ANALISIS KINERJA ORGANISASI SEKTOR PUBLIK MENGGUNAKAN BALANCED SCORECARD

.
.
ANALISIS KINERJA ORGANISASI SEKTOR PUBLIK MENGGUNAKAN BALANCED SCORECARD (Studi pada Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Jawa Timur)\
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH ABSTRAK
Setiap organisasi, termasuk organisasi publik, membutuhkan alat untuk mengkomunikasikan rencana-rencana strategisnya kepada semua anggota organisasi. Alat komunikasi tersebut adalah Balanced Scorecard. Balance Scorecard merupakan suatu pendekatan dalam pengukuran kinerja manajemen perusahaan, yang juga dapat diterapkan sebagai suatu sistem strategi manajemen. Balance Scorecard dapat menuntun manajemen dan anggota organisasi dalam menterjemahkan visi, misi serta strategi organisasi ke dalam tindakan yang nyata.
Penelitian ini dilakukan pada Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badan Diklat) Provinsi Jawa Timur. Selama ini, Badan Diklat Provinsi Jawa Timur belum menggunakan balanced scorecard untuk mengukur kinerjanya. Hal ini menyebabkan pengukuran kinerja yang dilakukan belum optimal, terutama dari sisi non finansial.
Dalam Balanced Scorecard, pengukuran kinerja dilihat dari 4 perspektif yaitu Customer and Stakeholder Perspective, Financial Perspective, Employees and Organization Capacity Perspective, dan Internal Bussiness Process Perspective. Dalam Customer and Stakeholder Perspective, pengukuran kinerja dapat dilihat dari materi Diklat yang dapat dan yang tidak dapat dipenuhi oleh Badan Diklat Provinsi Jawa Timur, permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan pelaksanaan Diklat, pencapaian sasaran dalam kompetensi aparatur pemerintah, dan tingkat kepuasan peserta diklat. Dalam Financial Perspective, kinerja Badan Diklat Provinsi Jawa Timur dapat diukur dengan menggunakan analisis realisasi anggaran, tingkat efisiensi dan efektifitas penggunaan anggaran, dan analisis vertikal. Dalam Employees and Organization Capacity Perspective, pengukuran kinerja dapat dilihat dari pemanfaatan teknologi informasi, absensi karyawan dan perhitungan perputaran karyawan. Dalam Internal Bussiness Process Perspective, pengukuran kinerja dapat dilihat dari analisis sasaran yang tertuang dalam Rencana Strategis, perbandingan target dan realisasi peserta kegiatan diklat dan analisis pelaksanaan pengendalian dan evaluasi kegiatan diklat.
Secara keseluruhan kinerja Badan Diklat Provinsi Jawa Timur sudah baik. Namun apabila dilihat dari analisis Balanced Scorecard masih ada yang perlu ditingkatkan misalnya perlunya koordinasi yang lebih intensif antara provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memenuhi target peserta Diklat dan pemanfaatan teknologi informasi, dukungan sistem informasi manajemen dan database senantiasa harus selalu ditingkatkan agar penerapan pengukuran kinerja dari perspektif finansial dan non finansial (Balanced Scorecard) dapat dilakukan dengan baik.
Kata kunci: Balanced Scorecard, Customer and Stakeholder Perspective, Financial Perspective, Employees and Organization Capacity Perspective, Internal Bussiness Process Perspective,
Badan Diklat Provinsi Jawa Timur.


1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, organisasi publik sedang berada pada masa transisi dari era persaingan global menuju ke era persaingan informasi. Selain itu, organisasi publik juga menghadapi tantangan besar dengan adanya kebijakan otonomi daerah. Organisasi publik semakin dituntut untuk memberikan pelayanan secara profesional, seperti layaknya organisasi bisnis, walaupun orientasi organisasi publik tetap non­profit.
Organisasi publik juga harus mulai menyadari dan lebih memperhatikan pentingnya peranan pengukuran kinerja, sebagai sarana untuk memantau keahlian dan perilaku aparat. Pemerintah menanggapi hal ini dengan mengeluarkan berbagai peraturan sebagai pedoman kerja aparatur, antara lain Keputusan MENPAN Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik dan Keputusan MENPAN Nomor KEP/26/M.PAN/2/2004 tentang petunjuk teknis transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Namun demikian, perspektif pengukuran kinerja dengan hanya memperhatikan unsur finansial semata harus mulai ditinggalkan. Hal ini disebabkan karena banyak aspek penentu kesuksesan organisasi publik yang tidak dapat dinilai dengan angka (dikuantifikasikan) dalam satuan mata uang atau ditampilkan dalam laporan keuangan, seperti kekayaan organisasi yang sifatnya tidak berwujud (intangible assets) maupun kekayaan intelektual sumber daya manusia. Padahal, faktor­faktor tersebutlah yang justru menjadi penentu dan pendorong kemajuan suatu organisasi publik (Suharsono, 2005).
Ditinjau dari perspektif non finansial, organisasi publik harus mampu memberikan pelayanan yang memadai bagi masyarakat. Untuk itu diperlukan inovasi dalam sistem pelayanan, peningkatan kompetensi pegawai, komitmen yang kuat untuk peningkatan produktivitas dan juga peningkatan fasilitas pelayanan publik. Dengan demikian diharapkan masyarakat akan semakin merasa puas dengan pelayanan yang diberikan. Pada akhirnya, semua hal tersebut diharapkan dapat mendukung terciptanya pembangunan dan pengembangan pelayanan publik.
Setiap organisasi, termasuk organisasi publik, membutuhkan alat untuk mengkomunikasikan rencana strategisnya kepada semua anggota organisasi. Alat komunikasi tersebut adalah balanced scorecard (Imelda, 2004). Balance scorecard merupakan suatu pendekatan dalam pengukuran kinerja manajemen perusahaan, yang juga dapat diterapkan sebagai suatu sistem strategi manajemen. Balance scorecard dapat menuntun manajemen dan anggota organisasi dalam menterjemahkan visi, misi serta strategi organisasi kedalam tindakan-tindakan nyata (Kaplan dan Norton, 1992).
Selain mempertimbangkan aspek finansial, balance scorecard juga mempertimbangkan aspek non finansial. Balance scorecard tidak hanya mengukur hasil akhir, tetapi juga aktivitas-aktivitas penentu hasil akhir. Aplikasi balance scorecard juga mencakup aktivitas pertumbuhan dan pembelajaran, yang dapat memberikan kontribusi pada proses bisnis internal. Oleh karena itu, balanced scorecard dinilai sesuai untuk diterapkan pada organisasi sektor publik. Hal tersebut sejalan dengan tujuan organisasi publik yang menempatkan pelayanan yang cenderung bersifat kualitatif dan nonkeuangan sebagai prioritas utama (Mahmudi, 2007).
Penerapan balanced scorecard di organisasi publik juga tidak sama dengan apa yang dilakukan di organisasi bisnis (Imelda, 2004). Perbedaan tersebut antara lain adanya perubahan framework dimana yang menjadi pemicu dalam balanced scorecard untuk organisasi publik adalah misi untuk melayani masyarakat, perubahan posisi perspektif finansial dan perspektif pelanggan, perspektif pelanggan menjadi perspektif customer and stakeholder, serta perubahan perspektif pertumbuhan dan pembelajaran menjadi perspektif employess and organization capacity.
Peningkatan kualitas dan kompetensi aparatur pemerintahan sangat diperlukan untuk mencapai peningkatan kualitas organisasi publik secara keseluruhan. Oleh karena itu, dibentuk Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badan Diklat) di setiap provinsi. Badan Diklat bertugas untuk memberikan pendidikan dan pelatihan yang memadai bagi para aparatur pemerintah dari semua organisasi publik agar mereka dapat memberikan layanan yang profesional, bersih, berwibawa, dan dengan sikap mental positif.
Dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah – Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Jawa Timur Tahun 2009 terlihat bahwa kinerja Badan Diklat selama tahun 2009 sangat memuaskan. Dari enam sasaran yang terdapat dalam Rencana Strategis Badan Diklat tahun 2009-2014, hanya ada 2 sasaran yang tidak terpenuhi 100%, yaitu sebesar 93.33% dan 87.51%. Dari segi pengukuran kinerja kegiatan, kinerja output (target kehadiran peserta yang direkrut untuk mengikuti diklat) mencapai 95% sampai dengan 100%, sedangkan target outcomes (hasil belajar peserta diklat, yang dilihat dari nilai pre test dan post test) bervariasi antara 66.67% sampai dengan 99%.
Namun demikian, ternyata indikator pengukuran yang digunakan untuk mengukur kinerja Badan Diklat Provinsi Jawa Timur tersebut hanya berdasarkan pada angka-angka kuantitatif saja. Dalam badan tersebut, belum diterapkan pengukuran kinerja dari aspek lainnya seperti yang terdapat dalam konsep balanced scorecard. Padahal, seharusnya Badan Diklat juga harus mampu memberikan pertanggungjawaban yang transparan, baik secara finansial maupun non finansial kepada pemerintah daerah dan masyarakat. Seperti yang telah disebutkan di atas, pengukuran aspek non­finansial sangat dipelukan untuk mengetahui pencapaian kinerja yang sesungguhnya. Tanggung jawab, profesionalisme, dan keramahan, kecepatan dan ketepatan layanan merupakan contoh unsur kinerja yang tidak dapat dilihat dengan angka semata. Hal ini membuktikan pentingnya pengenalan dan penerapan balanced scorecard dalam organisasi publik, dalam hal ini Badan Diklat Provinsi Jawa Timur.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka dapat ditetapkan rumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut: Bagaimana setiap perspektif balanced scorecard dapat digunakan untuk mengukur kinerja Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Jawa Timur?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1.3.1. Menganalisis        perspektif customers and stakeholders (masyarakat) di Badan Diklat Provinsi Jawa Timur.
1.3.2. Menganalisis perspektif finansial di Badan Diklat Provinsi Jawa Timur.
1.3.3. Menganalisis        perspektif employees and organization capacity (aparatur pemerintahan dan kapasitas organisasi publik) di Badan Diklat Provinsi Jawa Timur.
1.3.4. Menganalisis        perspektif proses bisnis internal di Badan Diklat Provinsi Jawa Timur.
1.4. Kontribusi Penelitian
Kontribusi yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:


1.4.1. Untuk             Pengembangan Teori Akuntansi
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai penilaian kinerja dengan menggunakan balanced scorecard. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya di bidang penerapan balanced scorecard di organisasi publik.
1.4.2. Untuk Praktisi
Hasil-hasil analisis yang didapatkan dalam penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan evaluasi bagi manajemen, terutama untuk mengetahui sejauh mana efektivitas Diklat yang dilakukan serta seberapa besar tingkat kepuasan masyarakat (dalam hal ini pegawai pemerintah yang pernah dibimbing oleh Badan Diklat) terhadap pelayanan yang diberikan. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi organisasi publik lainnya tentang pentingnya peranan perspektif financial dan non finansial dalam Balanced Scorecard sebagai alat ukur kinerja organisasi publik
1.4.3. Untuk Regulator
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan referensi untuk para regulator dalam pengambilan kebijakan mengenai pengukuran kinerja pada organisasi-organisasi publik agar lebih komprehensif mencakup semua aspek, baik finansial maupun non finansial.

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kinerja
2.1.1. Pengertian Kinerja
Kinerja merujuk pada hasil yang dapat diselesaikan oleh seorang karyawan dalam periode waktu tertentu. Kinerja juga merujuk pada perilaku karyawan dalam bekerja. Hersey dan Blanchard (1993) mendefinisikan kinerja sebagai suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaannya. Kinerja adalah hasil seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu di dalam melaksanakan tugas, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama (Rivai dan Basri, 2004). Sejalan dengan definisi-definisi sebelumnya, Robbins (1997) menggambarkan kinerja sebagai fungsi interaksi antara kemampuan (ability), motivasi (motivation) dan kesempatan (opportunity).
Kinerja seorang karyawan merupakan hal yang bersifat individual karena setiap karyawan mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda dalam melaksanakan tugasnya. Keberhasilan kinerja seseorang diukur dari sejauh mana ia dapat mencapai tujuan yang ditetapkan baginya. Ikopin (2008) juga menyatakan bahwa pengukuran kinerja karyawan identik dengan apakah karyawan mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Artinya, karyawan memiliki tanggung jawab, mampu melaksanakan pekerjaannya tepat waktu dan dapat mencapai target yang telah ditentukan.
Definisi tersebut sejalan dengan apa yang tercantum dalam Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara tanggal 25 Maret 2003 Nomor 239/IX/6/8/2003 tentang Perbaikan Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Surat Keputusan MENPAN Nomor KEP-135/ M.PAN/2004 tentang Pedoman Umum Evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah,Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, Undang-Undang No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Surat Menteri Negara PAN Nomor B/1301/ M.PAN/04/2009 Perihal Kebijakan Evaluasi Akuntabilitas Kinerja Tahun 2009, dan Peraturan MENPAN dan Reformasi Birokrasi Nomor 7 Tahun 2010 Tentang Pedoman Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Publik.
2.1.2. Pengukuran Kinerja Organisasi publik
Pengukuran kinerja organisasi publik merupakan suatu alat perencanaan dan sistem pengendalian manajemen yang bertujuan untuk membantu manajer publik menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan non finansial. Pengukuran kinerja sektor publik dilakukan untuk memenuhi tiga maksud. Pertama, pengukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk memperbaiki kinerja pemerintah. Ukuran kinerja dimaksudkan untuk dapat membantu pemerintah berfokus pada tujuan dan sasaran program unit kerja. Kedua, ukuran kinerja sektor publik digunakan untuk pengalokasian sumber daya dan pembuatan keputusan. Ketiga, ukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi pelanggan.
Sebagian besar organisasi publik telah menyadari kebutuhan akan pengukuran kinerja dalam instansinya (‘bottom-line’ performance). Namun pengukuran tersebut masih dilakukan dengan menggunakan sistem tradisional, yaitu pengukuran pencapaian finansial yang didasarkan pada pelaporan keuangan. Padahal, menurut Mulyadi dan Setyawan (1999), ukuran keuangan tidak dapat menggambarkan kondisi riil perusahaan di masa lalu dan tidak mampu menjadi pedoman bagi suatu organisasi kearah yang lebih baik, serta hanya berorientasi jangka pendek. Jadi, sistem pengukuran kinerja finansial organisasi publik ini lebih dirancang untuk memenuhi kebutuhan shareholders, daripada untuk menyediakan informasi dalam membantu pengelolaan suatu organisasi.
2.1.3. Pengukuran     Kinerja Organisasi publik yang Seimbang
Suatu sistem pengukuran kinerja organisasi publik yang seimbang harus dapat meningkatkan perhatian dan kesejajaran, mempermudah komunikasi, dan menyiapkan suatu visi yang jauh ke depan (a forward-looking vision), sehingga semua orang dapat termotivasi untuk mengubah perilaku mereka agar sejalan dengan tujuan organisasi publik. Suatu sistem pengukuran yang baik haruslah menyeluruh atau komprehensif, termasuk pengukuran-pengukuran penting dari seluruh bidang operasional maupun dari semua jenis pengukuran. Sistem tersebut juga harus termasuk pengukuran­pengukuran finansial maupun non finansial, indikator-indikator dari hasil di masa lampau dan prediktor-prediktor dari kinerja di masa datang, dan pengukuran­pengukuran yang mencakup faktor waktu, biaya dan kualitas.
Parayudha (2009) menyatakan bahwa desain balanced scorecard mampu meningkatkan manajemen strategis dan tata kelola dalam organisasi publik. Balanced scorecard dapat menciptakan perilaku manajemen umum yang lebih baik melalui persamaan yang kuat antara pendekatan yang diusulkan dan desain lainnya, sebagaimana yang diterapkan dalam sektor komersial.
2.2. Balanced Scorecard
2.2.1. Perkembangan   Konsep Balanced Scorecard
Balanced Scorecard adalah alat yang menyediakan pengukuran komprehensif bagi para manajer tentang bagaimana organisasi mencapai kemajuan lewat sasaran-sasaran strategisnya. Balanced scorecard diperkenalkan pertama kali oleh Kaplan dan Norton pada tahun 1992 dalam artikel di Harvard Business Review yang berjudul The Balanced Scorecard ­Measures That Drives Performance. Dalam artikel ini disebutkan bahwa balanced scorecard merupakan suatu alat akuntansi manajemen yang digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan yang ditinjau dari perspektif finansial (financial perspective) dan perspektif non finansial (Customer Perspective, Internal Business Process Perspective, dan Learning and Growth Perspective) secara seimbang.
Di dalam artikel yang berjudul Putting The Balanced Scorecard To Work, Kaplan dan Norton (1993) mengungkapkan bahwa balanced scorecard lebih dari sekedar sistem pengukuran kinerja perusahaan, namun balanced scorecard juga dapat digunakan untuk mengkomunikasikan dan menggabungkan sistem pengukuran tersebut dengan strategi perusahaan. Balanced scorecard digunakan sebagai alat untuk membantu perusahaan dalam menerjemahkan dan mengimplementasikan strateginya.
Dalam perkembangan selanjutnya pada tahun 1996, Kaplan dan Norton menulis artikel yang ketiga mengenai balanced scorecard di Harvard Business Review yang berjudul Using the Balanced Scorecard as a Strategic Management System. Di dalam artikel ini disebutkan bahwa balanced scorecard sebagai alat akuntansi manajemen telah berkembang dari suatu sistem pengukuran kinerja menjadi suatu sistem manajemen strategi. Hal ini berarti perusahaan yang inovatif dapat menggunakan balanced scorecard tidak hanya untuk menjelaskan dan mengkomunikasikan strategi, melainkan juga untuk mengelola strateginya dalam jangka panjang.
Menurut Johannes (2005), balanced scorecard menjadi demikian populer karena fungsinya sebagai strategi korporasi, lebih dari sekedar pengukur kinerja semata. Keunggulannya dibanding dengan konsep pengukuran lain adalah keterkaitan antara empat perspektif balanced scorecard itu sendiri. Dengan menggunakan data sekunder terkini, kajian dilakukan untuk menjelaskan bagaimana pengalaman korporasi menggunakan balanced scorecard sehingga mampu memberikan manfaat lebih dari ukuran kinerja lainnya. Bahkan, balanced scorecard oleh berbagai akademisi diintegrasikan terhadap konsep lain untuk memperoleh alat yang sinergi dalam pengembangan korporasi.
Darwanto (2003) menyatakan bahwa balanced scorecard yang semula merupakan aktivitas tersendiri yang terkait dengan penentuan sasaran, kemudian diintegrasikan dengan sistem manajemen strategis. Balanced scorecard bahkan dikembangkan lebih lanjut sebagai sarana untuk berkomunikasi dari berbagai unit dalam suatu organisasi. Balanced scorecard juga dikembangkan sebagai alat bagi organisasi untuk berfokus pada strategi.
2.2.2. Pengertian        Balanced Scorecard Dalam Organisasi Publik
Balanced scorecard merupakan suatu sistem pengukuran kinerja organisasi publik yang seimbang dan komprehensif. Kata “Balanced” (seimbang) di dalam balanced scorecard 
2.2.3. Empat   Perspektif Balanced Scorecard
Perspektif finansial masih tetap dipertahankan dalam balanced scorecard bersama dengan ketiga perspektif non finansial dalam balanced scorecard meliputi tiga hal, yaitu customer and stakeholders perspective (sebagai pengganti customers perspective dalam balanced scorecard organisasi bisnis), internal business process perspective, dan employess and organization capacity (sebagai pengganti learning and growth perspective dalam balanced scorecard organisasi bisnis). Ketiga perspektif ini merupakan ukuran-ukuran operasional yang dapat dianggap mewakili faktor­faktor pemicu kinerja keuangan organisasi publik di masa mendatang.
Dalam menghadapi kompleksitas mengelola suatu organisasi dewasa ini, seorang pimpinan membutuhkan kemampuan untuk dapat melihat kinerja organisasi publik yang dipimpinnya dari berbagai sudut pandang secara bersamaan. Balanced scorecard sebagai alat akuntansi manajemen memungkinkan para manajer untuk melihat kinerja organisasi publik dari empat perspektif penting secara bersamaan.
Balanced scorecard menyediakan jawaban atas empat pertanyaan yang mendasar yaitu:
1                    How do customers see us? (Customer and stakeholders Perspective)
2                    How do we look to shareholders? (Financial Perspective)
3                    Can we continue to improve and create value? (Employee and organisation capacity Perspective)
4                    What must we excel at? (Internal Business Process Perspective)

