. Kolesistitis akut dihubungkan dengan nyeri
di kuadran kanan atas, dan juga dihubungkan dengan nyeri yang dialihkan ke bahu
kanan. Nyeri dari pancreatitis akut terletak dibagian tengah abdomen dan
menyebar ke punggung (Cappel dan Friedel, 2003).
Pemeriksaan fisik yang dilakukan secara teliti pada
abdomen termasuk inspeksi, palpasi dan auskultasi lebih jauh dapat menentukan
penyebab dari nyeri. Pemeriksaan laboratorium untuk nyeri abdomen mencakup
pemeriksaan darah rutin, elektrolit serum, tes fungsi hati, hitung jenis
leukosit, profil pembekuan darah dan pengukuran amylase serum. Dalam
mengevaluasi hasil laboratorium, berbagai perubahan pada nilai normal selama
masa kehamilan harus dipertimbangkan. Pemeriksaan radiologi akan sangat
membantu menegakkan diagnosis, namun pemilihan teknik pencitraannya harus
disesuaikan dengan kondisi kehamilan (Cappel dan Friedel, 2003).
Tabel
1.1. Berbagai Penyebab dari Nyeri Akut Abdomen pada Kehamilan
Kondisi
|
Lokasi
|
Karakter
|
Penjalaran
|
Kehamilan ektopik
terganggu
|
Abdomen bagian bawah
atau pelvis
|
Menetap, berat
|
Tidak menjalar
|
Pelvic
Inflammatory Disease
|
Abdomen bagian bawah
atau pelvis
|
Secara
berangsur-angsur semakin berat tergantung onset, dan menetap
|
Panggul dan paha
|
Apendisitis
|
Area periumbilikal,
kemudian kuadran kanan bawah (kuadran kanan atas pada akhir kehamilan)
|
Pinggang
|
Belakang/panggul
|
Kolesistitis akut
|
Kuadran kanan atas
|
Fokal
|
Skapula kanan, bahu,
atau pinggang
|
Pankreatitis
|
Epigastrium
|
Menetap,
|
Bagian tengah
pinggang
|
Perforated
peptic ulcer
|
Epigastrium atau
kuadran kanan atas
|
Nyeri seperti terbakar
|
Pinggang kanan
|
Urolithiasis
|
Abdomen atau panggul
|
Bervariasi dari
intermiten hingga mencapai intensitas yang semakin berat dan tidak berkurang
|
Selangkangan
|
(Cappel dan Friedel, 2003)
Karakteristik, berat, lokasi, maupun faktor pencetus dari nyeri abdomen seringkali bervariasi
menurut onset. Sebagai contoh, karakteristik nyeri pada apendisitis
akut biasanya berubah dari nyeri tumpul, sulit dilokalisir dengan intensitas
sedang menjadi nyeri yang intensitasnya semakin berat dan fokal saat reaksi
peradangan telah menyebar dari dinding appendiks menuju peritoneum di
sekitarnya. Saat menghadapi kasus seperti ini, akan muncul hambatan dalam
menentukan baik diagnosis maupun tatalaksananya. Untuk itu, penanganan lebih
lanjut oleh ahli bedah, meliputi pemeriksaan abdomen dan
beberapa test laboratorium, kadang dapat memudahkan penegakan diagnosis.
Ada kalanya kehamilan
tidak disadari oleh pasien, atau tidak ditemukan oleh pemeriksa, khususnya pada
awal kehamilan. Seorang dokter harus mempertimbangkan adanya kehamilan pada
wanita subur yang mengalami nyeri abdomen, khususnya pada kasus dimana
menstruasi tidak ditemukan, karena kehamilan akan mempengaruhi diagosis
banding, evaluasi klinis serta terapi yang akan diberikan. Tes kehamilan harus
dilakukan diawal evaluasi pada wanita fertil yang menderita nyeri abdomen. Tes
yang dapat dilakukan antara lain adalah Radioimunoassay
(RIA) atau enzyme-linked immunoassay (ELISA)
serta deteksi hCG dalam urin atau serum (Cappel dan Friedel, 2003).
II.7. Pencitraan
diagnostik selama kehamilan
Ancaman keselamatan
janin selama pencitraan diagnostik merupakan hal yang paling dikhawatirkan pada
pasien maupun tenaga medis yang sedang mengandung. Untuk tujuan ini,
ultrasonografi dianggap aman dan merupakan modalitas pencitraan utama untuk
nyeri abdomen selama kehamilan. Namun demikian, tingkat sensitifitas dari
pemeriksaan ini sangat bergantung pada kemampuan operator, kerjasama pasien,
dan juga anatomi pasien. Bahkan dengan itu, faktor-faktor seperti lemak
abdominal dan gas dalam lumen usus juga mempengaruhi citra yang dihasilkan.
Karena adanya paparan radiasi ionisasi pada prosedur Computed Tomography-scan (CT-scan), Magnetic Resonance Imaging dianggap sebagai pilihan yang lebih
baik. Hanya saja, penggunaan gadolinium harus dihindari selama trimester
pertama (ACOG, 2004).
Beberapa data yang
membuktikan adanya malformasi janin, retardasi pertumbuhan bahkan kematian dari
paparan radiasi ionisasi ditemukan pada kasus terdahulu, khususnya pada
orang-orang yang selamat dari peristiwa bom atom di Jepang. Radiasi dapat
menyebabkan mutasi kromosomal dan abnormalitas neurologis termasuk retardasi
mental dan peningkatan risiko leukemia yang tinggi selama masa kanak-kanak.
Tingkat radiasi, merupakan faktor risiko terpenting, namun usia janin serta
jarak sumber radiasi juga ikut berpengaruh. Risiko kematian janin yang paling tinggi dari radiasi
ditemukan di minggu pertama setelah konsepsi, sebelum implantasi oosit. Paparan
radiasi yang lebih dari 15 rads selama trimester kedua dan ketiga atau lebih
dari 5 rads selama trimester pertama, saat risiko terjadinya malformasi
neurologis masih sangat tinggi, haruslah mendapatkan pertimbangan yang matang
terlebih dahulu. Dalam suatu studi diagnostik terhadap paparan radiasi
maksimum, seperti pada pyelografi intravena atau barium enema, diketahui bahwa
prosedur di atas hanya menghasilkan paparan sebesar <1 2004="" aman="" fluoroskopi="" itu="" janin.="" karena="" kehamilan="" kepada="" masih="" o:p="" oleh="" prosedur="" rad="" relatif="" untuk="">1>
Tabel
2.2. Estimasi Paparan Radiasi dari Berbagai Prosedur Radiologi Umum
II.8. Endoskopi
selama kehamilan
Endoskopi untuk kasus nyeri abdomen lebih sering dilakukan pada pasien
yang tidak dalam masa kehamilan. Flexible
sigmoidoscopy dilakukan untuk mengevaluasi keluhan pada abdomen bagian
bawah seperti pada rectum (rectal
symptoms), dan esofagogastroduodenoskopi (EGD) untuk mengevaluasi nyeri
pada lambung (gastric pain),
dyspepsia, atau pirosis. Meskipun endoskopi sangatlah aman untuk populasi
normal (tidak mengandung), selama masa kehamilan, pemeriksaan ini dapat
mengancam keselamatan bayi. Endoskopi berpotensi menyebabkan komplikasi pada
janin akibat adanya efek terratogenitas, lepasnya plasenta atau trauma pada
janin selama intubasi endoskopi, aritmia, hipotensi sistemik atau hipertensi,
dan hipoksia transien. Teratogenitas
terapi merupakan komplikasi yang paling dikhawatirkan jika endoskopi
dilakukan selama trimester pertama.
Berbeda halnya dengan endoskopi, sigmoidoskopi secara relatif aman
dilakukan selama masa kehamilan. Pada suatu studi terhadap 46 pasien hamil yang
sedang menjalani sigmoidoskopi, tidak satupun di antara mereka yang mengalami
komplikasi dari endoskopi. Studi ini menyimpulkan bahwa sigmoidoskopi tidak
menimbulkan ancaman bagi persalinan, tidak menyebabkan kelainan kongenital,
tidak memiliki kontraindikasi pada janin dan sangat disarankan untuk indikasi
penting. Hanya saja, sigmoidoskopi tidak direkomendasikan untuk indikasi yang
tidak terlalu penting seperti skrining keganasan rutin.
II.9. Kelainan Obstetri Selama Kehamilan
A.
Kehamilan
Ektopik
Kehamilan ektopik ialah
kehamilan dengan ovum yang di buahi, berimplantasi dan tumbuh tidak di tempat
yang normal dalam endometrium kavu uteri (Wiknjosastro, 2007).
Menurut lokasi
kehamilannya ektopik dapat di bagi dalam beberapa golongan:
a)
Tuba fallopii
1. Pars
interstisialis
2. Ishtmus
3. Ampulla
4. Infundibulum
5. Fimbria
b)
Uterus
1. Kanalis
servikalis
2. Divertikulum
3. Koruna
4. Tanduk
rudimenter
c)
Ovarium
d)
Intraligamenter
e)
Abdominal
1. Primer
2. Sekunder
f)
Kombinasi kehamilan dalam dan
luar uterus.
Sebagian besar wanita
mengalami kehamilan ektopik berumur 25 sampai 35 tahun, pemberian antibiotika
pada infeksi pelvik khususnya gonore, memperbesar kehamlan ektopik karena
dengan pengobatan tersebut kemungkinan hamil masih terbuka, namun pada endosalping
menghambat perjalanan ovum yang di buahi ke uterus. Kehamilan ektopik 90% terjadi di
tuba, khususnya di ampulla dan isthmus (Wiknjosastro, 2007).
Kehamilan
Tuba
Etiologi
Fertilisasi yakni
penyatuan ovum dengan spermatozoon terjadi di ampulla tuba, dari sini ovum
telah di buahi digerakan ke kavum uteri dan di tempat yang akhir mengadakan
inplantasi terjadi pada endosalping selanjutnya ada kemungkinan pula bahwa
kelainan pada ovum yang dibuahi member predisposisi untuk implantasi di luar
kavum uteri (Wiknjosastro,
2007).
