.
.
ANALISIS
KINERJA ORGANISASI SEKTOR PUBLIK MENGGUNAKAN BALANCED SCORECARD (Studi
pada Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Jawa Timur)\
LEMBAR
PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH ABSTRAK
Setiap
organisasi, termasuk organisasi publik, membutuhkan alat untuk
mengkomunikasikan rencana-rencana strategisnya kepada semua anggota organisasi.
Alat komunikasi tersebut adalah Balanced Scorecard. Balance Scorecard merupakan
suatu pendekatan dalam pengukuran kinerja manajemen perusahaan, yang juga dapat
diterapkan sebagai suatu sistem strategi manajemen. Balance Scorecard dapat
menuntun manajemen dan anggota organisasi dalam menterjemahkan visi, misi serta
strategi organisasi ke dalam tindakan yang nyata.
Penelitian
ini dilakukan pada Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badan Diklat) Provinsi Jawa
Timur. Selama ini, Badan Diklat Provinsi Jawa Timur belum menggunakan balanced
scorecard untuk mengukur kinerjanya. Hal ini menyebabkan pengukuran kinerja
yang dilakukan belum optimal, terutama dari sisi non finansial.
Dalam Balanced
Scorecard, pengukuran kinerja dilihat dari 4 perspektif yaitu Customer
and Stakeholder Perspective, Financial Perspective, Employees and Organization
Capacity Perspective, dan Internal Bussiness Process Perspective. Dalam
Customer and Stakeholder Perspective, pengukuran kinerja dapat dilihat
dari materi Diklat yang dapat dan yang tidak dapat dipenuhi oleh Badan Diklat
Provinsi Jawa Timur, permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan pelaksanaan
Diklat, pencapaian sasaran dalam kompetensi aparatur pemerintah, dan tingkat
kepuasan peserta diklat. Dalam Financial Perspective, kinerja Badan
Diklat Provinsi Jawa Timur dapat diukur dengan menggunakan analisis realisasi
anggaran, tingkat efisiensi dan efektifitas penggunaan anggaran, dan analisis
vertikal. Dalam Employees and Organization Capacity Perspective, pengukuran
kinerja dapat dilihat dari pemanfaatan teknologi informasi, absensi karyawan
dan perhitungan perputaran karyawan. Dalam Internal Bussiness Process
Perspective, pengukuran kinerja dapat dilihat dari analisis sasaran yang
tertuang dalam Rencana Strategis, perbandingan target dan realisasi peserta
kegiatan diklat dan analisis pelaksanaan pengendalian dan evaluasi kegiatan
diklat.
Secara keseluruhan kinerja Badan Diklat Provinsi Jawa Timur sudah
baik. Namun apabila dilihat dari analisis Balanced Scorecard masih ada
yang perlu ditingkatkan misalnya perlunya koordinasi yang lebih intensif antara
provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memenuhi target peserta Diklat dan
pemanfaatan teknologi informasi, dukungan sistem informasi manajemen dan
database senantiasa harus selalu ditingkatkan agar penerapan pengukuran kinerja
dari perspektif finansial dan non finansial (Balanced Scorecard) dapat
dilakukan dengan baik.
Kata kunci: Balanced
Scorecard, Customer and Stakeholder Perspective, Financial Perspective,
Employees and Organization Capacity Perspective, Internal Bussiness Process
Perspective,
Badan Diklat Provinsi
Jawa Timur.
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, organisasi
publik sedang berada pada masa transisi dari era persaingan global menuju ke
era persaingan informasi. Selain itu, organisasi publik juga menghadapi
tantangan besar dengan adanya kebijakan otonomi daerah. Organisasi publik
semakin dituntut untuk memberikan pelayanan secara profesional, seperti
layaknya organisasi bisnis, walaupun orientasi organisasi publik tetap nonprofit.
Organisasi publik juga
harus mulai menyadari dan lebih memperhatikan pentingnya peranan pengukuran
kinerja, sebagai sarana untuk memantau keahlian dan perilaku aparat. Pemerintah
menanggapi hal ini dengan mengeluarkan berbagai peraturan sebagai pedoman kerja
aparatur, antara lain Keputusan MENPAN Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang
Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik dan Keputusan MENPAN Nomor
KEP/26/M.PAN/2/2004 tentang petunjuk teknis transparansi dan akuntabilitas
dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Namun demikian,
perspektif pengukuran kinerja dengan hanya memperhatikan unsur finansial semata
harus mulai ditinggalkan. Hal ini disebabkan karena banyak aspek penentu
kesuksesan organisasi publik yang tidak dapat dinilai dengan angka
(dikuantifikasikan) dalam satuan mata uang atau ditampilkan dalam laporan
keuangan, seperti kekayaan organisasi yang sifatnya tidak berwujud (intangible
assets) maupun kekayaan intelektual sumber daya manusia. Padahal, faktorfaktor
tersebutlah yang justru menjadi penentu dan pendorong kemajuan suatu organisasi
publik (Suharsono, 2005).
Ditinjau dari
perspektif non finansial, organisasi publik harus mampu memberikan pelayanan
yang memadai bagi masyarakat. Untuk itu diperlukan inovasi dalam sistem
pelayanan, peningkatan kompetensi pegawai, komitmen yang kuat untuk peningkatan
produktivitas dan juga peningkatan fasilitas pelayanan publik. Dengan demikian
diharapkan masyarakat akan semakin merasa puas dengan pelayanan yang diberikan.
Pada akhirnya, semua hal tersebut diharapkan dapat mendukung terciptanya
pembangunan dan pengembangan pelayanan publik.
Setiap organisasi, termasuk
organisasi publik, membutuhkan alat untuk mengkomunikasikan rencana
strategisnya kepada semua anggota organisasi. Alat komunikasi tersebut adalah balanced
scorecard (Imelda, 2004). Balance scorecard merupakan suatu pendekatan
dalam pengukuran kinerja manajemen perusahaan, yang juga dapat diterapkan
sebagai suatu sistem strategi manajemen. Balance scorecard dapat
menuntun manajemen dan anggota organisasi dalam menterjemahkan visi, misi serta
strategi organisasi kedalam tindakan-tindakan nyata (Kaplan dan Norton, 1992).
Selain mempertimbangkan aspek
finansial, balance scorecard juga mempertimbangkan aspek non finansial. Balance
scorecard tidak hanya mengukur hasil akhir, tetapi juga aktivitas-aktivitas
penentu hasil akhir. Aplikasi balance scorecard juga mencakup aktivitas
pertumbuhan dan pembelajaran, yang dapat memberikan kontribusi pada proses
bisnis internal. Oleh karena itu, balanced scorecard dinilai sesuai
untuk diterapkan pada organisasi sektor publik. Hal tersebut sejalan dengan
tujuan organisasi publik yang menempatkan pelayanan yang cenderung bersifat
kualitatif dan nonkeuangan sebagai prioritas utama (Mahmudi, 2007).
Penerapan balanced
scorecard di organisasi publik juga tidak sama dengan apa yang dilakukan di
organisasi bisnis (Imelda, 2004). Perbedaan tersebut antara lain adanya
perubahan framework dimana yang menjadi pemicu dalam balanced scorecard untuk
organisasi publik adalah misi untuk melayani masyarakat, perubahan posisi
perspektif finansial dan perspektif pelanggan, perspektif pelanggan menjadi
perspektif customer and stakeholder, serta perubahan perspektif
pertumbuhan dan pembelajaran menjadi perspektif employess and organization
capacity.
Peningkatan
kualitas dan kompetensi aparatur pemerintahan sangat diperlukan untuk mencapai
peningkatan kualitas organisasi publik secara keseluruhan. Oleh karena itu,
dibentuk Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badan Diklat) di setiap provinsi.
Badan Diklat bertugas untuk memberikan pendidikan dan pelatihan yang memadai
bagi para aparatur pemerintah dari semua organisasi publik agar mereka dapat
memberikan layanan yang profesional, bersih, berwibawa, dan dengan sikap mental
positif.
Dalam Laporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah – Badan Pendidikan dan Pelatihan
Provinsi Jawa Timur Tahun 2009 terlihat bahwa kinerja Badan Diklat selama tahun
2009 sangat memuaskan. Dari enam sasaran yang terdapat dalam Rencana Strategis
Badan Diklat tahun 2009-2014, hanya ada 2 sasaran yang tidak terpenuhi 100%,
yaitu sebesar 93.33% dan 87.51%. Dari segi pengukuran kinerja kegiatan, kinerja
output (target kehadiran peserta yang direkrut untuk mengikuti diklat) mencapai
95% sampai dengan 100%, sedangkan target outcomes (hasil belajar peserta
diklat, yang dilihat dari nilai pre test dan post test) bervariasi antara
66.67% sampai dengan 99%.
Namun
demikian, ternyata indikator pengukuran yang digunakan untuk mengukur kinerja Badan
Diklat Provinsi Jawa Timur tersebut hanya berdasarkan pada angka-angka
kuantitatif saja. Dalam badan tersebut, belum diterapkan pengukuran kinerja
dari aspek lainnya seperti yang terdapat dalam konsep balanced scorecard. Padahal,
seharusnya Badan Diklat juga harus mampu memberikan pertanggungjawaban yang
transparan, baik secara finansial maupun non finansial kepada pemerintah daerah
dan masyarakat. Seperti yang telah disebutkan di atas, pengukuran aspek nonfinansial
sangat dipelukan untuk mengetahui pencapaian kinerja yang sesungguhnya.
Tanggung jawab, profesionalisme, dan keramahan, kecepatan dan ketepatan layanan
merupakan contoh unsur kinerja yang tidak dapat dilihat dengan angka semata.
Hal ini membuktikan pentingnya pengenalan dan penerapan balanced scorecard
dalam organisasi publik, dalam hal ini Badan Diklat Provinsi Jawa Timur.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
masalah yang dikemukakan di atas, maka dapat ditetapkan rumusan masalah
penelitian adalah sebagai berikut: Bagaimana setiap perspektif balanced
scorecard dapat digunakan untuk mengukur kinerja Badan Pendidikan dan
Pelatihan Provinsi Jawa Timur?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah:
1.3.1. Menganalisis perspektif customers and stakeholders (masyarakat)
di Badan Diklat Provinsi Jawa Timur.