Tujuan dan pengukuran dalam balanced scorecard lebih dari hanya sekedar sekumpulan pengukuran kinerja finansial dan non finansial, melainkan merupakan suatu pengukuran yang diturunkan dari suatu proses top-down yang dihasilkan dari misi dan strategi organisasi publik. Balanced scorecard harus dapat menerjemahkan misi dan strategi dari organisasi publik ke dalam suatu tujuan dan pengukuran yang nyata dan seimbang.
2.2.4. Perspektif Keuangan: Financial Perspective: How Do We Look To Stakeholders?
Pengukuran kinerja organisasi publik dari perspektif finansial di dalam balanced scorecard masih tetap dipertahankan, karena pengukuran kinerja keuangan sangat berharga di dalam menyarikan konsekuensi-konsekuensi ekonomis yang dapat diukur dari tindakan-tindakan yang telah diambil oleh organisasi publik. Pengukuran kinerja keuangan menunjukkan apakah strategi suatu organisasi publik, penerapan, dan pelaksanaannya telah dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi perbaikan­perbaikan yang mendasar (bottom-line improvement). Selain itu, perspektif finansial dalam organisasi publik bertujuan untuk memberikan pelayanan yang efektif pada masyarakat dengan biaya jasa yang murah.
2.2.5. Perspektif Konsumen: Customer Perspective: How Do Customers See Us?
Organisasi publik harus memiliki orientasi untuk mengutamakan kesejahteraan dan kepuasan customer dan stakeholdernya, dalam hal ini masyarakat. Oleh karena itu, balanced scorecard menuntut para pimpinan untuk dapat menerjemahkan misi organisasi publik mengenai pelayanan kepada masyarakat secara umum ke dalam suatu pengukuran spesifik yang mencerminkan faktor-faktor penting bagi masyarakat.
Perhatian masyarakat terhadap perusahaan cenderung tertuju pada empat faktor penting yaitu time, quality, performance and service, dan cost. Lead time mengukur waktu yang dibutuhkan oleh organisasi publik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Quality mengukur tingkat kegagalan pelayanan yang dirasakan dan dinilai sendiri oleh masyarakat. Quality juga dapat digunakan umtuk mengukur on-time delivery, yaitu keakurasian dari perkiraan penyelesaian layanan. Kombinasi performance and service mengukur bagaimana pelayanan yang diberikan oleh organisasi publik memberi kontribusi dalam penciptaan nilai bagi masyarakat. Untuk memposisikan balanced scorecard di dalam lingkungan kerja, masyarakat harus menyatakan tujuan (goals) bagi time, quality, dan performance and service dan kemudian menerjemahkan tujuan tersebut ke dalam suatu sistem pengukuran yang spesifik.
2.2.6. Perspektif Proses Bisnis Internal:
Internal Business Process Perspective: What Must We Excel at?
Pengukuran internal dalam balanced scorecard berasal dari proses bisnis yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap kepuasan masyarakat (customer satisfaction) yaitu misalnya faktor-faktor yang mempengaruhi cycle time, quality, employee skills, dan productivity. Dalam Internal Business Process Perspective ini, organisasi publik dituntut untuk dapat mengidentifikasi proses bisnis internal mana yang penting dan mengandung nilai-nilai yang diinginkan oleh pelanggan, yang harus dilakukan dengan sebaik­baiknya oleh organisasi publik.
Di dalam perspektif ini balanced scorecard akan memasukkan proses inovasi yaitu suatu proses perancangan dan pengembangan produk, dimana organisasi publik akan dimotivasi untuk mempunyai kemampuan bersaing jangka panjang dalam rangka untuk memuaskan masyarakat di masa mendatang. Setelah berinovasi, organisasi publik harus melakukan perbaikan pada proses operasionalnya. Proses terakhir yang harus dilakukan oleh organisasi publik untuk memperbaiki proses bisnis internalnya adalah mengukur proses pelayanannya.
2.2.7. Perspektif Kapasitas Organisasi dan Staf: Employee and Organization Capacity Perspective: Can We Continue to Improve and Create Value?
Di dalam pengukuran yang berdasar pada perspektif pelanggan dan perspektif proses bisnis internal, balanced scorecard mengidentifikasi parameter-parameter yang dianggap paling penting oleh organisasi publik untuk dapat melayani masyarakat dengan baik. Tetapi sasaran untuk mencapai kepuasan masyarakat tersebut terus menerus berubah. Di dalam perspektif ini, organisasi publik memandang tiga faktor utama yaitu aparat, sistem, dan prosedur organisasi. Ketiga faktor ini yang memegang peranan dalam pertumbuhan jangka panjang perusahaan. Oleh sebab itu organisasi publik harus melakukan investasi dalam ketiga faktor di atas untuk menjamin tercapainya tujuan organisasi publik.
2.2.8. Keunggulan dan Manfaat Balanced Scorecard
Pengukuran kinerja suatu organisasi dapat dilakukan dengan berbagai macam metode, diantaranya adalah Total Quality Management (TQM), Six Sigma, rasio-rasio keuangan, dan sebagainya. Masing­masing metode tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan masing­masing.
TQM juga diterjemahkan sebagai pendekatan yang berorientasi kepada pelanggan dengan menekankan kepada suatu perubahan manajemen yang sistematik dan perbaikan terus menerus terhadap proses, produk, dan pelayanan suatu organisasi. Proses TQM memiliki input yang spesifik, yaitu keinginan, kebutuhan, dan harapan pelanggan serta memproses input dalam organisasi untuk memproduksi barang atau jasa yang pada gilirannya akan memberikan kepuasan kepada pelanggan (Natha, 2008). Implementasi dari elemen-elemen TQM memiliki korelasi yang kuat dengan faktor-faktor kinerja manajemen mutu. Tujuan utama Total Quality Management adalah perbaikan mutu pelayanan secara terus-menerus.
Six sigma merupakan suatu sistem yang komprehensif dan fleksibel untuk mencapai, mempertahankan, dan memaksimalkan keksuksesan bisnis (Niviari, 2008 ). Dalam six sigma, akan diukur sejauh mana penyimpangan suatu proses produksi dari kesempurnaan kualitas. Tujuan akhir dari six sigma adalah untuk meningkatkan kepuasan pelanggan (Yuli, 2006).
Rasio keuangan adalah alat yang digunakan untuk memproleh gambaran tentang perkembangan finansial dan kinerja perusahaan. Rasio tersebut diperoleh dari hasil analisis terhadap laporan keuangan, yang menyangkut pemeriksaaan keterkaitan angka–angka dalam laporan keuangan dan trend angka
– angka dalam beberapa periode operasi perusahaan.