Penyebab terhambatnya
ovum ke uterus sehingga blastokista mengadakan implantasi di tuba ialah:
a)
Bekas radang pada tuba
b)
Kelaina bawaan pada
tuba
c)
Gangguan fisiologik
tuba karena pengaruh hormonal
d)
Operasi plastic pada
tuba
e)
Abortus buatan
Gejala
klinis
a.
Amenorea
Amenorea sering
ditemukan walaupun hanya pendek saja sebelum diikuti oleh perdarahan, malah
kadang-kadang tidak ada amenorea (Wiknjosastro, 2007).
b.
Perdarahan
Gangguan kehamilan
sedikit saja sudah dapat menimbulkan perdarahan yang berasal dari uterus.
Peradarahan dapat berlangsung kontinu dan biasanya berwarna hitam (Wiknjosastro,
2007).
c.
Rasa nyeri perut bawah
Nyeri perut merupakan
gejala penting. Pada kehamilan ektopik yang terganggu rasa nyeri perut bawah
bertambah sering dan keras (Wiknjosastro, 2007).
d.
Keadaan umum penderita
Tergantung dari
banyaknya darah yang keluar dari tuba, keadaan umum ialah kurang lebih normal
sampai gawat dengan syok berat dan anemi. Pada abortus tuba yang sudah
berlangsung beberapa waktu suhu badan agak meningkat dan terdapat leukositosis.
Hb dan hematokrit perlu diperiksa pada dugaan kehamilan ektopik terganggu (Wiknjosastro,
2007).
e.
Nyeri perut
Pada abortus tuba
terdapat nyeri tekan di perut bagian bawah di sisi uterus, dan pada pemeriksaan
luar atau pemeriksaan bimanual ditemukan tumor yang tidak begitu padat, nyeri
tekan dan dengan batas-batas yang tidak rata di samping uterus.
Hematokelretrouterina dapat ditemukan. Pada ruptura tuba perut menegang dan
nyeri tekan, dan dapat ditemukan cairan bebas dalam rongga peritoneum. Kavum
Douglasi menonjol karena darah yang berkumpul di tempat tersebut. Baik pada
abortus tuba maupun pada ruptura tuba gerakan pada serviks nyeri sekali (Wiknjosastro,
2007).
Pemeriksaan
Penunjang
a.
Tes kehamilan
Apabila tesnya positif,
itu dapat membantu diagnosis khususnya terhadap tumor-tumor adneks, yang tidak
ada sangkut pautnya pada kehamilan. Tes kehamilan yang negatif tidak banyak
artinya; umumnya tes ini menjadi negatif beberapa hari setelah meninggalnya
mudigah (Wiknjosastro, 2007).
b.
Dilatasi dan kerokan
Biasanya kerokan
dilakukan, apabila sesudah amenorea terjadi perdarahan yang cukup lama tanpa
ditemukan kelainan nyata disamping uterus, sehingga dipikirkan abortus
inkompletus, perdarahan disfungsional, dan lain-lain. Ditemukan desidua tanpa
villus korialis dari sediaan yang diperoleh dari kerokan, dapat membawa pikiran
kearah kehamilan ektopik (Wiknjosastro, 2007).
c.
Laparoskopi
Laparoskopi merupakan
cara pemeriksaan yang sangat penting untuk diagnosis kehamilan ektopik pada
umumnya dan kehamilan ektopik yang tidak terganggu. Dengan cara pemeriksaan ini
dapat dilihat dengan mata sendiri perubahan-perubahan pada tuba (Wiknjosastro,
2007).
d.
Ultrasonografi
Keunggulan cara
pemeriksaan ini dengan laparoskopi ialah bahwa ia tidak invasive, artinya tidak
memerlukan alat dalam rongga perut. Akan tetapi pemeriksaan ini memerlukan
orang yang berpengalaman dalam menginterpretasi hasilnya. Dapat dinilai kavum
uteri, kosong atau berisi, tebal endometrium, adanya massa di kanan atau kiri uterus
dan apakah kavum Douglasi berisi cairan
(Wiknjosastro, 2007).
e.
Kuldosentesis
Kuldosentesis dilakukan
dengan menusukkan jarum dengan lumen yang agak besar di kavum Douglasi di garis
tengah di belakang serviks uteri, serviks ditarik ke atas dan keluar. Adanya
darah yang diisap berwarna hitam (darah tua) biarpun sedikit, membuktikkan
adanya darah di kavum Douglasi. Jika yang diisap darah baru, ini mungkin dari
pembuluh darah dinding vagina dicoblos. Jika hasil kuldosentesis positif,
sebaiknya segera dilakukan laparotomi, oleh karena dengan tindakan itu dapat
dibawa kuman dari luar ke dalam darah yang terkumpul di kavum Douglasi, dan
dapat terjadi infeksi (Wiknjosastro, 2007).
Terapi
Risiko perdarahan bagi wanita
kehamilan ektopik lanjut tindakan operasi perlu dilakukan segera terutama pada janin yang masih
hidup, pada janin yang sudah mati
urgensi untuk segera menjalankan operasi tidak begitu besar. Pada operasi janin dikeluarkan dengan membuka
kantong janin pada tempat di
mana tidak terdapat
pembuluh-pembuluh darah yang besar karena plasenta tidak berinsersi pada dasar yang dapat
berkontraksi dan dapat menghentikan. Perdarahan setelah plasenta diangkat (Wiknjosastro,
2007).
B.
Kehamilan
Abdominal
Hampir
semua kasus kehamilan abdominal terjadi setelah rupture dini atau abortus
kehamilan tuba ke dalam rongga peritoneum. Implantasi primer telur yang dibuahi
di peritoneum amat sangat jarang terjadi, dan telah dilaporkan enam kasus yang
terdokumentasi dengan baik (Thomas dkk., 1991a). Centers of Disease Control memperkirakan bahwa insiden kehamilan
abdominal adalah 1 dalam 10.000 kelahiran hidup (Cunningham, 2006).
Biasanya,
setelah menembus dinding tuba, plasenta yang sedang tumbuh mempertahankan perlekatannya
dengan tuba berangsur-angsur keluar batas dan berimplantasi di lapisan serosa
sekitarnya. Sementara itu, janin terus tumbuh di dalam rongga peritoneum.
Kadang kala plasenta ditemukan pada daerah utama tuba dan pada aspek posterior
ligamentum latum dan uterus. Pada kasus lain, setelah rupture tuba, konseptus
berimplantasi kembali di mana pun di rongga peritoneum. Pada beberapa kasus,
insisi seksio sesarea terdahulu akan ruptur pada awal kehamilan sehingga
menimbulkan kehamilan di dalam lipat peritoneum vesikouterina (Cunningham,
2006).
Kehamilan
abdominal bisa primer atau sekunder. Kehamilan abdominal primer terjadi apabila
ovum dan spermatozoon bertemu dan bersatu di dalam satu tempat pada peritoneum
dalam rongga perut, dan kemudian juga berimplantasi di tempat tersebut. Karena
syarat-syarat untuk implantasi kurang baik maka kehamilan berhenti dengan
kematian mudigah disertai dengan perdarahan. Kehamilan jenis ini sangat jarang
ditemukan (Wiknjosastro, 2007).
Lebih
sering, walaupun tidak terlalu sering, ialah kehamilan abdominal sekunder yang
merupakan pula kehamilan tuba, yang walaupun terjadi gangguan tidak menyebabkan
meninggalnya mudigah, dan vaskularisasi masih cukup untuk memungkinkan mudigah
bertumbuh terus. Mudigah yang menjadi janin dapat meninggalkan tuba melalui
ostium abdominalis atau lewat sobekan dinding tuba, dan kemudian letak kantong
janin dalam rongga peritoneum. Begitu pula plasenta berinsersi di luar tuba
pada dinding belakang uterus, pada ligamentum latum, atau pada dinding panggul.
Dalam keadaan demikian gambar anatomic adneksa tidak jelas lagi, dan terdapat
pula perlekatan kantong janin dengan usus dan omentum.
Karena
tipisnya kantong janin, maka gerakan janin menimbulkan rasa nyeri pada
penderita; selain itu bahaya perdarahan dan ileus selalu mengancam
(Wiknjosastro, 2007).
Diagnosis
Para
wanita yang mengalami kehamilan abdominal mungkin merasa tidak enak tetapi
tidak cukup berat sampai memerlukan pemeriksaan secara mendalam. Mual, muntah,
flatulen, konstipasi, diare, dan nyeri abdomen masing-masing timbul dalam
berbagai tingkatan. Multipara dapat mengatakan bahwa kehamilan ini tidak
“seperti biasanya”. Pada kehamilan lanjut, gerakan janin dapat menimbulkan
nyeri (Cunningham, 2006).
Kecurigaan
terhadap kehamilan ektopik lanjut sering kali timbul karena rasa nyeri yang
berlebihan, dan ditemukan janin dalam letak yang tidak normal dengan
bagian-bagian janin dapat diraba dengan jelas di bawah dinding abdomen pada
saat palpasi. Kadang-kadang di atas simfisis teraba tumor sebesar tinju, yakni
uterus (Wiknjosastro, 2007).
Tes
oksitosin (pemberian oksitosin dalam dosis kecil dengan jalan infus intravena)
membuktikkan adanya kehamilan ektopik lanjut, apabila pada pemeriksaan bimanual
di luar kantong janin dirabasuatu tumor biasanya sebesar tinju yang
berkontraksi (Wiknjosastro, 2007).
Foto
Roentgen bisa juga member petunjuk tentang adanya kehamilan ektopik lanjut
karena letak janin yang tidak normal. Histerosalpingografi member gambaran yang
bagus dari kavum uteri yang kosong dan lebih besar dari biasa, dengan janin di
luar uterus, tetapi pemeriksaan ini biasanya baru dilakukan apabila diagnosis
kehamilan ektopik lanjut sudah dipastikan dengan USG atau MRI (Wiknjosastro,
2007).