1.3.2. Menganalisis
perspektif finansial di Badan Diklat Provinsi Jawa Timur.
1.3.3. Menganalisis perspektif employees and organization
capacity (aparatur pemerintahan dan kapasitas organisasi publik) di Badan
Diklat Provinsi Jawa Timur.
1.3.4. Menganalisis perspektif proses bisnis internal di
Badan Diklat Provinsi Jawa Timur.
1.4. Kontribusi Penelitian
Kontribusi yang dapat diberikan
dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.4.1. Untuk Pengembangan
Teori Akuntansi
Penelitian ini
diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai penilaian kinerja
dengan menggunakan balanced scorecard. Selain itu, penelitian ini
diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya di bidang penerapan balanced
scorecard di organisasi publik.
1.4.2. Untuk Praktisi
Hasil-hasil analisis
yang didapatkan dalam penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
evaluasi bagi manajemen, terutama untuk mengetahui sejauh mana efektivitas
Diklat yang dilakukan serta seberapa besar tingkat kepuasan masyarakat (dalam
hal ini pegawai pemerintah yang pernah dibimbing oleh Badan Diklat) terhadap
pelayanan yang diberikan. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan
masukan bagi organisasi publik lainnya tentang pentingnya peranan perspektif
financial dan non finansial dalam Balanced Scorecard sebagai alat ukur
kinerja organisasi publik
1.4.3. Untuk Regulator
Penelitian
ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan referensi untuk para regulator
dalam pengambilan kebijakan mengenai pengukuran kinerja pada
organisasi-organisasi publik agar lebih komprehensif mencakup semua aspek, baik
finansial maupun non finansial.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kinerja
2.1.1. Pengertian Kinerja
Kinerja merujuk pada
hasil yang dapat diselesaikan oleh seorang karyawan dalam periode waktu
tertentu. Kinerja juga merujuk pada perilaku karyawan dalam bekerja. Hersey dan
Blanchard (1993) mendefinisikan kinerja sebagai suatu fungsi dari motivasi dan
kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaannya. Kinerja adalah
hasil seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu di dalam
melaksanakan tugas, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau
kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama
(Rivai dan Basri, 2004). Sejalan dengan definisi-definisi sebelumnya, Robbins
(1997) menggambarkan kinerja sebagai fungsi interaksi antara kemampuan (ability),
motivasi (motivation) dan kesempatan (opportunity).
Kinerja seorang karyawan
merupakan hal yang bersifat individual karena setiap karyawan mempunyai tingkat
kemampuan yang berbeda dalam melaksanakan tugasnya. Keberhasilan kinerja seseorang
diukur dari sejauh mana ia dapat mencapai tujuan yang ditetapkan baginya.
Ikopin (2008) juga menyatakan bahwa pengukuran kinerja karyawan identik dengan
apakah karyawan mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Artinya, karyawan
memiliki tanggung jawab, mampu melaksanakan pekerjaannya tepat waktu dan dapat
mencapai target yang telah ditentukan.
Definisi tersebut
sejalan dengan apa yang tercantum dalam Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999
tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, Keputusan Kepala Lembaga
Administrasi Negara tanggal 25 Maret 2003 Nomor 239/IX/6/8/2003 tentang
Perbaikan Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
Surat Keputusan MENPAN Nomor KEP-135/ M.PAN/2004 tentang Pedoman Umum Evaluasi
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah,Peraturan Pemerintah Nomor 8
Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah,
Undang-Undang No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Surat Menteri Negara
PAN Nomor B/1301/ M.PAN/04/2009 Perihal Kebijakan Evaluasi Akuntabilitas
Kinerja Tahun 2009, dan Peraturan MENPAN dan Reformasi Birokrasi Nomor 7 Tahun
2010 Tentang Pedoman Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Publik.
2.1.2.
Pengukuran Kinerja Organisasi publik
Pengukuran kinerja
organisasi publik merupakan suatu alat perencanaan dan sistem pengendalian
manajemen yang bertujuan untuk membantu manajer publik menilai pencapaian suatu
strategi melalui alat ukur finansial dan non finansial. Pengukuran kinerja
sektor publik dilakukan untuk memenuhi tiga maksud. Pertama, pengukuran kinerja
sektor publik dimaksudkan untuk memperbaiki kinerja pemerintah. Ukuran kinerja
dimaksudkan untuk dapat membantu pemerintah berfokus pada tujuan dan sasaran
program unit kerja. Kedua, ukuran kinerja sektor publik digunakan untuk
pengalokasian sumber daya dan pembuatan keputusan. Ketiga, ukuran kinerja
sektor publik dimaksudkan untuk mewujudkan pertanggungjawaban publik dan
memperbaiki komunikasi pelanggan.
Sebagian besar
organisasi publik telah menyadari kebutuhan akan pengukuran kinerja dalam
instansinya (‘bottom-line’ performance). Namun pengukuran tersebut masih
dilakukan dengan menggunakan sistem tradisional, yaitu pengukuran pencapaian
finansial yang didasarkan pada pelaporan keuangan. Padahal, menurut Mulyadi dan
Setyawan (1999), ukuran keuangan tidak dapat menggambarkan kondisi riil
perusahaan di masa lalu dan tidak mampu menjadi pedoman bagi suatu organisasi
kearah yang lebih baik, serta hanya berorientasi jangka pendek. Jadi, sistem
pengukuran kinerja finansial organisasi publik ini lebih dirancang untuk
memenuhi kebutuhan shareholders, daripada untuk menyediakan informasi
dalam membantu pengelolaan suatu organisasi.
2.1.3. Pengukuran Kinerja Organisasi publik yang Seimbang
Suatu sistem pengukuran kinerja
organisasi publik yang seimbang harus dapat meningkatkan perhatian dan
kesejajaran, mempermudah komunikasi, dan menyiapkan suatu visi yang jauh ke
depan (a forward-looking vision), sehingga semua orang dapat termotivasi
untuk mengubah perilaku mereka agar sejalan dengan tujuan organisasi publik.
Suatu sistem pengukuran yang baik haruslah menyeluruh atau komprehensif,
termasuk pengukuran-pengukuran penting dari seluruh bidang operasional maupun
dari semua jenis pengukuran. Sistem tersebut juga harus termasuk pengukuranpengukuran
finansial maupun non finansial, indikator-indikator dari hasil di masa lampau
dan prediktor-prediktor dari kinerja di masa datang, dan pengukuranpengukuran
yang mencakup faktor waktu, biaya dan kualitas.
Parayudha (2009)
menyatakan bahwa desain balanced scorecard mampu meningkatkan manajemen
strategis dan tata kelola dalam organisasi publik. Balanced scorecard dapat
menciptakan perilaku manajemen umum yang lebih baik melalui persamaan yang kuat
antara pendekatan yang diusulkan dan desain lainnya, sebagaimana yang
diterapkan dalam sektor komersial.
2.2. Balanced Scorecard
2.2.1. Perkembangan Konsep Balanced Scorecard
Balanced Scorecard adalah alat yang
menyediakan pengukuran komprehensif bagi para manajer tentang bagaimana
organisasi mencapai kemajuan lewat sasaran-sasaran strategisnya. Balanced
scorecard diperkenalkan pertama kali oleh Kaplan dan Norton pada tahun 1992
dalam artikel di Harvard Business Review yang berjudul The Balanced
Scorecard Measures That Drives Performance. Dalam artikel ini disebutkan
bahwa balanced scorecard merupakan suatu alat akuntansi manajemen yang
digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan yang ditinjau dari perspektif
finansial (financial perspective) dan perspektif non finansial (Customer
Perspective, Internal Business Process Perspective, dan Learning and
Growth Perspective) secara seimbang.
Di
dalam artikel yang berjudul Putting The Balanced Scorecard To Work,
Kaplan dan Norton (1993) mengungkapkan bahwa balanced scorecard lebih
dari sekedar sistem pengukuran kinerja perusahaan, namun balanced scorecard juga
dapat digunakan untuk mengkomunikasikan dan menggabungkan sistem pengukuran
tersebut dengan strategi perusahaan. Balanced scorecard digunakan
sebagai alat untuk membantu perusahaan dalam menerjemahkan dan
mengimplementasikan strateginya.
Dalam perkembangan
selanjutnya pada tahun 1996, Kaplan dan Norton menulis artikel yang ketiga
mengenai balanced scorecard di Harvard Business Review yang
berjudul Using the Balanced Scorecard as a Strategic Management System.
Di dalam artikel ini disebutkan bahwa balanced scorecard sebagai alat
akuntansi manajemen telah berkembang dari suatu sistem pengukuran kinerja
menjadi suatu sistem manajemen strategi. Hal ini berarti perusahaan yang
inovatif dapat menggunakan balanced scorecard tidak hanya untuk
menjelaskan dan mengkomunikasikan strategi, melainkan juga untuk mengelola
strateginya dalam jangka panjang.
Menurut Johannes
(2005), balanced scorecard menjadi demikian populer karena fungsinya
sebagai strategi korporasi, lebih dari sekedar pengukur kinerja semata.
Keunggulannya dibanding dengan konsep pengukuran lain adalah keterkaitan antara
empat perspektif balanced scorecard itu sendiri. Dengan menggunakan data
sekunder terkini, kajian dilakukan untuk menjelaskan bagaimana pengalaman
korporasi menggunakan balanced scorecard sehingga mampu memberikan
manfaat lebih dari ukuran kinerja lainnya. Bahkan, balanced scorecard oleh
berbagai akademisi diintegrasikan terhadap konsep lain untuk memperoleh alat
yang sinergi dalam pengembangan korporasi.
Darwanto (2003) menyatakan bahwa balanced
scorecard yang semula merupakan aktivitas tersendiri yang terkait dengan
penentuan sasaran, kemudian diintegrasikan dengan sistem manajemen strategis. Balanced
scorecard bahkan dikembangkan lebih lanjut sebagai sarana untuk
berkomunikasi dari berbagai unit dalam suatu organisasi. Balanced scorecard juga
dikembangkan sebagai alat bagi organisasi untuk berfokus pada strategi.