Rasio keuangan dapat dibagi kedalam tiga bentuk umum yang sering dipergunakan yaitu : Rasio Likuiditas, Rasio Solvabilitas, dan Rasio Rentabilitas. Ratio Likuiditas merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajian finansial jangka pendeknya, seperti Current Ratio, Quick Ratio, dan Cash Ratio. Ratio Solvabilitas mengukur perbandingan dana yang disediakan oleh pemiliknya dengan dana yang dipinjam dari kreditur perusahaan tersebut. Rasio Solvabilitas meliputi Total Debt to Equity Ratio dan Total Debt to Total Asset Ratio. Ratio Rentabilitas adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba. Yang termasuk dalam ratio ini adalah Gross Profit Margin, Net Profit Margin, Earning Power of Total investment, dan Return on Equity (Helmi, 2009).
Dari kesemua metode yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja di atas, balanced scorecard dinilai paling cocok diterapkan dalam organisasi publik. Hal ini disebabkan karena disamping untuk menilai efisiensi dan efektivitas manajemen, balanced scorecard juga merupakan aktivitas untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan implementasi visi, misi, tujuan dan strategi organisasi.
Balanced scorecard juga unggul bila dibanding dengan metode pengukuran kinerja yang lain karena mampu menyeimbangkan perspektif finansial dan non finansial.
Balanced scorecard dimanfaatkan dalam setiap tahap sistem manajemen strategik, sejak tahap perumusan strategi sampai tahap implementasi dan pemantauan (Mulyadi, 2001). Pada tahap perumusan strategi (strategy formulation), Balanced Scorecard digunakan untuk memperluas cakrawala dalam menafsirkan hasil penginderaan terhadap trend perubahan lingkungan makro dan lingkungan industri ke perspektif yang lebih luas. Pada tahap perencanaan strategik (strategic planning) Balanced Scorecard digunakan untuk menerjemahkan strategi ke dalam sasaran­sasaran stratejik yang komprehensif, koheran, seimbang dan terukur. Pada tahap penyusunan program (programming), Balanced Scorecard digunakan untuk menjabarkan inisiatif strategik di empat perspektif ke dalam program. Pada tahap penyusunan anggaran (budgeting) Balanced Scorecard digunakan untuk menjabarkan program ke dalam anggaran sehingga anggaran yang dihasilkan juga bersifat komprehensif.
2.3. Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian mengenai balanced scorecard telah dilakukan untuk mengukur kinerja perusahaan akan dibahas di bawah ini:
Penelitian yang dilakukan oleh Marista (2002) mengenai Analisis Penelitian Kinerja Menggunakan Balanced Scorecard (Studi Kasus pada PT. Andalan Pasific Samudera Semarang) memperlihatkan hasil dalam perspektif keuangan terdapat peningkatan profit margin dan rasio operasi, namun dalam ROI mengalami penurunan. Dalam perspektif konsumen terdapat peningkatan retensi konsumen, akuisisi konsumen, profitabilitas konsumen, kepuasan konsumen. Dalam perspektif proses bisnis internal terdapat peningkatan cycle effectivesness, dan layanan purna jual. Dalam perspektif pertumbuhan dan pembelajaran terdapat peningkatan perputaran karyawan, dan kemampuan sistem informasi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sulastri (2003), pada perspektif pelanggan dan pertumbuhan, kinerja rumah sakit dinilai baik karena rumah sakit mampu untuk mempertahankan keberadaan karyawannya sehingga tingkat retensi karyawan menjadi rendah. Rumah sakit juga sangat memperhatikan kapabilitas karyawan sehingga rumah sakit selalu berusaha untuk meningkatkan
mendukung kemampuan mereka dalam memberikan pelayanan kepada pasien, baik yang diadakan oleh pihak rumah sakit maupun pihak luar rumah sakit. Pada perspektif pelanggan, kinerja rumah sakit dikatakan kurang baik karena rumah sakit belum mampu meningkatnya akuisisi pasien setiap tahunnya. Rumah sakit masih sering mendapat keluhan atas jasa dan pelayanan yang diberikan, namun demikian jumlah keluhan terus menurun karena rumah sakit selalu berusaha untuk segera menanggapi dan mengambil tindakan yang diperlukan. Pada perspektif proses bisnis internal, kinerja rumah sakit dikatakan baik karena rumah sakit mampu untuk melakukan pengembangan pelayanan baru yang akan meningkatkan pendapatan dan rumah sakit mampu untuk terus menekan jumlah keluhan atas pelayanan yang diberikan dengan melakukan pelayanan secepat mungkin. Pada perspektif keuangan, kinerja rumah sakit kurang baik. Hal ini ditunjukkan dari ROI yang terus menurun dan biaya yang selalu mengalami peningkatan, meskipun pendapatan rumah sakit juga terus meningkat. Penerapan Balanced Scorecard dimungkinkan karena rumah sakit telah memformulasikan visi, misi dan strateginya dan hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja rumah sakit dikatakan cukup baik dengan menggunakan Balanced Scorecard.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Andranik (2008) mengenai penerapan Balanced Scorecard sebagai Tolok Ukur Pengukuran Kinerja pada Rumah Sakit Umum Daerah Jenderal Ahmad Yani Kota Metro Lampung menunjukkan bahwa instrumen kinerja yang ada dalam Balanced Scorecard dapat diterapkan dalam rumah sakit, khususnya pada rumah sakit pemerintah. Hasil analisis kinerja yang dinilai pada keempat perspektif melalui pendekatan konsep Balanced Scorecard di RSUD Ahmad Yani Kota Metro pada tahun 2006-2007 menunjukkan bahwa beberapa perspektif menunjukkan kinerja yang baik, hal tersebut terlihat dari hasil yang dicapai oleh perspektif tersebut. Penelitian dilakukan dengan membandingkan data sekunder yang ada seperti data realisasi keuangan, data pengukuran kinerja tradisional yang kemudian dibandingkan dengan target yang sudah ditentukan sebelumnya kemudian data-data tersebut dikelompokkan ke dalam perspektif yang ada dan dicari hubungan dari setiap indikator tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Rachmawati et al (2006) menyimpulkan bahwa pengukuran kinerja berguna untuk penilaian atas keberhasilan/kegagalan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan misi dan tujuan organisasi. Bagi organisasi publik, pengukuran kinerja mencakup penetapan indikator kinerja dan penilaian kinerja. Selanjutnya dilakukan analisis kinerja dengan menginterpretasikan lebih lanjut hasil penilaian kinerja yang menggambarkan keberhasilan/ kegagalan instansi pemerintah dalam melaksanakan misi dan tujuannya.