Terapi
Mengingat
besarnya risiko perdarahan bagi wanita dengan kehamilan ektopik lanjut tindak
operasi perlu segera dilakukan, terutama pada janin yang masih hidup; pada
janin yang sudah mati, urgensi untuk segera menjalankan operasi tidak begitu
besar, oleh karena dengan menunggu bahaya perdarahan mungkin berkurang. Pada
operasi janin dikeluarkan dengan membuka kantong janin pada tempat dimana tidak
terdapat pembuluh-pembuluh darah yang besar; karena plasenta tidak berinsersi
pada dasar yang dapat berkontraksi dan dapat menghentikan perdarahan setelah
plasenta diangkat, maka biasanya plasenta ditinggalkan di dalam perut. Dengan
sikap ini resorbsi plasenta memerlukan waktu yang lama, dan terdapat risiko
terjadinya ileus, akan tetapi sikap ini dianggap lebih baik daripada usaha
untuk mengeluarkan plasenta pada operasi dengan risiko perdarahan banyak
(Wiknjosastro, 2007).
C.
Aborsi
Spontan
Apabila abortus terjadi
tanpa tindakan mekanis atau medis untuk mengosongkan uterus, maka abortus
tersebut disebut abortus spontan. Kata lain yang luas digunakan adalah
keguguran (miscarriage) (Cunningham, 2006).
Kategori
Abortus Spontan
a.
Abortus Iminens
Diagnosis
Diagnosis abortus iminens (threatened abortion) dipikirkan apabila terjadi perdarahan atau
rabas (discharge) per vaginam pada
paruh pertama kehamilan. Hal ini sangat sering di jumpai, dan satu dari empat
atau lima wanita mengalami bercak (spotting)
atau perdarahan pervaginam yang lebih banyak pada awal gestasi. Mereka yang
mengalami perdarahan pada awal kehamilan, sekitar separuhnya akan mengalami
keguguran. Pada abortus iminens umumnya sedikit, tetapi dapat menetap selama
beberapa hari sampai beberapa minggu. Sayangnya, akan terjadi peningkatan
resiko hasil kematian yang suboptimal dalam bentuk pelahiran preterm, berat
lahir rendah, dan kematian perinatal. Yang utama, resiko malformasi janin
tampaknya meningkat (Cunningham, 2006).
Perdarahan sedikit pada sekitar waktu
perkiraan haid mungkin merupakan hal fisiologis. Lesi serviks cenderung
mengalami perdarahan pada awal kehamilan, terutama setelah melakukan hubungan
seks. Polip yang terdapat di os serviks eksterna serta reaksi desidua di serviks
cenderung mengalami perdarahan pada awal gestasi. Poin klinis yang penting
adalah bahwa perdarahan yang disebabkan oleh keadaan-keadaan yang jinak ini
tidak disertai nyeri perut bawah atau nyeri punggung bawah yang menetap (Cunningham,
2006).
Yang pertama kali muncul biasanya adalah
perdarahan, dan beberapa jam sampai beberapa hari kemudian terjadi nyeri kram
perut. Nyeri abortus mungkin terasa di anterior dan jelas bersifat ritmis;
nyeri dapat berupa nyeri punggung bawah yang menetap disertai perasaan tertekan
di panggul; atau rasa tidak nyaman atau tumpul di garis tengah suprapubis.
Apapun bentuk nyerinya, prognosis keberlanjutan kehamilan apabila terjadi
perdarahan yang disertai nyeri adalah buruk. Peningkatan angka kematian
perinatal dijumpai pada wanita yang kehamilannya mengalami penyulit abortus
iminens pada awal gestasi (Cunningham, 2006).
Penatalaksanaan
Setiap pasien harus diperiksa karena selalu
ada kemungkinan bahwa serviks sudah membuka dan abortus tidak lagi dapat
dihindari, atau terdapat penyulit serius, misalnya kehamilan di luar rahim atau
kista ovarium terpuntir yang tidak diketahui. Pasien dapat bertirah baring
dirumah disertai pemberian analgesia untuk mengatasi nyeri. Apabila perdarahan
menetap, ia perlu diperiksa kembali dan hematokritnya diperiksa. Apabila
perdarahannya cukup besar sehingga terjadi anemia atau hipovolemia, umumnya
diindikasikan evakuasi kehamilan (Cunningham, 2006).
Wanita dengan abortus iminens selama ini
diterapi dengan progesterone intramuscular atau dengan berbagai zat
progestasional sintetik per oral atau secara intramuscular. Sayangnya, bukti
efektivitasnya tidak ada. “Keberhasilan” yang diperoleh dari obat-obat ini
sering hanya terjadi pada missed abortion (Cunningham,
2006).
Kadang-kadang terjadi perdarahan ringan selama
beberapa minggu. Dalam hal ini perlu diputuskan apakah kehamilan dapat
dilanjutkan. Sonografi vagina, pemeriksaan kuantitatif serial kadar
gonadotropin korionik (hCG) serum, dan kadar progesterone serum, yang diperiksa
tersendiri atau dalam berbagai kombinasi, terbukti dapat bermanfaat untuk
memastikan apakah terdapat janin hidup pada intrauterus. Fossum dkk. (1988)
melaporkan bahwa kantung janin biasanya dapat dilihat dengan sonografi vagina
antara 33 sampai 35 hari sejak hari pertama haid terakhir. Hal ini disertai
dengan kadar gonadotropin korionik sekitar 1000mIU/ml. Oleh karena itu, apabila
kantung gestasi terlihat dan hCG serum kurang dari 1000 mIU/ml, kecil
kemungkinan gestasi dapat dipertahankan. Namun, apabila timbul keraguan, perlu dilakukan
pengukuran kadar gonadotropin serial (Cunningham, 2006).
Al-Sebai dkk. (1995) mengatakan bahwa
pengukuran progesterone satu kali memiliki sensitivitas dan spesifisitas 88%
dalam memperkirakan janin intrauteus hidup versus mati atau kehamilan tuba. Stovall
dkk. (1992) melaporkan bahwa hanya sekitar 1% kehamilan abnormal (abortus
inkomplet spontan dan kehamilan ektopik) yang kadar progesterone serumnya 25
ng/ml atau lebih. Kadar progesteron serum yang kurang dari 5 ng/ml berkaitan
dengan konseptus yang telah meninggal, tetapi hal ini tidak dapat menentukan
apakah lokasi kehamilan intra atau ekstrauterus. Hahlin dkk. (1990) melaporkan
bahwa tidak ada kehamilan intrauterus hidup yang kadar progesteronnya kurang
dari 10 ng/ml; 88% dari kehamilan ektopik dan 83% dari abortus spontan memiliki
kadar yang lebih rendah. Oleh karena itu, apabila kantung janin tampak jelas,
kadar gonadotropin kurang dari 1000 mIU/ml, dan kadar progesterone serum kurang
dari 5 ng/ml, hamper pasti menandakan bahwa tidak terdapat kehamilan
intrauterus (Cunningham, 2006).
Dibuktikannya cincin gestasional yang jelas
dan berbatas tegas dengan echo di
tengah dari mudigah secara sonografis menandakan bahwa produk konsepsi cukup
sehat. Kantung gestasi tanpa echo sentral
dari mudigah atau janin merupakan isyarat kuat, tetapi belum membuktikkan,
bahwa konseptus meninggal. Apabila abortus tida terhindarkan, rata-rata
diameter kantung gestasi sering lebih kacil dari ukuran untuk usia gestasinya.
Semua kehamilan intrauterus hidup dapat dilihat dengan ultrasonografi
transvagina pada hari ke-41 gestasi. Selain itu, pada sekitar 45 hari setelah
haid terakhir dan sesudahnya, gerakan jantung janin seharusnya terlihat dengan
ultrasonografi real-time. Emerson
dkk. (1992) serta Pellerito dkk (1992) melaporkan hasil-hasil yang sangat baik
dengan teknik pencitraan color and pulsed
Doppler flow per vaginam dalam mengidentifikasi gestasi intrauterus hidup (Cunningham,
2006).
Setelah konseptus meninggal, uterus harus
dikosongkan. Semua jaringan yang keluar harus diperiksa untuk menentukan apakah
abortusnya telah lengkap. Kecuali apabila ada janin dan plasenta dapat
diidentifikasi secara pasti, mungkin diperlukan kuratase. Ultrasonografi
abdomen atau probe vagina dapat
membantu kita dalam proses pengambilan keputusan ini. Apabila di dalam rongga
uterus terdapat jaringan dalam jumlah signifikan, sebagian besar dokter
menganjurkan kuratase. Kehamilan ektopik harus selalu dipertimbangkan dalam
diagnosis banding abortus iminens. Hal ini terutama apabila kantung gestasi
atau janin tidak teridentifikasi. Potong beku terhadap hasil kuratase dapat
membantu diagnosis (Cunningham, 2006).
b.
Abortus Tidak Terhindarkan
Abortus yang tidak terhindarkan (inevitable) ditandai oleh pecah ketuban
yang nyata disertai pembukaan serviks. Pada keadaan ini, abortus hampir pasti
terjadi. Walaupun jarang, mungkin saja terjadi pengeluaran cairan yang banyak
dari uterus pada paruh pertama kehamilan tanpa disertai konsekuensi serius.
Cairan mungkin terkumpul sebelumnya di antara amnion dan korion. Namun,
biasanya segera terjadi kontraksi uterus, yang mengakibatkan ekspulsi konseptus,
atau terjadi infeksi (Cunningham, 2006).
Penatalaksanaan
Pada pecahnya selaput ketuban yang nyata
selama paruh pertama kehamilan, kemungkinan penyelamatan kehamilan sangat
kecil. Apabila pada kehamilan dini terjadi pengeluaran cairan mendadak yang
mengisyaratkan pecahnya selaput ketuban sebelum timbul nyeri atau perdarahan,
wanita yang bersangkutan dirawat tirah baring dan diamati untuk melihat
kebocoran lebih lanjut, perdarahan, nyeri kram, atau demam. Apabila setelah 48
jam tidak terjadi lagi pengeluaran cairan amnion, tidak timbul nyeri atau
perdarahan, dan tidak ada demam, ia dapat bangun dan melanjutkan aktivitas
sehari-hari, kecuali segala bentuk penetrasi vagina. Namun, apabila pengeluaran
banyak cairan disertai atau diikuti oleh perdarahan dan nyeri, atau apabila
timbul demam, abortus harus dianggap tidak dapat dihindari dan uterus
dikosongkan (Cunningham, 2006).
c.