2.2.2. Pengertian Balanced Scorecard Dalam Organisasi
Publik
Balanced scorecard merupakan suatu sistem
pengukuran kinerja organisasi publik yang seimbang dan komprehensif. Kata “Balanced”
(seimbang) di dalam balanced scorecard
2.2.3. Empat Perspektif Balanced Scorecard
Perspektif finansial
masih tetap dipertahankan dalam balanced scorecard bersama dengan ketiga
perspektif non finansial dalam balanced scorecard meliputi tiga hal,
yaitu customer and stakeholders perspective (sebagai pengganti customers
perspective dalam balanced scorecard organisasi bisnis), internal
business process perspective, dan employess and organization capacity (sebagai
pengganti learning and growth perspective dalam balanced scorecard organisasi
bisnis). Ketiga perspektif ini merupakan ukuran-ukuran operasional yang dapat
dianggap mewakili faktorfaktor pemicu kinerja keuangan organisasi publik di
masa mendatang.
Dalam
menghadapi kompleksitas mengelola suatu organisasi dewasa ini, seorang pimpinan
membutuhkan kemampuan untuk dapat melihat kinerja organisasi publik yang
dipimpinnya dari berbagai sudut pandang secara bersamaan. Balanced scorecard
sebagai alat akuntansi manajemen memungkinkan para manajer untuk melihat
kinerja organisasi publik dari empat perspektif penting secara bersamaan.
Balanced scorecard menyediakan jawaban
atas empat pertanyaan yang mendasar yaitu:
1
How do customers see us? (Customer and stakeholders
Perspective)
2
How do we look to shareholders? (Financial Perspective)
3
Can we continue to improve and create value? (Employee and
organisation capacity Perspective)
4
What must we excel at? (Internal Business Process
Perspective)
Tujuan dan pengukuran
dalam balanced scorecard lebih dari hanya sekedar sekumpulan pengukuran
kinerja finansial dan non finansial, melainkan merupakan suatu pengukuran yang
diturunkan dari suatu proses top-down yang dihasilkan dari misi dan strategi
organisasi publik. Balanced scorecard harus dapat menerjemahkan misi dan
strategi dari organisasi publik ke dalam suatu tujuan dan pengukuran yang nyata
dan seimbang.
2.2.4. Perspektif
Keuangan: Financial Perspective: How Do We Look To Stakeholders?
Pengukuran kinerja organisasi
publik dari perspektif finansial di dalam balanced scorecard masih tetap
dipertahankan, karena pengukuran kinerja keuangan sangat berharga di dalam
menyarikan konsekuensi-konsekuensi ekonomis yang dapat diukur dari
tindakan-tindakan yang telah diambil oleh organisasi publik. Pengukuran kinerja
keuangan menunjukkan apakah strategi suatu organisasi publik, penerapan, dan
pelaksanaannya telah dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi perbaikanperbaikan
yang mendasar (bottom-line improvement). Selain itu, perspektif
finansial dalam organisasi publik bertujuan untuk memberikan pelayanan yang
efektif pada masyarakat dengan biaya jasa yang murah.
2.2.5. Perspektif
Konsumen: Customer Perspective: How Do Customers See Us?
Organisasi publik harus memiliki
orientasi untuk mengutamakan kesejahteraan dan kepuasan customer dan stakeholdernya,
dalam hal ini masyarakat. Oleh karena itu, balanced scorecard menuntut
para pimpinan untuk dapat menerjemahkan misi organisasi publik mengenai
pelayanan kepada masyarakat secara umum ke dalam suatu pengukuran spesifik yang
mencerminkan faktor-faktor penting bagi masyarakat.
Perhatian masyarakat
terhadap perusahaan cenderung tertuju pada empat faktor penting yaitu time,
quality, performance and service, dan cost. Lead time mengukur
waktu yang dibutuhkan oleh organisasi publik untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat. Quality mengukur tingkat kegagalan pelayanan yang dirasakan
dan dinilai sendiri oleh masyarakat. Quality juga dapat digunakan umtuk
mengukur on-time delivery, yaitu keakurasian dari perkiraan penyelesaian
layanan. Kombinasi performance and service mengukur bagaimana pelayanan
yang diberikan oleh organisasi publik memberi kontribusi dalam penciptaan nilai
bagi masyarakat. Untuk memposisikan balanced scorecard di dalam
lingkungan kerja, masyarakat harus menyatakan tujuan (goals) bagi time,
quality, dan performance and service dan kemudian menerjemahkan
tujuan tersebut ke dalam suatu sistem pengukuran yang spesifik.
2.2.6. Perspektif
Proses Bisnis Internal:
Internal
Business Process Perspective: What Must We Excel at?
Pengukuran internal
dalam balanced scorecard berasal dari proses bisnis yang mempunyai
pengaruh paling besar terhadap kepuasan masyarakat (customer satisfaction)
yaitu misalnya faktor-faktor yang mempengaruhi cycle time, quality,
employee skills, dan productivity. Dalam Internal Business
Process Perspective ini, organisasi publik dituntut untuk dapat
mengidentifikasi proses bisnis internal mana yang penting dan mengandung
nilai-nilai yang diinginkan oleh pelanggan, yang harus dilakukan dengan sebaikbaiknya
oleh organisasi publik.
Di dalam perspektif
ini balanced scorecard akan memasukkan proses inovasi yaitu suatu proses
perancangan dan pengembangan produk, dimana organisasi publik akan dimotivasi
untuk mempunyai kemampuan bersaing jangka panjang dalam rangka untuk memuaskan
masyarakat di masa mendatang. Setelah berinovasi, organisasi publik harus
melakukan perbaikan pada proses operasionalnya. Proses terakhir yang harus
dilakukan oleh organisasi publik untuk memperbaiki proses bisnis internalnya
adalah mengukur proses pelayanannya.
2.2.7.
Perspektif Kapasitas Organisasi dan Staf: Employee and Organization Capacity
Perspective: Can We Continue to Improve and Create Value?
Di dalam pengukuran
yang berdasar pada perspektif pelanggan dan perspektif proses bisnis internal, balanced
scorecard mengidentifikasi parameter-parameter yang dianggap paling penting
oleh organisasi publik untuk dapat melayani masyarakat dengan baik. Tetapi
sasaran untuk mencapai kepuasan masyarakat tersebut terus menerus berubah. Di
dalam perspektif ini, organisasi publik memandang tiga faktor utama yaitu
aparat, sistem, dan prosedur organisasi. Ketiga faktor ini yang memegang
peranan dalam pertumbuhan jangka panjang perusahaan. Oleh sebab itu organisasi
publik harus melakukan investasi dalam ketiga faktor di atas untuk menjamin
tercapainya tujuan organisasi publik.
2.2.8. Keunggulan dan Manfaat Balanced
Scorecard
Pengukuran kinerja suatu
organisasi dapat dilakukan dengan berbagai macam metode, diantaranya adalah Total
Quality Management (TQM), Six Sigma, rasio-rasio keuangan, dan
sebagainya. Masingmasing metode tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan
masingmasing.
TQM juga diterjemahkan sebagai
pendekatan yang berorientasi kepada pelanggan dengan menekankan kepada suatu
perubahan manajemen yang sistematik dan perbaikan terus menerus terhadap
proses, produk, dan pelayanan suatu organisasi. Proses TQM memiliki input yang
spesifik, yaitu keinginan, kebutuhan, dan harapan pelanggan serta memproses input
dalam organisasi untuk memproduksi barang atau jasa yang pada gilirannya
akan memberikan kepuasan kepada pelanggan (Natha, 2008). Implementasi dari
elemen-elemen TQM memiliki korelasi yang kuat dengan faktor-faktor kinerja
manajemen mutu. Tujuan utama Total Quality Management adalah perbaikan
mutu pelayanan secara terus-menerus.
Six sigma merupakan suatu sistem
yang komprehensif dan fleksibel untuk mencapai, mempertahankan, dan
memaksimalkan keksuksesan bisnis (Niviari, 2008 ). Dalam six sigma, akan
diukur sejauh mana penyimpangan suatu proses produksi dari kesempurnaan
kualitas. Tujuan akhir dari six sigma adalah untuk meningkatkan kepuasan
pelanggan (Yuli, 2006).
Rasio
keuangan adalah alat yang digunakan untuk memproleh gambaran tentang
perkembangan finansial dan kinerja perusahaan. Rasio tersebut diperoleh dari
hasil analisis terhadap laporan keuangan, yang menyangkut pemeriksaaan
keterkaitan angka–angka dalam laporan keuangan dan trend angka
– angka dalam beberapa periode
operasi perusahaan.
Rasio keuangan dapat
dibagi kedalam tiga bentuk umum yang sering dipergunakan yaitu : Rasio Likuiditas,
Rasio Solvabilitas, dan Rasio Rentabilitas. Ratio Likuiditas merupakan rasio
yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajian
finansial jangka pendeknya, seperti Current Ratio, Quick Ratio, dan Cash
Ratio. Ratio Solvabilitas mengukur perbandingan dana yang disediakan oleh
pemiliknya dengan dana yang dipinjam dari kreditur perusahaan tersebut. Rasio
Solvabilitas meliputi Total Debt to Equity Ratio dan Total Debt to
Total Asset Ratio. Ratio Rentabilitas adalah rasio yang digunakan untuk
mengukur kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba. Yang termasuk dalam ratio
ini adalah Gross Profit Margin, Net Profit Margin, Earning Power of Total
investment, dan Return on Equity (Helmi, 2009).
Dari kesemua metode
yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja di atas, balanced scorecard dinilai
paling cocok diterapkan dalam organisasi publik. Hal ini disebabkan karena
disamping untuk menilai efisiensi dan efektivitas manajemen, balanced
scorecard juga merupakan aktivitas untuk mengetahui sejauh mana
keberhasilan implementasi visi, misi, tujuan dan strategi organisasi.
Balanced scorecard juga unggul bila
dibanding dengan metode pengukuran kinerja yang lain karena mampu
menyeimbangkan perspektif finansial dan non finansial.