Darwanto (2009) menyatakan bahwa balanced scorecard membuat organisasi, termasuk organisasi publik, berfokus pada strategi, karena penerapan balanced scorecard memungkinkan semua unit dalam organisasi memberikan kontribusi secara terukur pada pelaksanan strategi organisasi. Balanced scorecard seyogyanya dikembangkan oleh setiap organisasi pemerintah untuk mempertajam perannya dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, sehingga membedakannya dengan organisasi pemerintah lain. Tugas pengawasan oleh DPR terhadap pemerintah akan dipermudah jika instansi pemerintah memiliki strategi berbasis balanced scorecard. Perumusan balanced scorecard bukan suatu pekerjaan sekali jadi, melainkan tugas yang terus menerus, dengan setiap saat ada proses penyempurnaan dan yang terpenting adalah ia dimanfaatkan untuk mencapai visi dan misi organisasi.
3. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, metode yang dipergunakan adalah metode penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus (case study). Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang berdasarkan pada suatu fenomena sosial atau masalah-masalah dalam kehidupan manusia. Karena itu, data kualitatif merupakan data deskriptif dan kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian kualitatif sangat bergantung pada logika dan teknik analisa data penelitinya.
Miles dan Huberman (1994) dalam Berg (2004) menyebutkan tiga pendekatan utama untuk melakukan analisa data kualitatif. Pendekatan yang pertama adalah interpretative approaches, yaitu pendekatan analisa kualitatif yang mengubah serangkaian aktivitas manusia ke dalam kata-kata terlebih dahulu sebelum data tersebut diinterpretasikan. Pendekatan kedua adalah social anthropological approaches yang mengumpulkan beragam rangkaian data lapangan atau aktivitas studi kasus untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang objek yang diteliti. Sedangkan pendekatan ketiga adalah colaborative social research approaches dimana peneliti bekerja sama dengan subjek penelitiannya dalam suatu setting tertentu untuk mengamati tindakan/perubahan dari subjek tersebut. Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan pertama.
Studi kasus adalah studi untuk mengeksplorasi suatu (atau beberapa) struktur sistem atau kasus secara detail. Sukoharsono (2006) mengemukakan bahwa studi kasus melibatkan “in depth data collection invoving multiple resources of information rich in contest”. Studi kasus merekomendasikan bahwa peneliti harus mempertimbangkan tipikal kasus yang bagaimana yang akan diteliti sehingga menarik dan bermanfaat. Kasus dapat dipilih secara tunggal ataupun kolektif, multi-sites atau within-sites dan dapat difokuskan kepada sebuah kasus atau isu (intrinsic atau instrumental).
Dengan dipilihnya metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus, maka penelitian ini hendak menganalisa kinerja Badan Diklat dengan menggunakan balanced scorecard.
3.2. Objek Penelitian
Objek dari penelitian ini adalah Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badan Diklat) Provinsi Jawa Timur. Pemilihan objek penelitian ini disebabkan karena Badan Diklat merupakan “guru” yang memberikan pengajaran dan pelatihan bagi organisasi-organisasi publik yang lain. Oleh karena itu, Badan Diklat harus terlebih dahulu memiliki kinerja yang baik agar layak menjadi lembaga percontohan.
Selama ini kinerja Badan Diklat, khususnya di Provinsi Jawa Timur, diukur dengan menggunakan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). LAKIP adalah dokumen pelaporan yang memberikan informasi mengenai kinerja yang telah dicapai yang diperhitungkan atas dasar rencana kinerja yang telah disusun sebelumnya. Tujuan disusunnya LAKIP adalah untuk meningkatkan pelaksanaan pemerintahan yang lebih berdaya guna, berhasil guna, dan bersih. LAKIP merupakan wujud pertanggungjawaban dalam mencapai misi dan tujuan instansi pemerintah (Astri, 2009).
Pada penelitian ini, kinerja Badan Diklat akan diukur dengan menggunakan balanced scorecard. Hasil pengukuran tersebut akan digunakan sebagai alternatif pengukuran kinerja. Selanjutnya akan diambil kesimpulan.
Kinerja Badan Diklat yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah kinerja pada tahun 2009. Tahun 2009 dipilih sebagai tahun penelitian karena periode ini merupakan periode yang terbaru, sehingga diharapkan hasil penelitian yang diperoleh lebih akurat.
3.3. Aspek kinerja Yang Dianalisis
Aspek kinerja yang dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
3.3.1. Customer and Stakeholder Perspective
Aspek ini digunakan untuk mengetahui apakah Badan Diklat Provinsi Jawa Timur dapat memenuhi semua kebutuhan CPNS (customer) dan PNS (customer) yang ada di masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Badan Diklat Provinsi Jawa Timur harus dapat menjawab pertanyaan: Apakah Badan Diklat telah dapat menyediakan apa yang diinginkan oleh SKPD?
Untuk mengetahui kebutuhan dan keinginan tiap SKPD, dilakukan wawancara dengan pimpinan tiap-tiap SKPD yang ada di Provinsi Jawa Timur dan dokumentasi laporan tentang hal-hal yang terkait dengan aspek customer and stakeholder. Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam wawancara tersebut adalah:
1.      Materi Diklat apa saja yang sudah diberikan oleh Badan Diklat, dan apakah materi Diklat tersebut sudah sesuai dengan harapan Customer ?
2.      Permasalah apa yang selama ini dialami oleh SKPD berkaitan dengan Diklat CPNS/PNS maupun Diklat Pimpinan?
3.      Apa harapan pimpinan SKPD terhadap CPNS maupun PNS yang telah mengikuti DIklat?
4.      Seberapa besar tingkat kepuasan peserta Diklata setelah mengikuti Diklat?