Abortus Inkomplet
Diagnosis
Didapati antara lain adalah amenorea, sakit
perut, dan mulas-mulas, perdarahan yang bias sedikit atau banyak, dan biasanya
berupa stolsel (darah beku); sudah ada keluar fetus atau jaringan; pada abortus
yang sudah lama terjadi atau pada abortus provokatus yang dilakukan oleh orang
yang tidak ahli, sering terjadi infeksi. Pada pemeriksaan dalam (V.T.) untuk
abortus yang baru terjadi didapati serviks terbuka, kadang-kadang dapat diraba
sisa-sisa jaringan dalam kanalis servikalis atau kavum uteri, serta uterus yang
berukuran lebih kecil dari seharusnya (Cunningham, 2006).
Penatalaksanaan
Bila ada tanda-tanda
syok maka atasi dulu dengan pemberian cairan dan transfusi darah. Kemudian
keluarkan jaringan secepat mungkin dengan metode digital dan kuratase. Setelah
itu beri obat-obat uterotonika dan antibiotika (Cunningham,
2006).
Pada kasus abortus
inkomplet, biasanya tidak perlu melakukan dilatasi serviks sebelum kuratase.
Pada banyak kasus, jaringan plasenta yang tertinggal sekedar menempel di
kanalis servikalis dan dapat dikeluarkan dari os eksterna yang terpapar dengan
forceps cincin atau ovum. Kuratase isap, seperti akan dibahas, efektif untuk
mengosongkan uterus. Wanita dengan tahap kehamilan lebih lanjut, atau yang
mengalami perdarahan besar, harus dirawat inap dan jaringan yang tertinggal
segera dikeluarkan. Perdarahan akibat abortus inkomplet kadang-kadang parah
tetapi jarang mematikan. Demam bukan merupakan kontraindikasi kuratase setelah
terapi antibiotik yang sesuai dimulai
(Cunningham,
2006).
d.
Missed Abortion
Missed abortion adalah keadaan dimana janin
sudah mati, tetapi tetap berada dalam rahim dan tidak dikeluaran selama 2 bulan
atau lebih. Fetus yang meninggal ini bisa keluar dengan sendirinya dalam 2-3
bulan sesudah fetus mati, bisa diresorbsi kembali sehingga hilang, bisa terjadi
mengering dan menipis yang disebut: fetus
papyraceus, atau bisa jadi mola karnosa, dimana fetus yang sudah mati 1
minggu akan mengalami degenerasi dan air ketubannya diresorbsi (Rustam, 2003).
Etiologi missed abortion tidak diketahui,
tetapi diduga pengaruh hormone progesteron. Pemakaian hormone progesteron pada
abortus imminens mungkin juga dapat menyebabkan missed abortion (Rustam, 2003).
Diagnosis biasanya tidak dapat ditentukan
dalam satu kali pemeriksaan, melainkan memerlukan waktu pengamatan untuk
menilai tanda-tanda tidak tumbuhnya malahan mengecilnya uterus (Rustam, 2003).
Gejala yang dijumpai yaitu amenorea, perubahan
sedikit-sedikit yang berulang pada permulaannya, serta selama observasi fundus
tidak bertambah tinggi, malahan tambah rendah. Kalau tadinya ada gejala-gejala
kehamilan, belakangan menghilang, diiringi dengan reaksi kehamilan yang menjadi
negative pada 2-3 minggu sesudah fetus mati. Pada pemeriksaan dalam, serviks
tertutup dan ada darah sedikit. Sekali-sekali pasien merasa perutnya dingin
atau kosong (Rustam, 2003).
Terapi dengan pemberian obat bermaksud agar
terjadi his sehingga fetus dan desidua dapat dikeluarkan, kalau tidak berhasil
lakukan dilatasi dan kuretasi. Dapat juga dilakukan histerotomia anterior.
Hendaknya pada penderita juga diberikan tonika dan antibiotika (Rustam, 2003).
e.
Abortus Habitualis
Abortus Habitualis adalah keadaan dimana
penderita mengalami keguguran berturut-turut 3 kali atau lebih. Menurut HERTIG
abortus spontan terjadi dalam 10% dari kehamilan dan abortus habitualis
3,6-9,8% dari abortus spontan. Kalau seorang penderita telah mengalami 2 kali
abortus berturut-turut maka optimisme untuk kehamilan berikutnya berjalan
normal adalah sekitar 63%. Kalau abortus 3 kali berturut-turut, maka
kemungkinan kehamilan ke-4 berjalan normal hanya sekitar 16% (Wiknjosastro,
2007).
Etiologi abortus habitualis adalah pada
dasarnya sama dengan sebab-musabab abortus spontan seperti yang telah
dibicarakan. Selain itu telah ditemukan sebab imunologik yaitu kegagalan reaksi
terhadap antigen lymphocyte trophoblast cross creative (TLX). Pasien dengan
reaksi lemah atau tidak ada akan mengalami abortus. Sistem TLX ini merupakan
cara untuk melindungi kehamilan. Kelainan ini dapat diobati dengan transfusi leukosit
atau heparin. Dalam usaha untuk mencari sebab itu perlu dilakukan penyelidikan
yang teliti, anamnesis yang lengkap, pemeriksaan pemeriksaan golongan darah
suami dan istri ada tidaknya inkomptabilitas darah. Pemeriksaan VDLR,
pemeriksaan tes toleransi glukosa, pemeriksaan kromosom dan pemeriksaan
mikoplasma. Abortus habitualis yang terjadi dalam triwulan kedua dapat
disebabkan oleh serviks uteri yang tidak sanggup terus menutup, melainkan
perlahan-lahan membuka (inkompeten). Kelainan ini sering kali akibat trauma
pada serviks, misalnya karena usaha pembukaan serviks yang berlebihan, robekan
serviks yang luas dan sebagainya. Kelainan dari ovum atau spermatozoa, diamana
kalau terjadi pembuahan hasilnya adalah pembuahan yang patologis.
Kesalahan-kesalahan pada ibu, yaitu disfungsi tiroid, kesalahan korpus luteum,
kesalahan plasenta, yaitu tidak sanggupnya plasenta menghasilkan progesterone
sesudah korpus luteum atrofis. Ini dapat dibuktikan dengan mungukur kadar
pregnandiol dalam urin. Selain itu juga bergantung kepada keadaan gizi si ibu
(malnutrisi), kelainan anatomis dari rahim, febris undulands (contagious
abortion), hipertensi oleh karena kelainan pembuluh darah sirkulasi pada
plasenta/ villi terganggu dan fetus jadi mati. Dapat juga gangguan psikis, serviks
inkompeten atau rhesus antagonism (Wiknjosastro, 2007).
Diagnosis habitualis pada abortus habitualis
tidak sukar ditentukan dengan anamnesis. Khususnya diagnosis abortus habitualis
karena inkompetensia menunjukkan gambaran klinik yang khas, yaitu dalam
kehamilan triwulan kedua terjadi pembukaan serviks tanpa serviks tanpa disertai
mules, ketuban menonjol dan pada suatu saat pecah. Kemudian timbul mules yang
selanjutnya diikuti oleh pengeluaran janin yang biasanya masih hidup dan
normal. Apabila penderita dating dalam triwulan pertama, maka gambaran klinik
tersebut dapat diikuti dengan merupakan pemeriksan vaginal tiap minggu.
Penderita tidak jarang mengeluh bahwa ia mengeluarkan banyak lendir dari
vagina. Di luar kehamilan penentuan serviks inkompeten dilakukan dengan
histerosalpingografi yaitu ostium internum uteri melebar lebih dari 8 mm
(Wiknjosastro, 2007).
Terapinya yaitu dengan
memperbaiki keadaan umum, pemberian makanan yang sempurna, anjuran istirahat
cukup banyak, larangan koitus dan olah raga. Terapi dengan hormon progesteron,
vitamin, hormone tiroid dan lainnya mungkin hanya mempunyai pengaruh psikologis
karena penderita mendapat kesan bahwa ia diobati. Pengobatan pada kelainan
endometrium pada abortus habitualis lebih besar hasilnya jika dilakukan sebelum
ada konsepsi daripada sesudahnya. Merokok dan minum alkohol sebaiknya dikurangi
atau dihentikan. Pada serviks inkompeten terapinya adalah operatif (Wiknjosastro, 2007).
D.
Plasenta
Previa
Plasenta
previa merupakan suatu kelainan obstetri yang muncul di trimester kedua dan
ketiga kehamilan, dimana plasenta tumbuh di bagian
terbawah dari rahim (uterus)
sehingga menyebabkan obstruksi parsial atau total dari pembukaan serviks. Faktor
risiko untuk kelainan ini termasuk di antaranya usia lanjut pada ibu,
multiparitas, kebiasaan merokok, riwayat plasenta previa, riwayat seksio
sesarea, riwayat kuretase uterinal sebelumnya, dan riwayat infeksi uterinal
(Friedel et al, 2003). Insidensinya
adalah sekitar 1 diantara 300 kehamilan.
Plasenta previa yang muncul di akhir kehamilan seringkali disertai dengan
perdarahan vagina serta dikaitkan dengan nyeri abdomen dan nyeri saat uterus
berkontraksi. Diagnosis bandingnya antara lain kehamilan ektopik, pregnancy-related liver disease,
appendisitis, kolesistitis akut, torsio ovarium, dan persalinan prematur.
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, plasenta previa cenderung muncul di
trimester kedua dan ketiga kehamilan, sedangkan kehamilan ektopik muncul di trimester
pertama.
Sonografi
seringkali digunakan sebagai alat bantu penegakan diagnosis untuk plasenta
previa (Derchi et al, 2001).
Pencitraan digital dengan menggunakan instrument probe pada serviks harus
dihindari karena hal ini dapat mempresipitasi perdarahan vagina. Plasenta
previa biasanya membutuhkan seksio sesarea sebagai penatalaksanaanya, khususnya
bila janin telah cukup bulan (Annath et
al, 2001).