Balanced scorecard dimanfaatkan dalam
setiap tahap sistem manajemen strategik, sejak tahap perumusan strategi sampai
tahap implementasi dan pemantauan (Mulyadi, 2001). Pada tahap perumusan
strategi (strategy formulation), Balanced Scorecard digunakan untuk
memperluas cakrawala dalam menafsirkan hasil penginderaan terhadap trend
perubahan lingkungan makro dan lingkungan industri ke perspektif yang lebih
luas. Pada tahap perencanaan strategik (strategic planning) Balanced
Scorecard digunakan untuk menerjemahkan strategi ke dalam sasaransasaran
stratejik yang komprehensif, koheran, seimbang dan terukur. Pada tahap
penyusunan program (programming), Balanced Scorecard digunakan untuk
menjabarkan inisiatif strategik di empat perspektif ke dalam program. Pada
tahap penyusunan anggaran (budgeting) Balanced Scorecard digunakan
untuk menjabarkan program ke dalam anggaran sehingga anggaran yang dihasilkan
juga bersifat komprehensif.
2.3. Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian mengenai balanced
scorecard telah dilakukan untuk mengukur kinerja perusahaan akan dibahas di
bawah ini:
Penelitian yang
dilakukan oleh Marista (2002) mengenai Analisis Penelitian Kinerja Menggunakan Balanced
Scorecard (Studi Kasus pada PT. Andalan Pasific Samudera Semarang) memperlihatkan
hasil dalam perspektif keuangan terdapat peningkatan profit margin dan rasio
operasi, namun dalam ROI mengalami penurunan. Dalam perspektif konsumen
terdapat peningkatan retensi konsumen, akuisisi konsumen, profitabilitas
konsumen, kepuasan konsumen. Dalam perspektif proses bisnis internal terdapat
peningkatan cycle effectivesness, dan layanan purna jual. Dalam
perspektif pertumbuhan dan pembelajaran terdapat peningkatan perputaran
karyawan, dan kemampuan sistem informasi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sulastri
(2003), pada perspektif pelanggan dan pertumbuhan, kinerja rumah sakit dinilai
baik karena rumah sakit mampu untuk mempertahankan keberadaan karyawannya
sehingga tingkat retensi karyawan menjadi rendah. Rumah sakit juga sangat
memperhatikan kapabilitas karyawan sehingga rumah sakit selalu berusaha untuk
meningkatkan
mendukung kemampuan mereka dalam
memberikan pelayanan kepada pasien, baik yang diadakan oleh pihak rumah sakit
maupun pihak luar rumah sakit. Pada perspektif pelanggan, kinerja rumah sakit
dikatakan kurang baik karena rumah sakit belum mampu meningkatnya akuisisi
pasien setiap tahunnya. Rumah sakit masih sering mendapat keluhan atas jasa dan
pelayanan yang diberikan, namun demikian jumlah keluhan terus menurun karena
rumah sakit selalu berusaha untuk segera menanggapi dan mengambil tindakan yang
diperlukan. Pada perspektif proses bisnis internal, kinerja rumah sakit
dikatakan baik karena rumah sakit mampu untuk melakukan pengembangan pelayanan
baru yang akan meningkatkan pendapatan dan rumah sakit mampu untuk terus
menekan jumlah keluhan atas pelayanan yang diberikan dengan melakukan pelayanan
secepat mungkin. Pada perspektif keuangan, kinerja rumah sakit kurang baik. Hal
ini ditunjukkan dari ROI yang terus menurun dan biaya yang selalu mengalami
peningkatan, meskipun pendapatan rumah sakit juga terus meningkat. Penerapan Balanced
Scorecard dimungkinkan karena rumah sakit telah memformulasikan visi, misi
dan strateginya dan hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja rumah sakit
dikatakan cukup baik dengan menggunakan Balanced Scorecard.
Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Andranik (2008) mengenai penerapan Balanced Scorecard sebagai Tolok
Ukur Pengukuran Kinerja pada Rumah Sakit Umum Daerah Jenderal Ahmad Yani Kota
Metro Lampung menunjukkan bahwa instrumen kinerja yang ada dalam Balanced
Scorecard dapat diterapkan dalam rumah sakit, khususnya pada rumah sakit
pemerintah. Hasil analisis kinerja yang dinilai pada keempat perspektif melalui
pendekatan konsep Balanced Scorecard di RSUD Ahmad Yani Kota Metro pada
tahun 2006-2007 menunjukkan bahwa beberapa perspektif menunjukkan kinerja yang
baik, hal tersebut terlihat dari hasil yang dicapai oleh perspektif tersebut.
Penelitian dilakukan dengan membandingkan data sekunder yang ada seperti data
realisasi keuangan, data pengukuran kinerja tradisional yang kemudian dibandingkan
dengan target yang sudah ditentukan sebelumnya kemudian data-data tersebut
dikelompokkan ke dalam perspektif yang ada dan dicari hubungan dari setiap
indikator tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh
Rachmawati et al (2006) menyimpulkan bahwa pengukuran kinerja berguna
untuk penilaian atas keberhasilan/kegagalan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan
sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan misi dan
tujuan organisasi. Bagi organisasi publik, pengukuran kinerja mencakup penetapan
indikator kinerja dan penilaian kinerja. Selanjutnya dilakukan analisis kinerja
dengan menginterpretasikan lebih lanjut hasil penilaian kinerja yang
menggambarkan keberhasilan/ kegagalan instansi pemerintah dalam melaksanakan
misi dan tujuannya.
Darwanto (2009)
menyatakan bahwa balanced scorecard membuat organisasi, termasuk
organisasi publik, berfokus pada strategi, karena penerapan balanced
scorecard memungkinkan semua unit dalam organisasi memberikan kontribusi
secara terukur pada pelaksanan strategi organisasi. Balanced scorecard seyogyanya
dikembangkan oleh setiap organisasi pemerintah untuk mempertajam perannya dalam
menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, sehingga membedakannya dengan
organisasi pemerintah lain. Tugas pengawasan oleh DPR terhadap pemerintah akan
dipermudah jika instansi pemerintah memiliki strategi berbasis balanced
scorecard. Perumusan balanced scorecard bukan suatu pekerjaan sekali
jadi, melainkan tugas yang terus menerus, dengan setiap saat ada proses
penyempurnaan dan yang terpenting adalah ia dimanfaatkan untuk mencapai visi
dan misi organisasi.
3. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini,
metode yang dipergunakan adalah metode penelitian deskriptif kualitatif dengan
pendekatan studi kasus (case study). Penelitian kualitatif merupakan
penelitian yang berdasarkan pada suatu fenomena sosial atau masalah-masalah
dalam kehidupan manusia. Karena itu, data kualitatif merupakan data deskriptif
dan kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian kualitatif sangat bergantung
pada logika dan teknik analisa data penelitinya.
Miles dan Huberman
(1994) dalam Berg (2004) menyebutkan tiga pendekatan utama untuk melakukan analisa
data kualitatif. Pendekatan yang pertama adalah interpretative approaches,
yaitu pendekatan analisa kualitatif yang mengubah serangkaian aktivitas manusia
ke dalam kata-kata terlebih dahulu sebelum data tersebut diinterpretasikan.
Pendekatan kedua adalah social anthropological approaches yang mengumpulkan
beragam rangkaian data lapangan atau aktivitas studi kasus untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih mendalam tentang objek yang diteliti. Sedangkan pendekatan
ketiga adalah colaborative social research approaches dimana peneliti bekerja
sama dengan subjek penelitiannya dalam suatu setting tertentu untuk mengamati
tindakan/perubahan dari subjek tersebut. Dalam penelitian ini, pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan pertama.
Studi kasus adalah studi untuk
mengeksplorasi suatu (atau beberapa) struktur sistem atau kasus secara detail.
Sukoharsono (2006) mengemukakan bahwa studi kasus melibatkan “in depth data
collection invoving multiple resources of information rich in contest”.
Studi kasus merekomendasikan bahwa peneliti harus mempertimbangkan tipikal
kasus yang bagaimana yang akan diteliti sehingga menarik dan bermanfaat. Kasus
dapat dipilih secara tunggal ataupun kolektif, multi-sites atau within-sites
dan dapat difokuskan kepada sebuah kasus atau isu (intrinsic atau instrumental).
Dengan dipilihnya
metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus, maka penelitian ini
hendak menganalisa kinerja Badan Diklat dengan menggunakan balanced
scorecard.
3.2. Objek Penelitian
Objek dari penelitian ini adalah
Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badan Diklat) Provinsi Jawa Timur. Pemilihan
objek penelitian ini disebabkan karena Badan Diklat merupakan “guru” yang
memberikan pengajaran dan pelatihan bagi organisasi-organisasi publik yang
lain. Oleh karena itu, Badan Diklat harus terlebih dahulu memiliki kinerja yang
baik agar layak menjadi lembaga percontohan.
Selama ini kinerja
Badan Diklat, khususnya di Provinsi Jawa Timur, diukur dengan menggunakan
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). LAKIP adalah dokumen
pelaporan yang memberikan informasi mengenai kinerja yang telah dicapai yang
diperhitungkan atas dasar rencana kinerja yang telah disusun sebelumnya. Tujuan
disusunnya LAKIP adalah untuk meningkatkan pelaksanaan pemerintahan yang lebih
berdaya guna, berhasil guna, dan bersih. LAKIP merupakan wujud
pertanggungjawaban dalam mencapai misi dan tujuan instansi pemerintah (Astri,
2009).
Pada
penelitian ini, kinerja Badan Diklat akan diukur dengan menggunakan balanced
scorecard. Hasil pengukuran tersebut akan digunakan sebagai alternatif
pengukuran kinerja. Selanjutnya akan diambil kesimpulan.
Kinerja
Badan Diklat yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah kinerja pada
tahun 2009. Tahun 2009 dipilih sebagai tahun penelitian karena periode ini
merupakan periode yang terbaru, sehingga diharapkan hasil penelitian yang
diperoleh lebih akurat.
3.3. Aspek kinerja Yang
Dianalisis
Aspek kinerja yang
dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
3.3.1.