3.3.2. Financial Perspective
Perspektif finansial berfokus pada pengelolaan anggaran organisasi publik secara akuntabel. Oleh karena itu, Kepala Diklat harus berfokus pada bagaimana cara memenuhi kebutuhan pelayanan Diklat secara efisien. Badan Diklat Provinsi Jawa Timur harus dapat menjawab pertanyaan: Apakah pelayanan yang diberikan oleh Badan Diklat telah dilaksanakan dengan biaya yang rendah?
Untuk melakukan evaluasi apakah pelayanan yang diberikan oleh Badan Diklat telah dilakukan dengan biaya yang rendah, maka dilakukan analisis terhadap laporan keuangan Badan Diklat Provinsi Jawa Timur tahun 2009. Evaluasi yang dilakukan meliputi:
1.      Apakah biaya yang dikeluarkan untuk Diklat telah sesuai dengan anggaran yang tersedia dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA)?
2.      Apakah tingkat Efisiensi dan Efektifitas Bidang Keuangan sudaha dicapai ?
3.      Dengan menggunakan analisis vertikal bagaimana perbedaan kinerja keuangan antar periode tahun 2007, 2008, dan 2009 yang telah dilaksanakan oleh Badan Diklat ?

3.3.3. Employees and Organization Capacity Perspective
Perspektif ini berfokus untuk mengembangkan kapasitas karyawan dan organisasi. Kemampuan organisasi untuk meningkatkan dan memenuhi permintaan masyarakat terkait secara langsung dengan kemampuan karyawan untuk memenuhi permintaan itu. Oleh karena itu, Kepala Diklat harus menjawab pertanyaan: Apakah Badan Diklat menggunakan metode, teknologi informasi, dan sistem kerja yang sesuai dengan kemajuan jaman dan lingkup pekerjaannya serta melakukan pelatihan

pengembangan kapasitas karyawan dan organisasi yang telah dilakukan oleh Badan Diklat Provinsi Jawa Timur, maka dilakukan wawancara dengan pimpinan dan pegawai Badan Diklat Provinsi Jawa TImur dan menganalisis dokumen­dokumen yang terkait dengan aspek employees and organization capacity. Rerangka pertanyaan yang diajukan antara lain:
1.      Apakah teknologi informasi yang digunakan di Badan Diklat Provinsi telah sesuai dengan kemajuan jaman?
2.      Seberapa besar persentase hari kerja yang hilang karena karyawan absen dalam pekerjaannya ?
3.      Seberapa besar tingkat perputaran (turn over) karyawan yang terjadi di Badan Diklat dan bagaimana perbandingannya dari tahun 2007, 2008, dan 2009?

3.3.4. Internal Bussiness Process Perspective
Pengukuran perspektif proses bisnis internal dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator sebagai berikut:berfokus pada tujuan untuk menyediakan pelayanan secara kompetitif. Untuk itu, Kepala Diklat harus berfokus pada tugas penting yang memungkinkan Badan Diklat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Badan Diklat Provinsi Jawa Timur harus menjawab pertanyaan: Dapatkah Badan Diklat meningkatkan pelayanan dengan mengubah cara pelayanan itu disampaikan?
Untuk menilai sejauh mana pengembangan proses bisnis internal yang telah dilakukan oleh Badan Diklat Provinsi Jawa Timur, maka dilakukan wawancara dengan pimpinan dan pegawai Badan Diklat Provinsi Jawa Timur dan menganalisis dokumen-dokumen yang terkait dengan aspek internal bussiness process. Pertanyaan yang diajukan antara lain:
1.      Apakah pencapaian sasaran Badan Diklat yang telah ditetapkan di dalam Renstra (2009-2014) untuk tahun 2009 sudah sesuai dengan yang direncanakan ?
2.      Apakah realisasi peserta kegiatan Bidang Diklat Kepemimpinan, Bidang Diklat Teknis, dan Bidang Diklat Fungsional yang merupakan bidang kegiatan utama dari Badan Diklat Provinsi Jawa Timur sudah sesuai dengan yang ditargetkan ?
3.      Bagaimana kinerja Bidang Pengendalian dan Evaluasi yang telah dilaksanakan oleh Badan Diklat, dan kegiatan apa saja yang dapat direalisasikan ?

3.4. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini, jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data penelitian yang diperoleh langsung dari sumber asli (tidak melalui media perantara). Dalam penelitian ini data primer yang dikumpulkan diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan kepada pimpinan dan karyawan Badan Diklat serta pimpinan SKPD.
Data sekunder merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung melalui media perantara atau diperoleh dan dicatat oleh pihak lain. Data sekunder ini berupa dokumen tertulis, laporan­laporan, dan artikel-artikel yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti, seperti laporan keuangan, standar operasional dan prosedur. Data sekunder dalam penelitian ini adalah Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2009, Laporan Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan Tahun 2009, serta Laporan Keuangan Badan Pendidikan dan Pelatihan Tahun 2009.
3.5. Metode Analisis Data
Analisis data menurut Moleong (2002: 190), merupakan suatu proses mengorganisasikan dan memprioritaskan urutan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema serta dapat dirumuskan permasalahan dan solusi yang memadai untuk manajemen Diklat.
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan komparatif yaitu dengan membandingkan antara pengukuran kinerja yang selama ini dilakukan / digunakan oleh Badan Diklat Provinsi Jawa Timur dengan pengukuran kinerja berdasarkan Balanced Scorecard (bedasarkan hasil wawancara dengan kepala SKPD) yang dinyatakan dengan skor total. Besarnya skor total yang diperoleh masing-masing pada kedua pengukuran kinerja tersebut kemudian dibandingkan. Pengukuran kinerja dengan skor lebih besar menunjukkan bahwa pengukuran tersebut lebih tepat dilakukan dan dapat dijadikan sebagai rekomendasi alat pengukuran yang dapat diterapkan oleh Badan Diklat Provinsi Jawa Timur di waktu yang akan datang.
4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Analisis dan Pembahasan
4.1.1. Masalah
Masalah yang dihadapi Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Jawa Timur yaitu dalam mengukur kinerja tidak menggunakan Balance Scorecard. Seperti yang dapat dilihat dari uraian diatas pengukuran kinerja selama ini yang digunakan oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Jawa Timur dilihat dari aspek keuangan dan non keuangan namun tidak menggunakan ukuran-ukuran kinerja yang ada di Balanced Scorecard sehingga ukuran kinerja tersebut terasa belum lengkap dan kurang dapat diketahuinya aspek-aspek kinerja dari
dalam mengukur kinerja yaitu dengan melihat realisasi anggaran. Berdasarkan DPA-Perubahan APBD Badan Diklat Provinsi Jawa Timur Tahun Anggaran 2009, jumlah alokasi anggaran belanjanya sebesar Rp.52.264.562.750,-. yang terdiri dari anggaran APBD Murni sebesar Rp.45.133.005.000,-dan tambahan anggaran PAPBD 2009 sebesar Rp.7.131.557.750,-. Adapun realisasi penyerapan keuangan sampai dengan 31 Desember 2009 adalah sebesar Rp.49.025.426.860,00 atau sebesar 93,80% dari jumlah APBD Badan Diklat Provinsi Jawa Timur tahun Anggaran 2009.
Disamping itu pengukuran kinerja yang digunakan dilihat dari Kesekretariatan, Bidang Diklat Kepemimpinan, Bidang Diklat Teknis, Bidang Diklat Fungsional serta Bidang Pengendalian dan Evaluasi selama ini sudah dilaksanakan oleh Badan Diklat Provinsi Jawa Timur dengan uraian sebagai berikut:
1. Kesekretariatan Bidang ini melaksanakan kegiatan dan sub-sub kegiatan yang mencakup penyusunan program kegiatan kediklatan, pengelolaan sarana, prasarana dan sumberdaya manusia kediklatan, serta pengelolaan keuangannya dengan melaporkan uraian kegiatan dan sub-sub kegiatannya kemudian juga melihat output – outcame dengan uraian deskriptif yang kurang tajam karena diuraikan secara kualitatif namun demikian sudah dapat dianggap memadai.

1.      Bidang Diklat Kepemimpinan Bidang ini pada intinya melaksanakan 3 (tiga) kegiatan utama kediklatan yaitu Diklat Kepemimpinan Jabatan Struktural, Diklat Prajabatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan Diklat Kepemimpinan terkait lainnya. Realisasi kegiatan Bidang Diklat Kepemimpinan telah disampaikan, namun nampak belum ada kolum selisih antara target dan realisasinya sehingga belum dapat diketahui berapa selisih antara target dan realisasinya serta kegiatan mana yang selisihnya paling banyak dan yang paling sedikit.
2.      Bidang Diklat Teknis Bidang ini pada prinsipnya melaksanakan kegiatan dan sub-sub kegiatan kediklatan yang substansinya bersifat teknis guna menunjang kebutuhan peningkatan ilmu pengetahuan dan ketrampilan teknis bagi aparatur pemerintah pada masing­masing SKPD di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan hasil target (peserta) 1710 orang dan realisasi (alumni) 1671 orang, nampak realisasi yang jumlahnya menurun namun, tidak dijelaskan berapa prosentase tingkat penurunan atau kenaikan dari setiap kegiatan sehingga analisis pengukuran kinerja masih belum lengkap dan kurang tajam.
3.      Bidang Diklat Fungsional Bidang ini pada intinya melaksanakan kegiatan kediklatan untuk jenis dan jenjang jabatan fungsional yang sudah maupun yang akan ada pada masing­masing SKPD di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan target (peserta) 1370 orang dan

realisasi (alumni) 1361 orang, nampak realisasi yang jumlahnya menurun namun tidak dijelaskan berapa prosentase tingkat penurunan atau kenaikan dari setiap kegiatan sehingga analisis pengukuran kinerja masih belum lengkap dan kurang tajam.
5. Bidang Pengendalian dan Evaluasi Bidang ini pada prinsipnya melaksanakan kegiatan kediklatan yang mencakup Analisis Manajemen Kediklatan, Penyusunan Kurikulum dan Modul, Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Diklat, Akreditasi dan Sertifikasi (ISO 9001:2000) hingga pengembangan SDM Widyaiswara. Hasilnya sudah dilaporkan secara kualitatif sehingga tidak dapat terukur secara kuantitatif.