Plasenta
previa mungkin juga dihubungkan dengan plasenta yang melekat secara abnormal (abnormally adherent placenta). Pada placenta accrete, vili plasenta melekat
pada miometrium; sedangkan pada placenta
increta, vili plasenta menembus lapisan miometrium; dan pada placenta percreta, vili plasenta
menembus hingga lapisan serosa dari uterus (Annath et al, 2001).
Kelainan-kelainan
di atas biasanya didiagnosis intrapartum saat manifestasi seperti pendarahan
saat pelepasan plasenta terjadi. Placenta percreta biasanya menimbulkan nyeri
abdomen antepartum, perdarahan vagina, atau hematuria. Pendarahan intrapartum
ditangani dengan resusitasi cairan, koreksi koagulopati, transfusi darah, bedah ligasi dan embolisasi angiografi
selektif dari pembuluh darah yang mengalami pendarahan, atau histerektomi (Cappel
dan Friedel, 2003).
II.10. Kelainan
Ginekologi Selama Kehamilan
A.
Pelvic
Inflammatory Disease
Penyakit radang panggul (Pelvic Inflammatory Disease / PID) adalah infeksi traktus genitalia
atas dan dapat melibatkan infeksi dari endometrium (endometritis), oviduk
(salpingitis), ovarium (oophoritis) dan dinding uterus (myometritis) atau
bagian dari peritoneum parietal (peritonitis). PID akut kebanyakan mengenai tuba dan mengakibatkan sekuele infeksi
tuba, seperti detruksi bentuk dan fungsi tuba dan terjadi perlekatan di pelvis.
PID kronik murni (seperti
tuberculosis pelvis dan aktinomikosis) jarang terjadi (Alexander CJ, 2002).
Umumnya PID disebabkan
oleh infeksi ascending atau
penyebaran melalui darah sehingga lesi yang ditimbulkan seringkali bersifat
bilateral. Karena letak ovarium yang sangat dekat dengan tuba fallopi sehingga
menyebabkan perlu dipikirkannya kemungkinan inflamasi yang terjadi pada kedua
organ ini secara bersamaan (Ainbinder, 2003).
Dalam praktek klinik didapatkan infeksi dari bakteri
(terbanyak), viral, fungal, dan parasitik. Secara kasar 1/3 dari kasus,
organisme penyebabnya adalah Neisseria
gonorrhoeae (Ainbinder, 2003).
Gambaran Klinis
Gambaran klasik dari PID adalah sindroma akut dari nyeri abdomen bawah dan nyeri tekan
adneksal. Gambaran bahaya adalah infeksi ascending
uterus yang tidak menimbulkan gejala, atau hanya sedikit gejala dan tanda
menstruasi abnormal nyeri tekan uterus tanpa nyeri tekan adneksal. (Ainbinder,
2003)
Klasifikasi umum menurut DeCherney dari infeksi panggul berdasarkan frekuensi kejadian
adalah: (Ainbinder, 2003)
a)
Penyakit radang panggul
(Pelvic Inflammatory Disease = PID)
1. Salpingitis
akut
a. Gonokokal
b. Nongonokokal
2. IUD
– berhubungan dengan selulitis panggul
3. Abses
tubo ovarium
4. Abses
panggul
b)
Infeksi puerperal
1. Seksio cesarean
(common)
2. Persalinan
vaginal (uncommon)
c)
Post operasi bedah
ginekologi
1. Selulitis
cuff dan parametritis
2. Abses
vaginal cuff
3. Abses
tubo-ovarion
d)
Abortus yang bersamaan
dengan infeksi
1. Selulitis
postabortal
2. Abortus
septic incomplete
e)
Infeksi sekunder lain
seperti appendicitis, diverticulitis dan tuberculosis
Tanda dan gejala berupa nyeri abdomen bawah, nyeri
pelvis dan nyeri tekan, otot menegang atau nyeri lepas, pada kedua kuadran
abdomen bawah, nyeri biasanya dengan onset subakut, lambat, tumpul, bilateral
dan kadang-kadang inulateral, bising usus akan hipoaktif atau tidak ada;
terdapat demam (39,5ºC) atau normal, adanya coated
tongue dan dehidrasi; peningkatan sel darah putih; perdarahan per vagina
yang tidak biasa atau discharge,
perdarahan abnormal sebagai manifestasi dari endometritis; takikardia, nausea dan vomitus, dengan adanya nausea
dengan atau tanpa vomitus
kemungkinan terjadi masalah yang lebih serius (seperti appendicitis akut); juga
dapat terjadi sakit kepala dan lesu; adanya dyspareunia
sering terjadi (Smith P, 2003).
Diagnosis
Diagnosis PID
adalah sulit karena tanda dan gejala yang muncul berubah-ubah. Pada pasien
dengan serviks, uterus atau nyeri tekan adneksal, PID secara akurat didiagnosis hanya sekitar 65%. Karena sekuele PID, terutama infertilitas, kehamilan
ektopik dan nyeri pelvis kronik, harus dicurigai PID pada wanita dengan risiko tinggi dan hendaklah ditangani dengan
agresif pula (Alexander CJ, 2002).
Skema kriteria diagnosis dari Pusat Pencegahan dan
Penanggulangan Penyakit dapat membantu meningkatkan ketepatan diagnosis dan
penatalaksanaannya (Alexander CJ, 2002).
a)
Kriteria minimum untuk
diagnosis klinik (ketiganya harus ada) sebagai berikut:
1. Nyeri
tekan abdominal bagian bawah bilateral
2. Nyeri
tekan gerakan serviks
3. Nyeri
tekan adneksal bilateral
b)
Kriteria tambahan
diagnosis
Kriteria rutin adalah yang dapat diketahui dengan
prosedur sederhana dan mendukung atau konfirmasi adanya inflamasi akut.
Kriteria special adalah verifikasi yang membutuhkan prosedur yang lebih sulit
dengan keadaan klinis yang mana pasien dengan temuan klinis lebih berat dan
yang mana diagnosis serius lainnya harus disingkirkan.
1. Rutin
a. Suhu
oral lebih tinggi dari 38ºC
b. Discharge abnormal
servikal dan vaginal
c. Peningkatan
LED, peningkatan level C-reactive
protein, atau keduanya
d. Pemeriksaan
laboratorium untuk infeksi servikal dengan N.gonorrhoeae
atau C.trachomatis
2. Khusus
a. Pemeriksaan
histopatologik dari endometritis
b. Abses
tubo-ovarian pada sonografi atau imaging lainnya
c. Pemeriksaan
laparoskopi
Pemeriksaan
Laboratorium
a)
Penemuan patologik:
radang dari tuba fallopu, ovarium, dan permukaan sekitar peritoneal (Smith P,
2003).
b)
Pewarnaan Gram
servikal: jika Gram negative intraselular diplococcic
muncul, gonorrhea adalah
diagnosisnya (Ainbinder, 2003).
c)
Serum human chorionic gonadotropin. Uji
kehamilan yang snsitif adalah penting dalam diagnosis banding dari nyeri pelvis
untuk menyingkirkan kemungkinan dari kehamilan ektopik. Pada masa lalu, sekitar
3-4% wanita dengan diagnosis PID
memiliki kehamilan ektpok pewarnaan Gram servikal: jika Gram negative
intraselular diplococcic muncul, gonorrhea adalah perkiraan diagnosis.
Walaupun pewarnaan Gram sendiri terlewat ½ dari kasus gonorrhea (Ainbinder, 2003).
d)
Ultrasonografi akan
membantu mendeteksi adanya massa adneksal dan intrauterine atau kehamilan
ektopik, terutama bila ada nyeri tekan abdomen dan tidak dapat dilakukannya
pemeriksaan pelvis yang adekuat. Hasil terapi dapat diukur secara objektif
dengan mengecilnya massa pelvis dan berkurangnya indurasi pewarnaan Gram
servikal. Pada pemeriksaan ultrasonografi akan memperlihatkan cairan bebas pada
cul-de-sac posterior (Smith P, 2003).
e)
Laparoskopi, jika
proses penyakut belum jelas, teknik ini jalan terakhir untuk menentukan
diagnosis. Konfirmasi dengan laparoskopi harus dipertimbangkan untuk setiap
pasien yang tidak mempunyai respon beberapa waktu atau pada siapa dengan
diagnosis yang diragukam. Pada 35% pasien tidak ditemukan infeksi. Laparoskopi
dapat mengkonfirmasikan 65-90% nilai perkiraan positif untuk penyakit tuba
diantara pasien dengan diagnosis perkiraan PID
(Ainbinder, 2003).
f)
Kuldosintesis, jika
cairan purulen diperoleh, kultur memerlukan seleksi antibiotic. Walaupun
infeksi mungkin sekunder dari proses primer lainnya (Ainbinder, 2003).
g)
Pemeriksaan darah:
(2,4)
1. Leukositosis,
bukan indicator yang dapat dipercaya pada PID
akut. Kurang dari 50% dari wanita dengan PID
akut mempunyai sel darah putih lebih dari 10.000 sel/ml.
2. Peningkatan
laju endap darah adalah temuan yang nonspesifik, tetapi nilai sedimentasi
meningkat pada sekitar 75% wanita yang dengan laparoskopi dikonfirmasi sebagai PID.
3. Hitung
darah lengkap
4. Kultur
serviks (walaupun hanya 50% korelasi antara kultur serviks dan organism traktus
atas) dan pewarnaan Gram (Smith P, 2003).
Penatalaksanaan
Diagnosis dini dan penanganannya untuk mencegah
kerusakan dari sistem reproduksi. Keterlambatan awal dari penanganan
berhubungan dengan gejala berikutnya. Penekanan pada penanganan agresif untuk
infeksi traktus genital bawah dan penanganan agresif dini dari infeksi genital
atas. Ini akan membantu mengurangi insidens sekuele jangka panjang. Penanganan
pasangan seksual dan pendidikan adalah penting dalam mengurangi nilai infeksi
rekurens. Demikian juga terapi yang inadekuat karena seleksi anti microbial
yang salah dosis yang tidak cukup atau durasi terapi yang in-adekuat akan
bertanggung jawab untuk masalah berikutnya
(Ainbinder,
2003).