Customer and Stakeholder Perspective
Aspek ini digunakan
untuk mengetahui apakah Badan Diklat Provinsi Jawa Timur dapat memenuhi semua
kebutuhan CPNS (customer) dan PNS (customer) yang ada di
masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Badan Diklat Provinsi Jawa
Timur harus dapat menjawab pertanyaan: Apakah Badan Diklat telah dapat
menyediakan apa yang diinginkan oleh SKPD?
Untuk mengetahui
kebutuhan dan keinginan tiap SKPD, dilakukan wawancara dengan pimpinan
tiap-tiap SKPD yang ada di Provinsi Jawa Timur dan dokumentasi laporan tentang
hal-hal yang terkait dengan aspek customer and stakeholder. Pokok
permasalahan yang akan dibahas dalam wawancara tersebut adalah:
1.
Materi Diklat apa saja yang sudah diberikan oleh Badan
Diklat, dan apakah materi Diklat tersebut sudah sesuai dengan harapan Customer
?
2.
Permasalah apa yang selama ini dialami oleh SKPD berkaitan
dengan Diklat CPNS/PNS maupun Diklat Pimpinan?
3.
Apa harapan pimpinan SKPD terhadap CPNS maupun PNS yang telah
mengikuti DIklat?
4.
Seberapa besar tingkat kepuasan peserta Diklata setelah
mengikuti Diklat?
3.3.2. Financial
Perspective
Perspektif finansial berfokus
pada pengelolaan anggaran organisasi publik secara akuntabel. Oleh karena itu,
Kepala Diklat harus berfokus pada bagaimana cara memenuhi kebutuhan pelayanan
Diklat secara efisien. Badan Diklat Provinsi Jawa Timur harus dapat menjawab
pertanyaan: Apakah pelayanan yang diberikan oleh Badan Diklat telah
dilaksanakan dengan biaya yang rendah?
Untuk melakukan evaluasi apakah
pelayanan yang diberikan oleh Badan Diklat telah dilakukan dengan biaya yang
rendah, maka dilakukan analisis terhadap laporan keuangan Badan Diklat Provinsi
Jawa Timur tahun 2009. Evaluasi yang dilakukan meliputi:
1.
Apakah biaya yang dikeluarkan untuk Diklat telah sesuai
dengan anggaran yang tersedia dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA)?
2.
Apakah tingkat Efisiensi dan Efektifitas Bidang Keuangan
sudaha dicapai ?
3.
Dengan menggunakan analisis vertikal bagaimana perbedaan
kinerja keuangan antar periode tahun 2007, 2008, dan 2009 yang telah
dilaksanakan oleh Badan Diklat ?
3.3.3. Employees
and Organization Capacity Perspective
Perspektif
ini berfokus untuk mengembangkan kapasitas karyawan dan organisasi. Kemampuan
organisasi untuk meningkatkan dan memenuhi permintaan masyarakat terkait secara
langsung dengan kemampuan karyawan untuk memenuhi permintaan itu. Oleh karena
itu, Kepala Diklat harus menjawab pertanyaan: Apakah Badan Diklat menggunakan
metode, teknologi informasi, dan sistem kerja yang sesuai dengan kemajuan jaman
dan lingkup pekerjaannya serta melakukan pelatihan
pengembangan kapasitas karyawan
dan organisasi yang telah dilakukan oleh Badan Diklat Provinsi Jawa Timur, maka
dilakukan wawancara dengan pimpinan dan pegawai Badan Diklat Provinsi Jawa
TImur dan menganalisis dokumendokumen yang terkait dengan aspek employees
and organization capacity. Rerangka pertanyaan yang diajukan antara lain:
1.
Apakah teknologi informasi yang digunakan di Badan Diklat
Provinsi telah sesuai dengan kemajuan jaman?
2.
Seberapa besar persentase hari kerja yang hilang karena
karyawan absen dalam pekerjaannya ?
3.
Seberapa besar tingkat perputaran (turn over) karyawan
yang terjadi di Badan Diklat dan bagaimana perbandingannya dari tahun 2007,
2008, dan 2009?
3.3.4.
Internal Bussiness Process Perspective
Pengukuran perspektif
proses bisnis internal dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator sebagai
berikut:berfokus pada tujuan untuk menyediakan pelayanan secara kompetitif.
Untuk itu, Kepala Diklat harus berfokus pada tugas penting yang memungkinkan
Badan Diklat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Badan Diklat Provinsi Jawa
Timur harus menjawab pertanyaan: Dapatkah Badan Diklat meningkatkan pelayanan
dengan mengubah cara pelayanan itu disampaikan?
Untuk menilai sejauh mana
pengembangan proses bisnis internal yang telah dilakukan oleh Badan Diklat
Provinsi Jawa Timur, maka dilakukan wawancara dengan pimpinan dan pegawai Badan
Diklat Provinsi Jawa Timur dan menganalisis dokumen-dokumen yang terkait dengan
aspek internal bussiness process. Pertanyaan yang diajukan antara lain:
1.
Apakah pencapaian sasaran Badan Diklat yang telah ditetapkan
di dalam Renstra (2009-2014) untuk tahun 2009 sudah sesuai dengan yang
direncanakan ?
2.
Apakah realisasi peserta kegiatan Bidang Diklat Kepemimpinan,
Bidang Diklat Teknis, dan Bidang Diklat Fungsional yang merupakan bidang
kegiatan utama dari Badan Diklat Provinsi Jawa Timur sudah sesuai dengan yang
ditargetkan ?
3.
Bagaimana kinerja Bidang Pengendalian dan Evaluasi yang telah
dilaksanakan oleh Badan Diklat, dan kegiatan apa saja yang dapat direalisasikan
?
3.4. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini, jenis data
yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data
penelitian yang diperoleh langsung dari sumber asli (tidak melalui media
perantara). Dalam penelitian ini data primer yang dikumpulkan diperoleh dari
hasil wawancara yang dilakukan kepada pimpinan dan karyawan Badan Diklat serta
pimpinan SKPD.
Data
sekunder merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung melalui media
perantara atau diperoleh dan dicatat oleh pihak lain. Data sekunder ini berupa
dokumen tertulis, laporanlaporan, dan artikel-artikel yang ada kaitannya
dengan masalah yang diteliti, seperti laporan keuangan, standar operasional dan
prosedur. Data sekunder dalam penelitian ini adalah Laporan Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2009, Laporan Pelaksanaan Pendidikan dan
Pelatihan Tahun 2009, serta Laporan Keuangan Badan Pendidikan dan Pelatihan
Tahun 2009.
3.5. Metode Analisis
Data
Analisis data menurut
Moleong (2002: 190), merupakan suatu proses mengorganisasikan dan
memprioritaskan urutan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar
sehingga dapat ditemukan tema serta dapat dirumuskan permasalahan dan solusi
yang memadai untuk manajemen Diklat.
Analisis
data dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan komparatif yaitu dengan
membandingkan antara pengukuran kinerja yang selama ini dilakukan / digunakan
oleh Badan Diklat Provinsi Jawa Timur dengan pengukuran kinerja berdasarkan Balanced
Scorecard (bedasarkan hasil wawancara dengan kepala SKPD) yang dinyatakan
dengan skor total. Besarnya skor total yang diperoleh masing-masing pada kedua
pengukuran kinerja tersebut kemudian dibandingkan. Pengukuran kinerja dengan
skor lebih besar menunjukkan bahwa pengukuran tersebut lebih tepat dilakukan
dan dapat dijadikan sebagai rekomendasi alat pengukuran yang dapat diterapkan
oleh Badan Diklat Provinsi Jawa Timur di waktu yang akan datang.
4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Analisis dan Pembahasan
4.1.1. Masalah
Masalah
yang dihadapi Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Jawa Timur yaitu dalam
mengukur kinerja tidak menggunakan Balance Scorecard. Seperti yang dapat
dilihat dari uraian diatas pengukuran kinerja selama ini yang digunakan oleh
Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Jawa Timur dilihat dari aspek keuangan
dan non keuangan namun tidak menggunakan ukuran-ukuran kinerja yang ada di Balanced
Scorecard sehingga ukuran kinerja tersebut terasa belum lengkap dan kurang
dapat diketahuinya aspek-aspek kinerja dari
dalam mengukur kinerja yaitu dengan melihat
realisasi anggaran. Berdasarkan DPA-Perubahan APBD Badan Diklat Provinsi Jawa
Timur Tahun Anggaran 2009, jumlah alokasi anggaran belanjanya sebesar
Rp.52.264.562.750,-. yang terdiri dari anggaran APBD Murni sebesar
Rp.45.133.005.000,-dan tambahan anggaran PAPBD 2009 sebesar Rp.7.131.557.750,-.
Adapun realisasi penyerapan keuangan sampai dengan 31 Desember 2009 adalah
sebesar Rp.49.025.426.860,00 atau sebesar 93,80% dari jumlah APBD Badan Diklat
Provinsi Jawa Timur tahun Anggaran 2009.
Disamping itu pengukuran kinerja yang digunakan
dilihat dari Kesekretariatan, Bidang Diklat Kepemimpinan, Bidang Diklat Teknis,
Bidang Diklat Fungsional serta Bidang Pengendalian dan Evaluasi selama ini
sudah dilaksanakan oleh Badan Diklat Provinsi Jawa Timur dengan uraian sebagai
berikut:
1. Kesekretariatan Bidang ini
melaksanakan kegiatan dan sub-sub kegiatan yang mencakup penyusunan program
kegiatan kediklatan, pengelolaan sarana, prasarana dan sumberdaya manusia
kediklatan, serta pengelolaan keuangannya dengan melaporkan uraian kegiatan dan
sub-sub kegiatannya kemudian juga melihat output – outcame dengan uraian
deskriptif yang kurang tajam karena diuraikan secara kualitatif namun demikian
sudah dapat dianggap memadai.
1.
Bidang Diklat Kepemimpinan Bidang ini pada intinya
melaksanakan 3 (tiga) kegiatan utama kediklatan yaitu Diklat Kepemimpinan
Jabatan Struktural, Diklat Prajabatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan
Diklat Kepemimpinan terkait lainnya. Realisasi kegiatan Bidang Diklat
Kepemimpinan telah disampaikan, namun nampak belum ada kolum selisih antara
target dan realisasinya sehingga belum dapat diketahui berapa selisih antara
target dan realisasinya serta kegiatan mana yang selisihnya paling banyak dan
yang paling sedikit.