4.1.2. Pemecahan Masalah
Untuk memecahkan permasalahan diatas maka dipandang perlu dilakukan pengukuran kinerja pada Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Jawa Timur dengan menggunakan Balanced Scorcard agar pengukuran kinerja menjadi lebih luas perspektifnya karena dilihat dari aspek keuangan dan non keuangan, disamping itu analisis yang selama ini sudah dilaksanakan akan terasa lebih rinci dan lebih mendalam lagi. Dalam bagian ini akan diuraikan bagaimana setiap perspektif balanced scorecard dapat diimplementasikan untuk mengukur kinerja pada Badan Diklat Provinsi Jawa Timur dengan melihat dari:
1                    Customer and Stakeholder Perspective.
2                    Financial Perspective
3                    Employees and Organization Capacity Perspective
4                    Internal Bussiness Process Perspective

1. Customer and Stakeholder Perspective
Badan Diklat Provinsi Jawa Timur harus mengetahui apakah Badan Diklat Provinsi Jawa Timur betul-betul memenuhi kebutuhan pelanggan. Mereka harus menjawab pertanyaan: Apakah Badan Diklat Provinsi Jawa Timur menyediakan apa yang diinginkan oleh pelanggan? 1) Materi Pelatihan
Materi yang dibutuhkan SKPD untuk setiap Diklat pada tahun 2009 dan pelaksanaannya pada tahun 2009 adalah sebagai berikut:
a) Materi Diklat Pra Jabatan (LPJ) berjumlah
15 materi dan dilaksanakan secara
keseluruhan (100%).
b) Materi Diklat Pendidikan dan Pelatihan
Pimpinan IV berjumlah 23 materi dan
dilaksanakan secara keseluruhan (100%).
c) Materi Diklat Pendidikan dan Pelatihan
Pimpinan III berjumlah 4 materi dan
dilaksanakan secara keseluruhan (100%).
d) Materi Diklat Pendidikan dan Pelatihan
Pimpinan II berjumlah 4 materi dan
dilaksanakan secara keseluruhan (100%).
e) Materi Diklat Teknis berjumlah 16 materi dan dapat dilaksanakan 14 (87,5%) dan belum dilaksanakan 2 (12,5%).
f) Materi Diklat Fungsional berjumlah 21 materi dan dapat dilaksanakan 14 (66,7%) dan belum dilaksanakan 7 (33,3%).
Berdasarkan hasil analisis Pelaksanaan Diklat Menurut Kebutuhan Customer (Pimpinan SKPD) maka ternyata tidak
semua kebutuhan Diklat yang diinginkan oleh SKPD-SPKD di Provinsi Jawa Timur dapat dilaksanakan oleh Badan Diklat Jawa Timur pada periode yang sama, dari hasil analisis untuk Diklat Fungsional ada materi 7 Diklat atau 33,5 % yang tidak dapat dipenuhi oleh Badan Diklat Provinsi Jawa Timur, dan Diklat Teknis terdapat 2 materi Diklat atau 12,5 % yang tidak dapat dilaksanakan oleh Badan Diklat Provinsi Jawa Timur.
2) Permasalah Diklat CPNS/PNS maupun Diklat Pimpinan
Beberapa pokok permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan pelaksanaan Diklat selama ini, yaitu: -Terbatasnya anggaran yang disediakan
dalam APBD untuk biaya Diklat
-Jumlah CPNS maupun Pejabat/Calon Pejabat Struktural yang memerlukan Diklat lebih banyak dari jumlah Diklat yang direncanakan sehingga terdapat beberapa kebutuhan Diklat yang tidak terpenuhi
-Kesibukan kerja dari calon Peserta Diklat dan padatnya jadwal yang harus dipenuhi oleh Badan Diklat membuat seringkali calon peserta Diklat tidak dapat mengikuti diklat yang sudah direncanakan.
-Terkadang terdapat program Diklat yang tidak dapat dilaksanakan akibat tidak tercapainya jumlah peserta minimal.
3) Harapan pimpinan SKPD terhadap CPNS maupun PNS yang telah mengikuti Diklat
Berdasarkan hasil analisis dari pelaksanaan tahun 2009 pencapaian sasaran meningkatnya kompetensi aparatur pemerintah baik kompetensi dasar maupun bidang sebesar 93,33% serta sasaran meningkatnya kontribusi hasil pendidikan dan pelatihan terhadap pelaksnaan tugas dan fungsi alumni sebesar 67,51%. Tercapai tidaknya kedua sasaran tersebut indikatornya adalah pemenuhan target peserta diklat yang merupakan kinerja pada level output.
4) Tingkat Kepuasan Peserta Diklat
Hasil survey dengan penyebaran kuesioner kepada peserta Pendidikan dan Pelatihan di Badan Diklat Provinsi Jawa Timur atas pelaksanaan Diklat di 3 kegiatan yaitu:
(a) Leadership Skill For Excellent Service
(b) Penyusunan Standar Pelayanan Publik Angkatan III
(c) Diklat Total Image Front Liner