Dibutuhkan evaluasi cepat, kultur servikal, terapi
suportif (cairan, analgesic dan antipiretik), beberapa membutuhkan
histerektomi: rupture dari abses tubo-ovarian, dengan akibat shock septic yang
mengancam hidup; tidak ada perubahan diet; istirahat pelvis, rawat jalan
memungkinkan untuk infeksi awal ringan rawat inap mungkin diperlukan (Smith P, 2003).
Terapi
antibiotic agresif:
1. Rawat
jalan – Cefoxitin (2 g intra muscular/IM) ditambah Probenecid (1 g per oral/PO)
dikombinasi Ceftraixone (250 mg, IM) ditambah 14 hari Doxycycline.
2. Rawat
inap – Cefoxitin (2 g intravena/IV setiap 6 jam) atau Cefotetan (2 g IV setiap
12 jam) dengan Doxycycline (100 mg, setiap 12 jam PO atau IV) yang
direkomendasikan.
3. Untuk
infeksi campuran, Clindamycin (900 mg Iv setiap 8 jam) ditambah dengan
Aminoglicoside seperti Gentamicin (2 mg/kg loading
doses, kemudian 1,5 mg/kg setiap 8 jam) akan memberikan proteksi yang lebih
baik. Setelah penghentian – Doxycycline (100 mg PO 2 kali sehari) atau
Clindamycin (450 mg 4 kali sehari) selama 14 hari.
4. Obat
alternatif: Ofloxacin (400 mg PO 2 kali sehari selama 14 hari) dikombinasi
dengan oral Clindamycin (450 mg 4 kali sehari) atau oral Metronidazole (500 mg
2 kali sehari) juga diusulkan. Augmentin (500 mg 3 kali sehari selama 10 hari)
juga dapat digunakan dengan hasil yang sama. Hasil yang baik pernah dilaporkan
dengan kombinasi dari Clindamycin dan Aztreonam (2 g IM tiap 8 jam).
Piperacillin (4 g) dikombinasikan dengan Tazobactam (500 mg) diberikan IV tiap
8 jam juga dapat digunakan, tetapi hanya 9% nilai penyembuhan (5% perbaikan)
(Smith P, 2003).
Kriteria
rawat inap pasien dengan penyakut radang panggul akut: apabila dicurigai adanya
abses pelvis atau tubo-ovarian, kehamilan, temepratur lebih dari 38ºC,
ketidakmampuan toleransi masukan secara PO, tanda-tanda peritoneal, kegagalan respon
dengan antibiotic oral dalam 48 jam, pasien remaja, pasien nulipara, diagnosis
yang ragu-ragu, diagnose banding: kehamilan ektopik atau apendisitis, pasien
HIV, pasien imunosupresi, penggunaan IUD, nulipara, ileus paralitik,
peritonitis atau keracunan, kehamilan, kegagalan penanganan sebelumnya, gejala
gastrointestinal signifikan, morbiditas signifikan, suhu diatas 39ºC, abses
tubo-ovarian, diagnosa banding yang tidak biasanya dan kompleks, pasien yang
tidak dapat dipercaya, atau jumlah sel darah putih lebih dari 20.000 atau
kurang dari 4.000 (Alexander CJ, 2003).
Pencegahan
yang dapat dilakukan dengan jalan pencegahan dari infeksi (barrier kontrasepsi, “seks aman”). Screening bagi yang berisiko, penanganan sedini mungkin dan
mengikuti nasehat yang diberikan dokter setelah dilakukan pemeriksaan
ginekologi. Seperti kebanyakan penyakit menular seksual, pasangan dari pasien
dengan penyakit radang panggul diperiksa untuk infeksi gonococcal, chlamydial, dan HIV
dan ditangani sesuai dengannya (Ainbinder, 2003).
Klinis
dan laboratorium menunjukkan bahwa penggunaan kontrasepsi mengubah risiko relatif
dari perkembangan PID. Metode
rintangan dari kontrasepsi memberikan suatu obstruksi mekanikal, sedangkan
nonoxynol 9, bahan kimia yang digunakan dalam preparasi spermisidal, yang mna
letal untuk alergi dan virus, memberikan rintangan kimia. Penggunaan
kontrasepsi oral dihubungkan dengan insidens PID bawah dan dengan infeksi yang lebih ringan pada saat terjadi.
Alasan untuk efek proteksi ini adalah tidak jelas tetapi mungkin berhubungan
dengan perubahan konsistensi mukus servikal, menstruasi yang pendek atau atrofi
dari endometrium (Alexander CJ, 2002).
B.
Abses
Tubo Ovarium
Abses tuboovarium terbentuk bila tuba yang
terinfeksi melekat dengan ovarium sehingga muncul proses peradangan tuba dan
ovarium. Abses tuboovarium dapat terjadi sebagai akibat dari infeksi pelvis
puerperalis atau sebagai suatu komplikasi dari pembedahan pelvis, maupun
penyebaran ke ovarium organisme-organisme piogenik. Akumulasi pus yang sangat
banyak menimbulkan pembentukan massa yang sangat nyeri, tidak dapat digerakkan,
batas jelas di dalam region adneksa atau di dalam kavum Douglasi (Taber, 2002).
Gejala klinis
1.
Nyeri
abdomen merupakan gejala yang paling khas,
cenderung memberat, konstan dan difus di sekitar abdomen bagian bawah. Karena peritonitis
meluas, area rasa nyeri menjadi lebih luas; nyeri maksimum cenderung
terlokalisir pada tempat abses. Nyeri abdomen yang tiba-tiba, hebat dan difus
disertai dengan syok memberi kesan kemungkinan rupturnya abses tuboovarium.
2.
Perdarahan
per vaginam, spotting, dan sekret merupakan gejala variabel yang dapat
menunjukkan adanya disfungsi ovarium, endometritis penyerta atau servisitis.
3.
Gejala-gejala
penyerta meliputi demam, menggigil, anoreksia,
nausea dan vomitus. Nyeri sewaktu defekasi atau diare member kesan keterlibatan
rectum. Disuria, sering kencing, piuria atau hematuria memberi kesan
keterlibatan vesika urinaria (Taber, 2002).
Riwayat abortus yang baru terjadi, persalinan
obstetric, pembedahan pelvis merupakan faktor-faktor predisposisi yang mungkin.
Pada saat itu, suatu abses adneksa berkembang lambat dalam perjalanan post
operatif setelah seksio sesarea atau pembedahan pelvis. Alat kontrasepsi dalam
rahim (AKDR) dikakitkan dengan suatu peningkatan insiden infeksi pelvis
virulen. Sejumlah pasien memberikan riwayat salpingitis atau infeksi pelvis
sebelumnya (Taber, 2002).
Pemeriksaan Fisik:
1.
Pemeriksaan umum: suhu
cenderung naik secara mencolok, dengan peningkatan sampai 103 atau 1040 F
(400 C). nadi cepat dan tekanan darah normal kecuali septik syok
telah menyebabkan hipotensi, yang dapat merupakan suatu tanda sitemik rupture
intraabdomen.
2.
Pemeriksaan abdomen:
nyeri pelvis, nyeri lepas dan defance
muscular merupakan penemuan yang khas untuk peradangan peritoneum. bising
usus sering hipoaktif atau tidak ada; distensi disebabkan oleh ileus paralitik.
Abses pelvis yang besar dapat terpalpasi pada abdomen. Rigiditas otot umum,
nyeri lepas abdomen bagian atas , nyeri bahu dan tidak adanya bising usus
merupakan tanda-tanda peritonitis generalisata yang mungkin menandakan
rupturnya suatu abses intra abdomen.
3.
Pemeriksaan pelvis:
pada pemeriksaan dengan speculum akan terlihat cairan purulen pada osteum
uteri. Selain itu juga akan terlihat tali (ekor) alat kontrasepsi dalam rahim.
Ukuran uterus biasanya normal, terfiksir dan kemungkinan berdeviasi ke salah
satu sisi. Bila serviks digerakkan akan terasa nyeri. Massa adneksa akan
terpalpasi, baik unilateral ataupun bilateral. Massa kistik dan sangat nyeri;
bentuknya lateral dan di belakang uterus. Perlengketan sering mengenai usus dan
omentum. Jalinan bersama dan jaringan-jaringan yang terfiksasi menambah besar
ukuran massa tumor yang tampak. Abses dapat menonjol ke dalam kavum Douglas
posterior atau menjorok ke dalam forniks vagina. Pemeriksaan rektovagina dapat
menyingkapkan adanya abses yang terfiksir dan sangat nyeri yang menembus ke
dalam septum rektovagina (Taber, 2002).
Tes Laboratorium
Studi
bakteriologi meliputi:
1.
Endoserviks : apusan
pewarnaan gram dan biakan aerob
2.
Darah: biakan aerob dan
anaerob
3.
Luka abdomen atau
vagina: apusan pewarnaan gram, biakan aerob dan anaerob.
Derajat sedimentasi eritrosit (ESR) cenderung
meningkat dengan jelas. Nilai yang berkisar antara 60 sampai 100 mm/jam
merupakan petunjuk dari proses supuratif akut.Elektrolit serum sebagai petunjuk
yang berguna dalam terapi pengganti cairan dan elektrolit.Foto abdomen
bermanfaat apabila terdapat sejumlah kecurigaan adanya benda asing, cairan
intraperitoneum atau organisme penghaail gas. Suatu temuan yang sering
ditemukan adalah ileus adinamik. Pielogran intravena dapat menunjukkan
pergesaran uterus. Ultrasonografi membantu dalam evaluasi eukuran dan lokasi
suatu rongga abses, terutama pada pasien-pasien yang gemuk yang sulit untuk diperiksa.
CT scan atau scanning Gallium dapat membantu diagnosis abses intraabdomen.
Kuldosentesis dapat memberikan cairan puruken yang dapat dikirimkan ke
laboratorium bakteriologi untuk pewarnaan garam, biakan aerob dan anaerob dan
pemeriksaan antibiotik (Taber, 2002).