2.
Bidang Diklat Teknis Bidang ini pada prinsipnya melaksanakan
kegiatan dan sub-sub kegiatan kediklatan yang substansinya bersifat teknis guna
menunjang kebutuhan peningkatan ilmu pengetahuan dan ketrampilan teknis bagi
aparatur pemerintah pada masingmasing SKPD di lingkungan Pemerintah Provinsi
Jawa Timur dengan hasil target (peserta) 1710 orang dan realisasi (alumni) 1671
orang, nampak realisasi yang jumlahnya menurun namun, tidak dijelaskan berapa
prosentase tingkat penurunan atau kenaikan dari setiap kegiatan sehingga
analisis pengukuran kinerja masih belum lengkap dan kurang tajam.
3.
Bidang Diklat Fungsional Bidang ini pada intinya melaksanakan
kegiatan kediklatan untuk jenis dan jenjang jabatan fungsional yang sudah
maupun yang akan ada pada masingmasing SKPD di lingkungan Pemerintah Provinsi
Jawa Timur dengan target (peserta) 1370 orang dan
realisasi
(alumni) 1361 orang, nampak realisasi yang jumlahnya menurun namun tidak
dijelaskan berapa prosentase tingkat penurunan atau kenaikan dari setiap
kegiatan sehingga analisis pengukuran kinerja masih belum lengkap dan kurang
tajam.
5. Bidang Pengendalian dan
Evaluasi Bidang ini pada prinsipnya melaksanakan kegiatan kediklatan yang
mencakup Analisis Manajemen Kediklatan, Penyusunan Kurikulum dan Modul,
Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Diklat, Akreditasi dan Sertifikasi (ISO
9001:2000) hingga pengembangan SDM Widyaiswara. Hasilnya sudah dilaporkan
secara kualitatif sehingga tidak dapat terukur secara kuantitatif.
4.1.2.
Pemecahan Masalah
Untuk memecahkan permasalahan
diatas maka dipandang perlu dilakukan pengukuran kinerja pada Badan Pendidikan
dan Pelatihan Provinsi Jawa Timur dengan menggunakan Balanced Scorcard agar
pengukuran kinerja menjadi lebih luas perspektifnya karena dilihat dari aspek
keuangan dan non keuangan, disamping itu analisis yang selama ini sudah
dilaksanakan akan terasa lebih rinci dan lebih mendalam lagi. Dalam bagian ini
akan diuraikan bagaimana setiap perspektif balanced scorecard dapat
diimplementasikan untuk mengukur kinerja pada Badan Diklat Provinsi Jawa Timur
dengan melihat dari:
1
Customer and Stakeholder Perspective.
2
Financial Perspective
3
Employees and Organization Capacity Perspective
4
Internal Bussiness Process Perspective
1. Customer and
Stakeholder Perspective
Badan Diklat Provinsi Jawa Timur
harus mengetahui apakah Badan Diklat Provinsi Jawa Timur betul-betul memenuhi
kebutuhan pelanggan. Mereka harus menjawab pertanyaan: Apakah Badan Diklat
Provinsi Jawa Timur menyediakan apa yang diinginkan oleh pelanggan? 1)
Materi Pelatihan
Materi yang dibutuhkan
SKPD untuk setiap Diklat pada tahun 2009 dan pelaksanaannya pada tahun 2009
adalah sebagai berikut:
a) Materi Diklat Pra Jabatan
(LPJ) berjumlah
15
materi dan dilaksanakan secara
keseluruhan (100%).
b) Materi Diklat
Pendidikan dan Pelatihan
Pimpinan IV berjumlah 23 materi
dan
dilaksanakan secara keseluruhan
(100%).
c) Materi Diklat
Pendidikan dan Pelatihan
Pimpinan III berjumlah 4 materi
dan
dilaksanakan secara keseluruhan
(100%).
d) Materi Diklat
Pendidikan dan Pelatihan
Pimpinan II berjumlah 4 materi
dan
dilaksanakan secara keseluruhan
(100%).
e) Materi Diklat
Teknis berjumlah 16 materi dan dapat dilaksanakan 14 (87,5%) dan belum
dilaksanakan 2 (12,5%).
f) Materi Diklat
Fungsional berjumlah 21 materi dan dapat dilaksanakan 14 (66,7%) dan belum
dilaksanakan 7 (33,3%).
Berdasarkan hasil analisis Pelaksanaan
Diklat Menurut Kebutuhan Customer (Pimpinan SKPD) maka ternyata tidak
semua kebutuhan Diklat yang
diinginkan oleh SKPD-SPKD di Provinsi Jawa Timur dapat dilaksanakan oleh Badan
Diklat Jawa Timur pada periode yang sama, dari hasil analisis untuk Diklat
Fungsional ada materi 7 Diklat atau 33,5 % yang tidak dapat dipenuhi oleh Badan
Diklat Provinsi Jawa Timur, dan Diklat Teknis terdapat 2 materi Diklat atau
12,5 % yang tidak dapat dilaksanakan oleh Badan Diklat Provinsi Jawa Timur.
2) Permasalah Diklat
CPNS/PNS maupun Diklat Pimpinan
Beberapa pokok permasalahan yang dihadapi berkaitan
dengan pelaksanaan Diklat selama ini, yaitu: -Terbatasnya anggaran yang
disediakan
dalam APBD untuk biaya
Diklat
-Jumlah CPNS maupun
Pejabat/Calon Pejabat Struktural yang memerlukan Diklat lebih banyak dari
jumlah Diklat yang direncanakan sehingga terdapat beberapa kebutuhan Diklat
yang tidak terpenuhi
-Kesibukan kerja dari
calon Peserta Diklat dan padatnya jadwal yang harus dipenuhi oleh Badan Diklat
membuat seringkali calon peserta Diklat tidak dapat mengikuti diklat yang sudah
direncanakan.
-Terkadang terdapat
program Diklat yang tidak dapat dilaksanakan akibat tidak tercapainya jumlah
peserta minimal.
3) Harapan pimpinan
SKPD terhadap CPNS maupun PNS yang telah mengikuti Diklat
Berdasarkan hasil
analisis dari pelaksanaan tahun 2009 pencapaian sasaran meningkatnya kompetensi
aparatur pemerintah baik kompetensi dasar maupun bidang sebesar 93,33% serta
sasaran meningkatnya kontribusi hasil pendidikan dan pelatihan terhadap
pelaksnaan tugas dan fungsi alumni sebesar 67,51%. Tercapai tidaknya kedua
sasaran tersebut indikatornya adalah pemenuhan target peserta diklat yang
merupakan kinerja pada level output.
4) Tingkat Kepuasan
Peserta Diklat
Hasil survey dengan
penyebaran kuesioner kepada peserta Pendidikan dan Pelatihan di Badan Diklat
Provinsi Jawa Timur atas pelaksanaan Diklat di 3 kegiatan yaitu:
(a) Leadership Skill For
Excellent Service
(b) Penyusunan Standar Pelayanan
Publik Angkatan III
(c) Diklat Total Image Front
Liner
Berdasarkan hasil
analisis dari 3 (tiga) Pendidikan dan Pelatihan yang dilaksanakan Badan Diklat
Provinsi Jawa Timur, dapat kita lihat bahwa dari 103 responden yang menyatakan
pendapat tentang kesesuaian dengan harapan mereka, maka diperoleh hasil 56,31%
peserta menyatakan sangat sesuai dengan harapan, 39,81% menyatakan sesuai,
2,97% menyatakan kurang sesuai, dan 0,91 % yang menyatakan tidak sesuai.
Berarti persentase tertinggi dari peserta tersebut menyatakan bahwa pendidikan
dan pelatihan yang diberikan sudah sesuai dengan harapan mereka yaitu sejumlah
56,30 %.
Untuk waktu
pelaksanaan Diklat pada umumnya peserta hanya merasa cukup yaitu 50,49%
menyatakan bahwa waktu pelaksanaan Diklat cukup, 34,95% menyatakan sangat
cukup, 12, 62% menyatakan kurang lama, dan hanya 1,94% yang mentakan waktu
pelaksanaan Diklat tersebut terlalu lama. Jadi pada umumnya para peserta Diklat
memandang bahwa waktu yang diberikan dalam pelaksanaan Diklat dipandang cukup
yaitu 50,49% atau sebanyak52 peserta dari total pesrta sebanyak 103 orang.
Dilihat dari penyelanggaraan
Diklat yang telah dilakukan oleh Badan Diklat Provinsi Jawa Timur dari 103
orang peserta yang menyatakan Sangat baik sebanyak 26,21 %, yang menyatakan
Cukup sebanyak 69,91 %, yang menyatakan Kurang Baik sebanyak 3,88%, dan yang
menyatakan tidak baik tidak ada atau 0%. Untuk itu karena pada umumnya peserta
Diklat pada umumnya yaitu 69,91 % hanya mentakan cukum baik atas
penyelenggaraan Diklat yang dilakukan oleh Badan Diklat Provinsi Jawa Timur,
maka perlu kiranya Badan Diklat Provinsi Jawa Timur untuk melihat kembali
penyelenggaraan Diklatnya agar peserta bisa merasa sangat baik.
Dilihat dari dukungan terhadap
tugas peserta, materi Diklat yang diberikan pada umumnya peserta menyatakan
Sangat mendukung yaitu sebanyak 58,25 %, yang menyatakan cukup mendukung
38,84%, yang menyatakan Kurang mendukung 2,91% dan yang menyatakan tidak
mendukung 0 %. Hal ini berarti materimateri Diklat yang diberikan pada umumnya
sudah sangat mendukung terhadap pelaksanaan tugas dari para peserta untuk itu
perlu dipertahankan.
Dilihat dari manfaat bagi
peserta, materi Diklat yang diberikan pada umumnya peserta menyatakan Sangat
bermanfaat yaitu sebanyak 72,82%, yang menyatakan cukup bermanfaat 25,24%, yang
menyatakan Kurang bermanfaat 0,97% dan yang menyatakan tidak bermanfaat 0,97 %.