Penatalaksanaan dan pendidikan
pasien
Pasien dirawat di rumah sakit dan tirah baring
dengan posisi semi-fowler. Alat kontrasepsi dalam rahim dikeluarkan. Nasogastric suction hanya diindikasikan
bila vomitus, distensi abdomen, dan tidak adanya bising usus merupakan petunjuk
suatu ileus paralitikus. Kateterisasi untuk mencatat keluaran urin dan tekanan
vena sentralis dianjurkan bila dicurigai adanya syok septik (Taber, 2002).
Cairan dan antibiotic intravena sangat esensial.
Penggantian cairan dan elektrolit tergantung pada hidrasi pasien serta pada
banyaknya cairan yang hilang setiap harinya. Antibiotika dipilih untuk
mengatasi organisme-organisme aerob dan anaerob baik gram negative maupun gram
postif. Suatu kombinasi penisilin, gentamisin, dan klindamisin dapat mengatasi
sebagian besar organisme tersebut. Segera setekah biakan bakteriologi positif
diperoleh, terapi antibiotic disesuaikan menurut organisme spesifik yang
diidentifikasi dan sensitivitasnya yang diketahui (Taber, 2002).
Respons terapi dievaluasi melalui kondisi umum
pasien, suhu dan serangkaian hitung leukosit. Terapi medis dilanjutkan sampai
perlunakan dan ukuran massa menurun. Kemunduran kondisi klinis yang tiba-tiba member
kesan adanya ruptur abses (Taber, 2002).
Apabila pasien masih demam setelah 72 jam terapi
parenteral yang adekuat, ada tiga kemungkinan yang dapat dijelaskan:
1.
Organisme-organisme
yang bertanggung jawab tidak peka terhadap jenis antibiotic yang dipilih
2.
Terdapat tromboflebitis
pelvis secara bersamaan
3.
Terdapat penumpukan pus
yang harus dikeringkan melalui pembedahan,
Drainase kolpotomi melalui fornis posterior vagina
biasanya menguntungkan pasien dengan massa kavum Douglas yang terpalpasi dan
berfluktuasi yang telah menembus septum rektovagina. Di dalam ruang operasi, di
bawah anastesia umum, massa diaspirasi untuk pewarnaan Gram dan biakan,
kemudian diinsisi dan dikeringkan dengan eksplorasi kavitas secara digital
untuk melepaskan perlengketan superficial (Taber, 2002).
Laparotomi eksplorasi diindikasikan apabila
diagnosisnya tidak pasti, abses telah ruptur secara intraperitoneum atau pasien
tidak memberikan respons terhadap terapi antibiotic. Apabila abdomen telah
dibuka specimen cairan peritoneum dikirim ke laboratorium bakteriologi untuk
biakan aerob dan anaerob. Salpingo-ooforektomi unilateral atau bilateral yang
disertai dengan histerektomi mungkin diperlukan, tergantung pada luasnya proses
penyakit, kondisi medis pasien dan keinginan untuk hamil dikemudian hari
(Taber, 2002).
C.
Endometriosis
Pada endometriosis jaringan endometrium ditemukan di
luar kavum uteri dan di luar miometrium. Menurut urutan yang tersering
endometrium ditemukan di temapat-tempat sebagai berikut:
1. Ovarium
2. Peritoneum
dan ligamentum sakrouterinum, kavum Douglasi; dinding belakang uterus, tuba
fallopii, plika vesikouterina, ligamentum rotundum dan sigmoid
3. Septum
rektovaginal
4. Kanalis
inguinalis
5. Apendiks
6. Umbilikus
7. Serviks
uteri, vagina, kandung kencing, vulva, perineum
8. Parut
laparotomi
9. Kelenjar
limfe
10. Endometriosis
dapat di temukan di lengan, paha, pleura, dan perikardium walaupun sangat
jarang (Wiknjosastro, 2007).
Gambaran Klinik
Gejala-gejala yang ditemukan pada penyakit ini
adalah nyeri perut bawah yang progesif dan dekat paha yang terjadi pada dan
selama haid (dismenorea); dispareunia; nyeri waktu defekasi, khususnya pada
waktu haid; poli- dan hipermenorea; infertilitas (Wiknjosastro, 2007).
Dismenorea pada endometriosis merupakan nyeri waktu
haid yang semakin lama menghebat. Sebab dari dismenorea ini tidak diketahui
tapi ada hubungannya dengan vaskularisasi dan perdarahan dalam endometriosis
pada sebelum dan saat haid. Dispareunia merupakan gejala yang sering dijumpai,
disebabkan oleh adanya endometriosis di kavum douglasi. Defekasi yang sukar dan sakit terutama pada waktu haid
disebabkan oleh endometriosis pada dinding rektosigmoid, kadang-kadang terjadi
stenosis dari lumen usus besar. Endometriosis kandung kencing jarang terdapat,
gejalanya ialah gangguan miksi dan hematuria pada saat haid (Wiknjosastro, 2007).
Gangguan haid dan siklusnya terjadi pada
endometriosis bila terdapat kelainan pada ovarium sehingga fungsi ovarium
terganggu, pada pemeriksaan ginekologik khususnya pemeriksaan
vagina-rekto-abdominal ditemukan endometriosis ringan. Ovarium mula-mula dapat
diraba sebagai tumor kecil, akan tetapi bisa membesar sampai sebesar tinju.
Tumor ovarium seringkali terdapat bilateral dan sukar digerakan (Wiknjosastro, 2007).
Diagnosis
Diagnosis biasanya ditegakan atas anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laparoskopi. Kuldoskopi kurang bermanfaat
jika kavum douglasi terdapat pada endometriosis, pada endometriosis ditemukan
forniks vaginae posterior, perineum, parut laparotomi dan sebagainya, biopsi
memberi kepastian mengenai diagnosis. Pemeriksaan laboratorium pada
endometriosis tidak memberi tanda yang khas, hanya apabila ada darah dalam
tinja atau air kencing pada waktu haid dapat menjadi petunjuk tentang adanya
endometriosis pada rektosimoid atau kandung kencing. Sigmoidoskopi dan
sistoskopi dapat memperlihatkan tempat perdarahan pada waktu haid. Pembuatan
foto rontgen dengan memasukkan barium dalam kolon dapat memberi gambaran dengan
Filling Defect pada rektosigmoid
dengan batas-batas yang jelas dan mukosa yang utuh. Laparoskopi merupakan
pemeriksaan yang sangat berguna untuk membedakan endometriosis dari
kelainan-kelainan dipelvis. Untuk menentukan berat ringan endometriosis
digunakan klasifikasi dari American
Fertility Society (Wiknjosastro, 2007).
Penatalaksanaan
Penanganan endometriosis terdiri atas pencegahan,
pengawasan saja, terapi hormonal, pembedahan, dan radiasi.
a.
Pencegahan
Meigs
berpendapat bahwa kehamilan adalah cara pencegahan yang paling baik untuk
endometriosis. Gejala-gejala endometriosis memang berkurang atau hilang pada
waktu dan sesudah kehamilan karena regresi endometrium dalam sarang-sarang
endometriosis. Oleh sebab itu hendaknya perkawinan jangan ditunda terlalu lama,
dan sesudah perkawinan hendaknya diusahakan supaya mendapat anak-anak yang
diinginkan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sikap yang demikian itu tidak
hanya merupakan profilaksis yang baik terhadap endometriosis, melainkan
menghindari terjadinya infertilitas sesudah endometriosis timbul. Selain itu
jangan melakukan pemeriksaan yang kasar atau melakukan kerokan pada waktu haid,
oleh karena hal itu dapat menyebabkan mengalirnya darah haid dari uterus ke
tuba dan ke rongga panggul (Wiknjosastro, 2007).
b.
Observasi dan Pemberian
Analgetik
Pengobatan
ekspetatif ini akan berguna bagi wanita-wanita dengan gejala dan kelainan fisik
yang ringan. Pada wanita yang sudah agak berumur, pengawasan itu bisa
dilanjutkan sampai menopause, karena sesudah itu gejala-gejala endometriosis
hilang sendiri. Sikap yang sama dapat diambil pada wanita yang lebih, yang
tidak mempunyai persoalan tentang infertilitas, akan tetapi pada wanita yang
ingin mempunyai anak, jika ditunggu setelah 1 tahun tidak terjadi kehamilan,
perlu dilakukan pemeriksaan terhadap infertilitas dan diambil sikap yang lebih
aktif. Pada observasi seperti diterangkan di atas, harus dilakukan pemeriksaan
secara periodic dan teratur untuk meneliti perkembangan penyakitnya dan
mengubah sikap ekspetatif. Dalam masa observasi ini dapat diberi pengobatan
paliatif berupa paemberian analgetika untuk mengurangu rasa nyeri (Wiknjosastro,
2007).
c.
Pengobatan Hormonal
Sebagian
dasar pengobatan hormonal endometriosis ialah bahwa pertumbuhan dan fungsi
jaringan endometriosis, seperti jaringan endometrium yang normal, dikontrol
oleh hormone-hormon steroid. Hal ini didukung oleh data klinik maupun
laboratorium (Wiknjosastro, 2007).
Data klinik tersebut adalah:
1.
Endometriosis sangat
jarang timbul sebelum menars
2.
Menopause, baik alami
maupun karena pembedahan, biasanya menyebabkan kesembuhan
3.
Sangat jarang terjadi
kasus endometriosis baru setelah menopause, kecuali jika ada pemberian estrogen
eksogen.
Data
laboratorium menunjukkan bahwa jaringan endometriosis pada umumnya mengandung
reseptor estrogen, progesteron, dan androgen. Pada percobaan dengan model
endometriosis pada tikus dan kelinci, estrogen merangsang pertumbuhan jaringan
endometriosis, androgen menyebabkan atrofi, sedang pengaruh progesteron
kontroversial. Progesterone sendiri mungkin merangsang pertumbuhan endometriosis,
namun progesterone sintetik yang umumnya mempunyai efek androgenic tampaknya
menghambat pertumbuhan endometriosis (Wiknjosastro, 2007).
Atas dasar tersebut di atas, prinsip pertama
pengobatan hormonal endometriosis adalah menciptakan lingkungan hormon rendah
estrogen dan asiklik. Kadar estrogen yang rendah menyebabkan atrofi jaringan
endometriosis. Keadaam yang asiklik mencegah terjadinya haid, yang berarti
tidak terjadi pelepasan jaringan endometrium yang normal maupun jaringan
endometriosis. Dengan demikian dapat dihindari tombulnya sarang endometriosis
yang baru karena transport retrogard jaringan endometrium yang lepas serta
mencegah pelepasan dan perdarahan jaringan endometriosis yang menimbulkan rasa
nyeri karena rangsangan peritoneum. Dalam decade terkahir ini dipakai
dekapeptid sintetik LHRH agonis yang mempunyai kekuatan 100-200x dari yang
alami. Pemberian hormone tersebut secara berulang kali dapat menimbulkan suatu
keadaan hypogonadotrophic hypogonadism
atau pseudomenopause yang diperkirakan akan mempengaruhi penyakit yang
tergantung pada estrogen seperti endometriosis (Wiknjosastro, 2007).
Prinsip kedua adalah menciptakan lingkungan hormon
tinggi androgen atau tinggi progesterone (progesterone
sintetik) yang secara langsung menyebabkan atrofi jaringan endometriosis.
Di samping itu, prinsip tinggi androgen atau tinggi progesterone juga
menyebabkan keadaan rendah estrogen yang asiklik karena gangguan pada
pertumbuhan folikel. Prinsip beberapa cara pengobatan dapat dilihat pada bagan
berikut:
Tabel
2.2
Pengobatan Hormonal Pada Pengobatan Endometriosis
(Wiknjosastro, 2007)
d.
Pengobatan dengan
Pembedahan
Harus selalu diingat bahwa adanya jaringan ovarium
yang berfungsi merupakan syarat mutlak untuk tumbuhnya endometriosis. Oleh
karena itu pada waktu pembedahan, harus dapat menentukan apakah fungsi ovarium
harus dipertahankan dan bila fungsi ovarium dapat dihentikan. Fungsi ovarium
harus dipertahankan pada endometriosis yang dini, pada endometriosis yang tidak
memberikan gejala, dan pada endometriosis pada wanita muda dan yang masih ingin
punya anak. Sebaliknya fungsi endometriosis dihentikan sudah mengadakan
penyerbuan yang luas dalam pelvis, khususnya pada wanita yang berusia lebih lanjut.
Di dalam praktek pada umumnya endometriosis berada diantara kedua macam keadaan
tersebut diatas, sehingga sukar sekali untuk membuat keputusan. Dalam melakukan
pengobatan endometriosis sebaiknya bersikap konservatif berdasarkan atas
fakta-fakta sebagai berikut :
1.
Endometriosis umumnya
menjalar lambat dan memerlukan waktu bertahun-tahun.
2.
Endometriosis bukanlah
penyakit ganas dan jarang sekali menjadi ganas.
3.
Endometriosis mengalami
regresi pada waktu menopause (Wiknjosastro, 2007).
Umumnya pada terapi pembedahan yang konservatif
sarang-sarang endometriosis diangkat dengan meninggalkan uterus dan jaringan
ovarium yang sehat, dan perlekatan sedapat-dapatnya dilepaskan (Wiknjosastro, 2007).
Pada kista coklat ovarium pada umumnya hendaknya
jangan seluruh ovarium diangkat, tetapi ditinggalkan bagian dari ovarium yang
kiranya masih sehat. Pada endometriosis yang terdapat bersama-sama dengan mioma
uteri, kistoma ovarii, atau lain-lain kelainan panggul, terapi dilakukan untuk
endometriosis dan untuk kelainan lain itu. Lima belas persen dari penderita
dengan endometriosis menderita mioma uteri, tergantung dari berbagai faktor
harus dipilih antara pembedahan endometriosis secara konservatif dan
miomektomi, atau histerektomi. Hasil pembedahan untuk ingfertilisasi sangat
tergantung pada tingkat endometriosis, tidak dianjurkan untuk penderita dengan
penyakit yang berat. Kistner mengajurkan untuk mengerjakan neuroktomi prasakral
pada kasus-kasus endometriosis apabila uterusnya tidak diangkat. Hal ini juga perlu dikerjakan walaupun sebelumnya
penderita tidak mengeluh tentang dismenorea, oleh karena gejala ini sering
timbul kemudian setelah operasi. Kistner juga menganjurkan untu melanjutkan
apendektomi oleh karena tidak jarang sarang-sarang endometriosis terdapat pada
serosa apendiks. Pembedahan konservatif ini dapat dilakukan dengan dua cara
pendekatan, yakni laparotomi atau laparoskopi operatif (Wiknjosastro, 2007).
Laparoskopi operatif mempunyai beberapa keuntungan
jika dibandingkan dengan laparotomi. Pertama, lama tinggal di rumah sakit lebih
pendek. Rata-rata lama tinggal dirumah sakit setelah laparoskopi operatif 0,5-2
hari dibanding dengan 5-5,7 hari setelah laparotomi. Kedua, aktivitas kerja
lebih cepat. Normalnya, penderita dapat kembali sepenuhnya 7-10 hari setelah
laparoskopi operatif dibanding denga 4-6 minggu setelah laparotomi. Ketiga,
ongkos perawatan lebih murah (Wiknjosastro, 2007).
Pembedahan
radikal dilakukan pada wanita dengan endometriosis yang umurnya hampir 40 tahun
atau lebih, dan yang menderita penyakit yang luas disertai dengan banyak
keluhan. Operasi yang paling radikal ialah histerektomi total,
salpingo-ooforektomi bilateral, dan pengangkutan semua sarang-sarang
endometriosis yang ditemukan. Akan tetapi pada wanita kurang dari 40 tahun
dapat dipertimbangkan, untuk meninggalkan sebagian dari jaringan ovarium yang
sehat. Hal ini mencegah jangan sampai terlalu cepat timbul gejala-gejala
pramenopause dan menopause dan juga mengurangi kecepatan timbulnya osteoporosis (Wiknjosastro,
2007).
e.
Radiasi
Pengobatan ini yang bertujuan menghentikan fungsi
ovarium tidak dilakukan lagi, kecuali jika ada kontraindikasi terhadap
pembedahan (Wiknjosastro,
2007).
BAB III
PENUTUP
III.1. Kesimpulan
Akut abdomen merupakan
suatu kegawatdaruratan medis yang terjadi karena nyeri abdomen yang timbul
tiba-tiba atau sudah berlangsung lama. Nyeri abdomen juga merupakan keluhan umum yang sering
ditemukan pada pasien wanita yang sedang dalam masa kehamilan. Nyeri yang muncul mungkin saja
disebabkan oleh kelainan obstetri atau ginekologi yang berhubungan dengan
kehamilan, namun,
sering juga ditemukan kasus
dimana nyeri perut pada masa kehamilan muncul sebagai akibat dari adanya
kelainan gastrointestinal.
Satu hal penting yang dibutuhkan dalam
pengelolaan akut abdomen yang tepat adalah pengambilan keputusan untuk tindakan
bedah. Lebih jauh, keputusan tersebut memerlukan informasi tentang riwayat
penyakit pasien, pemeriksaan fisik, pengumpulan data laboratorium serta foto
abdomen. Setiap pasien yang menunjukkan sindroma akut abdomen haruslah
menjalani evaluasi untuk menetapkan diagnosis secepat mungkin, sehingga
pengobatan dapat diberikan tepat waktu dan morbiditas maupun mortalitas dapat
diminimalisir.
III.2. Saran
Penting bagi seorang dokter untuk dapat
melakukan pendekatan pasien dengan baik dan cermat agar dapat menentukan
diagnosis dan memberikan penatalaksanaan yang tepat bagi pasien. Oleh karena
itu, keterampilan anamnesis dan pemeriksaan harus dipelajari, dipahami, dan dikuasai
dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Mochtar, Rustam.
2003. Sinopsis Obstetri Jilid 1 Edisi 2.
EGC. Jakarta.
Cunningham et all. 2006. Obstetri Williams Volume 2 Edisi 21. EGC. Jakarta.
Wiknjosastro,
Hanifa. 2007. Ilmu Kandungan Edisi Kedua.
PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta.
Wiknjosastro,
Hanifa. 2007. Ilmu Kandungan Edisi
Ketiga. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta.
Smith P. 2003. Netter’s Obstetrics, Gynecology and Women’s
Health First Edition. Icon Learning Systems. USA
Alexander CJ.
2002. The Johns Hopkins Manual of
Gynecology and Obstetrics Second Edition. Lippincott Williams &
Wilkins. Philadelphia.
Ainbinder SW.
2003. Sexual Transmitted Disease &
Pelvic Infections. Mc Graw-Hill Companies. India.
Ananth CV, Smulian JC, Demissie K, et al. Placental abruption among singleton and twin
births in the United States: risk factor profiles. Am J Epidemiol
2001;153:771–8
Derchi LE, Serafini G, Gandolfo N, et al. Ultrasound in gynecology. Eur Radiol 2001;11:2137–55.
Guidelines
for Diagnostic Imaging During Pregnancy. ACOG committee opinion Number 299.
American College of Obstetricians and Gynecologists 2004;104:647–51.
Kametas NA, McAuliffe F, Krampl E, et al. Maternal cardiac function during pregnancy
at high altitude. BJOG 2004;111(10):1051–8.
Lucas MJ. Diabetes
complicating pregnancy. Obstet Gynecol Clin North Am 2001; 28:513–36.
Parangi S, Levine D, Henry A, et al. Surgical gastrointestinal disorders during
pregnancy. Am J Surg 2007;193:223–32.
Stone
K. Acute abdominal emergencies associated
with pregnancy. Clin Obstet Gynecol 2002;45(2):553–61.
Timins JK.
Radiation during pregnancy. New Jersey Med 2001;98:29–33.
0 Response to "Abdominal Pain During Pregnancy"
Post a Comment