Hal ini berarti materimateri Diklat yang diberikan pada umumnya sudah sangat
bermanfaat bagi para peserta Diklat, untuk itu perlu dipertahankan.
Sedangkan jika dilihat
dari 5 materi yang dapat diserap oleh peserta Diklat, dari 103 peserta Diklat
menyatakan bahwa, materi Diklat yang diberikan pada umumnya peserta menyatakan
Persentase materi yang dapat diserap 100% yaitu sebanyak 8,74%, yang menyatakan
Persentase materi yang dapat diserap 75 % sebanyak 70,87%, yang menyatakan
Persentase materi yang dapat diserap 50% sebanyak 18,4% dan yang menyatakan
Persentase materi yang dapat diserap 25% sebanyak 1.94% Hal ini berarti
persentase materi-materi Diklat yang dapat diserap oleh peserta Diklat pada
umumnya hanya 75 % yang dapat diserap. Untuk itu perlu adanya perbaikan
terhadap metode pembelajaran atas materi-materi Diklat tersebut agar persentase
materi Diklat yang dapat diserap oleh peserta bisa lebih baik lagi.
2. Financial
Perspective
Perspektif finansial berfokus
pada pengelolaan keuangan organisasi publik secara akuntabel. Oleh karena itu,
harus berfokus pada bagaimana cara memenuhi kebutuhan pelayanan Diklat secara
efisien. Badan Diklat Provinsi Jawa Timur harus dapat menjawab pertanyaan:
Apakah pelayanan yang diberikan oleh Badan Diklat telah dilaksanakan dengan
biaya yang rendah? 1) Analisis Realisasi Anggaran
Berdasarkan DPA-Perubahan APBD
Badan Diklat Provinsi Jawa Timur Tahun Anggaran 2009, jumlah alokasi anggaran
belanjanya sebesar Rp. 52.264.562.750,-. yang terdiri dari anggaran APBD Murni
sebesar Rp. 45.133.005.000,-dan tambahan anggaran PAPBD 2009 sebesar Rp. 7.131.557.750,-
Adapun realisasi penyerapan
keuangan sampai dengan 31 Desember 2009 adalah sebesar Rp. 49.025.426.860,00
atau sebesar 93,80 % dari jumlah APBD Badan Diklat Provinsi Jawa Timur tahun
Anggaran 2009. Jika dilihat dari realisasi keuangan DPA-PAPBD Badan Diklat
Provinsi Jawa Timur Tahun Anggaran 2009 bedasarkan jenis Belanja nampak Belanja
Tidak langsung Anggarannya sebesar Rp 8.699.180.000,-dan Realisasisnya sebesar
Rp 7.928.095.313,-sehingga terdapat sisa Rp 771.084.687,-atau 8,86 %. Sementara
jika dilihat dari Belanja Langsung Anggarannya berjumlah Rp 43.565.382.750,-dan
realisasinya Rp 41.082.075.914,-sehingga terdapat sisa sebesar Rp 2.483.252.836,-atau
sebesar 5,70% sehingga hal ini sudah terjadi penghematan (sisa) secara
keseluruhan sebesar Rp 3.254.391.523, atau 6,23%.
2) Analisis Efisiensi dan
Efektifitas Bidang Keuangan
Pencapaian terget kinerja keuangan dilakukan dengan
cara membandingkan antara masukan (input) dengan sasaran (output) dalam satuan
rupiah, kemudian dihitung tingkat efisiensi dan tingkat efektifitasnya.
Efisiensi = (Output:Input) X 100% Efektifitas= (Efisiensi:Outcome) X 100% Hasil
yang diperoleh kemudian dibandingkan antar tahun 2007, 2008, dan 2009.
Berdasarkan hasil analisis nampak bahwa tingkat
efisiensi penggunaan anggaran pada Badan Diklat Jawa Timur yang paling tinggi
terjadi pada tahun 2009 yaitu sebesar 94 % dan yang paling rendah terjadi pada
tahun 2007 yaitu sebesar 88%, sementara jika dilihat dari tingkat efektifitas
dalam penggunaan anggaran maka yang paling efektif terjadi pada tahun 2009
yaitu sebesar 99% dan yang paling rendah tingkat efektifitasnya terjadi pada
tahun 2008 yaitu sebesar 92%. Hal ini berarti kinerja keuangan paling baik
terjadi pada tahun 2009 karena dilihat dari tingkat efisiensi maupun efektifitasnya
paling besar terjadi pada tahun 2009, untuk itu pencapaian kinerja ini harus
dipertahankan. 3) Analisis Vertikal
Dengan menggunakan
analisis vertikal dimana tahun 2007 yang dijadikan sebagai tahun dasar maka
diperoleh hasil jumlah persentase anggaran pada tahun 2008 sebesar 84% dan pada
tahun 2009 sebesar 87%. Hal ini berarti anggaran tahun 2007 paling besar dan
yang paling rendah adalah anggaran tahun 2008. Sedangkan dilihat dari realisasi
perbandingan tahun 2008 dengan tahun 2007 (tahun dasar) diperoleh hasil sebesar
83% dan untuk tahun 2009 diperoleh hasil sebesar 93%. Hal ini berarti realisasi
pelaksanaan anggaran pada tahun 2007 paling besar menyusul tahun 2009 dan
terakhir tahun 2008. Ini berarti pelaksanaan aktivitas dibidang keuangan yang ada
di Badan Diklat Jawa Timur paling besar terjadi pada tahun 2007.
3. Employees
and Organization Capacity Perspective
Perspektif ini berfokus untuk
mengembangkan kapasitas karyawan dan organisasi. Kemampuan organisasi untuk
meningkatkan dan memenuhi permintaan masyarakat terkait secara langsung dengan
kemampuan karyawan untuk memenuhi permintaan itu. Oleh karena itu, Kepala
Diklat harus menjawab pertanyaan: Apakah Badan Diklat menggunakan metode,
teknologi informasi, dan sistem kerja yang sesuai dengan kemajuan jaman dan
lingkup pekerjaannya serta melakukan pelatihan karyawan untuk kemajuan yang
berkelanjutan? 1) Teknologi Informasi yang Digunakan
Berkaitan dengan teknologi
informasi yang digunakan di Badan Diklat Provinsi Jawa Timur dipandang sudah
memadai, hal ini terlihat dari peralatan kantor yang sudah menggunakan jaringan
komputer dan penggunaan LCD dan komputer di setiap kelas tempat Pendidikan dan
Pelatihan dilaksanakan. Demikian pula jika dilihat dalam daftar Asset Tetap di
Neraca Badan Diklat Provinsi Jatim bahwa alat kantor dan alat studio dan alat
komunikasi telah mengalami penambahan sebesar Rp 2.206.341.470 untuk alat
kantor dan sebesar Rp 439.642.100,-untuk alat studio dan alat komunikasi. Hal
ini menunjukkan bahwa penggunaan teknologi informasi senantiasa mengalami
peningkatan. 2) Absensi Karyawan
Persentase ketidak hadiran
karyawan di Badan Diklat Provinsi Jawa Timur relatif kecil. Jika ada karyawan
yang tidak hadir, maka ketidakhadiran tersebut mengurangi jatah cuti dalam
tahun yang bersangkutan. Dalam satu tahun karyawan mendapatkan cuti selama 12
hari. Jika izin karena sakit maka harus disertai dengan surat keterangan dari
dokter. Dengan rendahnya tingkat ketidak hadiran menunjukkan produktivitas yang
cukup tinggi. Persentase hari kerja yang hilang dihitung sebagai berikut:
Untuk tahun 2007= (40:230) X 100% = 17.39%
Untuk tahun 2008= (34:230) X 100% = 14,78%
Untuk tahun 2009= (32:230) X 100% = 13,91%. Tingkat
absen (tidak hadir) karyawan paling banyak terjadi pada tahun 2007, Namun dari tahun
ketahun ketidak hadiran karyawan semakin rendah persentasenya. Hal ini
menunjukkan semakin lama karyawan semakin loyal dan disiplin. 3) Tingkat
Perputaran Karyawan
Perputaran karyawan menunjukkan indikator moral
karyawan, supervisi yang baik/buruk, pekerja puas atau tidak puas terhadap
pekerjaannya, serta baik/buruknya kondisi kerja. Pergantian tenaga kerja yang
tinggi seringkali merupakan petunjuk atas rendahnya moral, supervisi yang
buruk, kerja yang tidak memuaskan serta kondisi kerja yang tidak menyenangkan
dan sebagainya.
Berdasarkan hasil analisis,
nampak perputaran karyawan paling tinggi terjadi pada tahun 2007 yaitu 5,85%,
namun tidah jauh berbeda dibandingkan tahun 2008 sebesar 4,18% dan tahun 2009
sebesar 5,13%, dimana persentase ini termasuk rendah karena masih dibawah 6 %
dan itupun kebanyakan dari mereka keluar karena pensiun.
4. Internal Bussiness Process
Perspective.
Pengukuran perspektif
proses bisnis internal dilakukan dengan menggunakan indikator berfokus pada
tujuan untuk menyediakan pelayanan secara kompetitif. Untuk itu, Kepala Diklat
harus berfokus pada tugas penting yang memungkinkan Badan Diklat untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat. Badan Diklat Provinsi Jawa Timur harus menjawab
pertanyaan: Dapatkah Badan Diklat meningkatkan pelayanan dengan mengubah cara
pelayanan itu disampaikan?
1) Pengukuran
Pencapaian Sasaran
Berdasarkan rencana
kerja tahun 2009 yang telah ditetapkan oleh Badan Diklat Provinsi Jawa timur,
dilakukan pengukuran kinerja sasaran dan pengukuran kinerja kegiatan sebagai
bagian dari Internal Bussiness Process Perspective. Dari enam sasaran
yang tertuang dalam Rencana Strategis Badan Diklat Provinsi Jawa Timur tahun
20092014, ada 2 sasaran yang tidak mencapai 100%, yaitu sasaran
meningkatkannya kompetensi aparatur pemerintah baik kompetensi dasar maupun
bidang sebesar 93,33%, serta sasaran meningkatnya kontribusi hasil pendidikan
dan pelatihan terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi alumni sebesar 87,51 %.
Tercapai tidaknya
kedua sasaran tersebut indikatornya adalah pemenuhan target peserta diklat yang
merupakan kinerja pada level output. Sedangkan sasaran ketiga, yakni
meningkatnya kontribusi pendidikan dan pelatihan terhadap kualitas sumber daya
manusia pembangunan berbasis masyarakat tidak ada target pencapaiannya untuk
tahun 2009. Sasaran ini dalam Rencana Strategis ditetapkan guna mengakomodasi
kegiatan yang berbasis kemasyarakatan sesuai RPJMD Provinsi Jawa Timur, dimana
untuk tahun 2009 belum direncanakan.
Sasaran
keempat yakni meningkatnya kompetensi penyelengara pendidikan dan pelatihan
diukur dari realisasi jenis kegiatan pendukung, dimana semua kegiatan dapat
berjalan dengan cukup tertib sehingga pencapaiannya 95%. Demikian pula untuk
sasaran meningkatnya kualitas program dan penyelenggaraan pendidikan dan
pelatihan serta sasaran meningkatnya kualitas dan kapasitas sarana dan
prasarana pendidikan dan pelatihan, dapat dicapai 95% dengan indikator berbagai
jenis kegiatan sesuai dengan rencana.
2) Pengukuran Kinerja Kegiatan
Kegiatan inti Badan Pendidikan
dan Pelatihan Provinsi Jawa Timur terdapat pada program peningkatan kapasitas
sumberdaya aparatur yang meliputi Diklat Kepemimpinan, Diklat Teknis, dan
Diklat Fungsional. Secara umum kinerja output mencapai 95% -100%, yang artinya
peserta diklat yang direkrut untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan dapat
memenuhi target kehadiran sebesar 95% 100%.
3) Pengukuran Bidang
Pengendalian dan Evaluasi
Untuk Bidang Pengendalian dan
Evaluasi target dan realisasi dinyatakan secara deskriptif, dimana pokok-pokok
hasil pengukuran kinerja kegiatan tesebut adalah sebagi berikut:
a. Untuk kegiatan dalam Manajemen
Data Kediklatan telah terealisasi Database Alumni Diklat. Hal ini terwujud
berkat peningkatan jumlah komputer dan perbaikan sistem informasi yang selalu
dilakukan setiap tahunnya.
b. Dari kegiatan analisis kebutuhan
diklat dapat terinventarisasi 85 % jenis diklat prioritas yang
direpresentasikan di 5 Kabupaten/Kota di Jawa Timur.
c. Kegiatan penyusunan kurikulum
dan silabi dapat menyelesaikan 20 jenis diklat dengan tingkat kepuasan peserta
diklat yang cukup memadai.
d. Untuk bidang Pengendalian dan
e.
Tersusunnya naskah akademik sebagai acuan penyusunan renstra diklat 20092014
dalam hal ini Penerbitan Grand Design Diklat Aparatur 2009 – 2014 telah
dilakukan pada tahun 2009 ini.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian
hasil penelitian dan pembahasan mengenai analisis kinerja Badan Diklat Provinsi
Jawa Timur dengan menggunakan Balanced Scorecard, maka diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:
1.
Dalam Customer and Stakeholder Perspective yang berkaitan dengan
pengukuran kinerja dari aspek materi Diklat maka ternyata tidak semua kebutuhan
Diklat yang diinginkan oleh SKPD-SPKD di Provinsi Jawa Timur dapat dilaksanakan
oleh Badan Diklat Jawa Timur. Hal ini dapat dilihat bahwa untuk Diklat
Fungsional ada materi 7 Diklat atau 33,5 % yang tidak dapat dipenuhi oleh Badan
Diklat Jawa Timur, dan Diklat Teknis terdapat 2 materi Diklat atau 12,5 % yang
tidak dapat dilaksanakan oleh Badan Diklat Provinsi jawa Timur. Jika dilihat
dari penyelanggaraan Diklat yang telah dilakukan oleh Badan Diklat Provinsi
Jawa Timur dari 103 orang peserta yang menyatakan Sangat Baik sebanyak 26,21%,
yang menyatakan Cukup sebanyak 69,91%, yang menyatakan Kurang Baik sebanyak
3,88%, dan yang menyatakan Tidak Baik tidak ada atau 0%. Untuk itu karena
peserta Diklat pada umumnya yaitu 69,91% hanya mengatakan cukup baik atas
penyelenggaraan Diklat yang dilakukan oleh Badan Diklat Provinsi Jawa Timur,
maka perlu kiranya Badan Diklat Provinsi Jawa Timur untuk mengevaluasi kembali
penyelenggaraan Diklatnya agar peserta bisa merasa penyelenggaraan Diklat
tersebut Sangat Baik.
1.
Dalam Financial Perspective terjadi penghematan (sisa)
anggaran secara keseluruhan sebesar Rp 3.254.391.523, atau 6,23%. Tingkat
efisiensi penggunaan anggaran paling tinggi terjadi pada tahun 2009 yaitu
sebesar 94% dan yang paling rendah terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 88%,
sementara jika dilihat dari tingkat efektifitas dalam penggunaan anggaran maka
yang paling efektif terjadi pada tahun 2009 yaitu sebesar 99% dan yang paling
rendah tingkat efektifitasnya terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 92%. Hal
ini berarti kinerja keuangan paling baik terjadi pada tahun 2009 karena dilihat
dari tingkat efisiensi maupun efektifitasnya paling besar terjadi pada tahun
2009. Jika menggunakan analisis vertikal dimana tahun 2007 yang dijadikan
sebagai tahun dasar maka diperoleh hasil jumlah persentase Anggaran pada tahun
2008 sebesar 84% dan pada tahun 2009 sebesar 87%.
2.
Dalam Employees and Organization Capacity Perspective, pengukuran
kinerja dilihat dari pemanfaatan teknologi informasi nampak bahwa alat kantor,
alat studio dan alat komunikasi telah mengalami penambahan. Hal ini menunjukkan
adanya peningkatan dalam pemanfaatan teknologi informasi yang ada. Jika dilihat
dari perhitungan persentase hari kerja yang hilang (absensi karyawan) diperoleh
hasil untuk tahun 2007 sebesar 17.39%; Untuk tahun 2008 sebesar 14,78% ; dan
Untuk tahun 2009 sebesar 13,91%. Hal ini berarti tingkat absen karyawan paling
banyak terjadi pada tahun 2007 Jika dilihat dari perhitungan perputaran
karyawan diperoleh hasil pada Tahun 2007 sebasar 5,85%; Tahun 2008 sebesar
4,18%; dan Tahun 2009 sebesar 5,13%. Berarti perputaran karyawan paling tinggi
terjadi pada
tahun 2007; paling rendah tahun 2008, dan ditengah terjadi
pada tahun 2009. Persentase ini termasuk rendah karena masih dibawah 6 % dan
itupun kebanyakan dari mereka keluar karena pensiun..
4. Dengan menggunkan
pengukuran kinerja sasaran dan pengukuran kinerja kegiatan sebagai bagian dari Internal
Bussiness Process Perspective, dari enam sasaran yang tertuang dalam
Rencana Strategis Badan Diklat Provinsi Jawa Timur tahun 2009-2014, ada 2
sasaran yang tidak mencapai 100%, yaitu sasaran meningkatkannya kompetensi
aparatur pemerintah baik kompetensi dasar maupun bidang sebesar 93,33%, serta
sasaran meningkatnya kontribusi hasil pendidikan dan pelatihan terhadap
pelaksanaan tugas dan fungsi alumni sebesar 87,51%. Untuk kegiatan dalam
Manajemen Data Kediklatan telah terealisasi Database Alumni Diklat. Hal ini
terwujud berkat peningkatan jumlah komputer dan perbaikan sistem informasi yang
selalu dilakukan setiap tahunnya.
5.2. Saran
Saran yang dapat
diberikan pada Badan Pendidikan dan Pelatihan Jawa Timur adalah sebagai
berikut:
1.
Sebaiknya analisa Balanced Scorecard digunakan untuk
pengukuran kinerja Badan Pendidikan dan Pelatihan Jawa Timur. Hal ini
dikarenakan Balanced Scorecard bermanfaat bagi semua pihak yang
berkepentingan terhadap Badan Pendidikan dan Pelatihan Jawa Timur untuk
memberikan arah yang jelas dan strategi yang tepat dalam mencapai visi, misi,
tujuan dan sasaranya.
2.
Agar Balanced Scorecard dapat mencapai kinerja yang
optimal diperlukan adanya alat ukur yang dapat membantu Badan Diklat Provinsi
Jawa Timur dalam meningkatkan kinerjanya baik secara finansial maupun non
finansial, untuk itu pemanfaatan
teknologi informasi,
dukungan sistem informasi manajemen dan database senantiasa harus selalu
ditingkatkan.
3. Secara keseluruhan
kinerja Badan Diklat Provinsi Jawa Timur sudah baik, namun dilihat dari
analisis Balanced Scorecard masih ada yang perlu ditingkatkan misalnya
dalam hal perlunya koordinasi yang lebih intensif antara provinsi dan
Kabupaten/Kota untuk memenuhi target peserta Diklat.
DAFTAR
PUSTAKA
Anderson, L K., dan Horald M.
Sollenberger, 1992. Managerial Accounting 8th Edition, South
Western Publishing, Cincinnati, Ohio.
Anthony, Robert N. dan Vijay
Govindarajan, 2005. Management Control Systems, 11th Edition,
Salemba Empat, Jakarta.
Astri, W.W., 2009. Laporan
Akuntabilitas Kinerja Pemerintah (LAKIP). http://gitacintanyawilis.blogspot.c
om/2009/11/laporan-akuntabilitaskinerja diakses pada Oktober 2010
0 Response to "ANALISIS KINERJA ORGANISASI SEKTOR PUBLIK MENGGUNAKAN BALANCED SCORECARD"
Post a Comment