Berdasarkan hasil analisis dari 3 (tiga) Pendidikan dan Pelatihan yang dilaksanakan Badan Diklat Provinsi Jawa Timur, dapat kita lihat bahwa dari 103 responden yang menyatakan pendapat tentang kesesuaian dengan harapan mereka, maka diperoleh hasil 56,31% peserta menyatakan sangat sesuai dengan harapan, 39,81% menyatakan sesuai, 2,97% menyatakan kurang sesuai, dan 0,91 % yang menyatakan tidak sesuai. Berarti persentase tertinggi dari peserta tersebut menyatakan bahwa pendidikan dan pelatihan yang diberikan sudah sesuai dengan harapan mereka yaitu sejumlah 56,30 %.
Untuk waktu pelaksanaan Diklat pada umumnya peserta hanya merasa cukup yaitu 50,49% menyatakan bahwa waktu pelaksanaan Diklat cukup, 34,95% menyatakan sangat cukup, 12, 62% menyatakan kurang lama, dan hanya 1,94% yang mentakan waktu pelaksanaan Diklat tersebut terlalu lama. Jadi pada umumnya para peserta Diklat memandang bahwa waktu yang diberikan dalam pelaksanaan Diklat dipandang cukup yaitu 50,49% atau sebanyak52 peserta dari total pesrta sebanyak 103 orang.
Dilihat dari penyelanggaraan Diklat yang telah dilakukan oleh Badan Diklat Provinsi Jawa Timur dari 103 orang peserta yang menyatakan Sangat baik sebanyak 26,21 %, yang menyatakan Cukup sebanyak 69,91 %, yang menyatakan Kurang Baik sebanyak 3,88%, dan yang menyatakan tidak baik tidak ada atau 0%. Untuk itu karena pada umumnya peserta Diklat pada umumnya yaitu 69,91 % hanya mentakan cukum baik atas penyelenggaraan Diklat yang dilakukan oleh Badan Diklat Provinsi Jawa Timur, maka perlu kiranya Badan Diklat Provinsi Jawa Timur untuk melihat kembali penyelenggaraan Diklatnya agar peserta bisa merasa sangat baik.
Dilihat dari dukungan terhadap tugas peserta, materi Diklat yang diberikan pada umumnya peserta menyatakan Sangat mendukung yaitu sebanyak 58,25 %, yang menyatakan cukup mendukung 38,84%, yang menyatakan Kurang mendukung 2,91% dan yang menyatakan tidak mendukung 0 %. Hal ini berarti materi­materi Diklat yang diberikan pada umumnya sudah sangat mendukung terhadap pelaksanaan tugas dari para peserta untuk itu perlu dipertahankan.
Dilihat dari manfaat bagi peserta, materi Diklat yang diberikan pada umumnya peserta menyatakan Sangat bermanfaat yaitu sebanyak 72,82%, yang menyatakan cukup bermanfaat 25,24%, yang menyatakan Kurang bermanfaat 0,97% dan yang menyatakan tidak bermanfaat 0,97 %. Hal ini berarti materi­materi Diklat yang diberikan pada umumnya sudah sangat bermanfaat bagi para peserta Diklat, untuk itu perlu dipertahankan.
Sedangkan jika dilihat dari 5 materi yang dapat diserap oleh peserta Diklat, dari 103 peserta Diklat menyatakan bahwa, materi Diklat yang diberikan pada umumnya peserta menyatakan Persentase materi yang dapat diserap 100% yaitu sebanyak 8,74%, yang menyatakan Persentase materi yang dapat diserap 75 % sebanyak 70,87%, yang menyatakan Persentase materi yang dapat diserap 50% sebanyak 18,4% dan yang menyatakan Persentase materi yang dapat diserap 25% sebanyak 1.94% Hal ini berarti persentase materi-materi Diklat yang dapat diserap oleh peserta Diklat pada umumnya hanya 75 % yang dapat diserap. Untuk itu perlu adanya perbaikan terhadap metode pembelajaran atas materi-materi Diklat tersebut agar persentase materi Diklat yang dapat diserap oleh peserta bisa lebih baik lagi.
2. Financial Perspective
Perspektif finansial berfokus pada pengelolaan keuangan organisasi publik secara akuntabel. Oleh karena itu, harus berfokus pada bagaimana cara memenuhi kebutuhan pelayanan Diklat secara efisien. Badan Diklat Provinsi Jawa Timur harus dapat menjawab pertanyaan: Apakah pelayanan yang diberikan oleh Badan Diklat telah dilaksanakan dengan biaya yang rendah? 1) Analisis Realisasi Anggaran
Berdasarkan DPA-Perubahan APBD Badan Diklat Provinsi Jawa Timur Tahun Anggaran 2009, jumlah alokasi anggaran belanjanya sebesar Rp. 52.264.562.750,-. yang terdiri dari anggaran APBD Murni sebesar Rp. 45.133.005.000,-dan tambahan anggaran PAPBD 2009 sebesar Rp. 7.131.557.750,-
Adapun realisasi penyerapan keuangan sampai dengan 31 Desember 2009 adalah sebesar Rp. 49.025.426.860,00 atau sebesar 93,80 % dari jumlah APBD Badan Diklat Provinsi Jawa Timur tahun Anggaran 2009. Jika dilihat dari realisasi keuangan DPA-PAPBD Badan Diklat Provinsi Jawa Timur Tahun Anggaran 2009 bedasarkan jenis Belanja nampak Belanja Tidak langsung Anggarannya sebesar Rp 8.699.180.000,-dan Realisasisnya sebesar Rp 7.928.095.313,-sehingga terdapat sisa Rp 771.084.687,-atau 8,86 %. Sementara jika dilihat dari Belanja Langsung Anggarannya berjumlah Rp 43.565.382.750,-dan realisasinya Rp 41.082.075.914,-sehingga terdapat sisa sebesar Rp 2.483.252.836,-atau sebesar 5,70% sehingga hal ini sudah terjadi penghematan (sisa) secara keseluruhan sebesar Rp 3.254.391.523, atau 6,23%.
2) Analisis Efisiensi dan Efektifitas Bidang Keuangan
Pencapaian terget kinerja keuangan dilakukan dengan cara membandingkan antara masukan (input) dengan sasaran (output) dalam satuan rupiah, kemudian dihitung tingkat efisiensi dan tingkat efektifitasnya. Efisiensi = (Output:Input) X 100% Efektifitas= (Efisiensi:Outcome) X 100% Hasil yang diperoleh kemudian dibandingkan antar tahun 2007, 2008, dan 2009.
Berdasarkan hasil analisis nampak bahwa tingkat efisiensi penggunaan anggaran pada Badan Diklat Jawa Timur yang paling tinggi terjadi pada tahun 2009 yaitu sebesar 94 % dan yang paling rendah terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 88%, sementara jika dilihat dari tingkat efektifitas dalam penggunaan anggaran maka yang paling efektif terjadi pada tahun 2009 yaitu sebesar 99% dan yang paling rendah tingkat efektifitasnya terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 92%. Hal ini berarti kinerja keuangan paling baik terjadi pada tahun 2009 karena dilihat dari tingkat efisiensi maupun efektifitasnya paling besar terjadi pada tahun 2009, untuk itu pencapaian kinerja ini harus dipertahankan. 3) Analisis Vertikal
Dengan menggunakan analisis vertikal dimana tahun 2007 yang dijadikan sebagai tahun dasar maka diperoleh hasil jumlah persentase anggaran pada tahun 2008 sebesar 84% dan pada tahun 2009 sebesar 87%. Hal ini berarti anggaran tahun 2007 paling besar dan yang paling rendah adalah anggaran tahun 2008. Sedangkan dilihat dari realisasi perbandingan tahun 2008 dengan tahun 2007 (tahun dasar) diperoleh hasil sebesar 83% dan untuk tahun 2009 diperoleh hasil sebesar 93%. Hal ini berarti realisasi pelaksanaan anggaran pada tahun 2007 paling besar menyusul tahun 2009 dan terakhir tahun 2008. Ini berarti pelaksanaan aktivitas dibidang keuangan yang ada di Badan Diklat Jawa Timur paling besar terjadi pada tahun 2007.
3. Employees and Organization Capacity Perspective
Perspektif ini berfokus untuk mengembangkan kapasitas karyawan dan organisasi. Kemampuan organisasi untuk meningkatkan dan memenuhi permintaan masyarakat terkait secara langsung dengan kemampuan karyawan untuk memenuhi permintaan itu. Oleh karena itu, Kepala Diklat harus menjawab pertanyaan: Apakah Badan Diklat menggunakan metode, teknologi informasi, dan sistem kerja yang sesuai dengan kemajuan jaman dan lingkup pekerjaannya serta melakukan pelatihan karyawan untuk kemajuan yang berkelanjutan? 1) Teknologi Informasi yang Digunakan
Berkaitan dengan teknologi informasi yang digunakan di Badan Diklat Provinsi Jawa Timur dipandang sudah memadai, hal ini terlihat dari peralatan kantor yang sudah menggunakan jaringan komputer dan penggunaan LCD dan komputer di setiap kelas tempat Pendidikan dan Pelatihan dilaksanakan. Demikian pula jika dilihat dalam daftar Asset Tetap di Neraca Badan Diklat Provinsi Jatim bahwa alat kantor dan alat studio dan alat komunikasi telah mengalami penambahan sebesar Rp 2.206.341.470 untuk alat kantor dan sebesar Rp 439.642.100,-untuk alat studio dan alat komunikasi. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan teknologi informasi senantiasa mengalami peningkatan. 2) Absensi Karyawan
Persentase ketidak hadiran karyawan di Badan Diklat Provinsi Jawa Timur relatif kecil. Jika ada karyawan yang tidak hadir, maka ketidakhadiran tersebut mengurangi jatah cuti dalam tahun yang bersangkutan. Dalam satu tahun karyawan mendapatkan cuti selama 12 hari. Jika izin karena sakit maka harus disertai dengan surat keterangan dari dokter. Dengan rendahnya tingkat ketidak hadiran menunjukkan produktivitas yang cukup tinggi. Persentase hari kerja yang hilang dihitung sebagai berikut:
Untuk tahun 2007= (40:230) X 100% = 17.39%
Untuk tahun 2008= (34:230) X 100% = 14,78%
Untuk tahun 2009= (32:230) X 100% = 13,91%. Tingkat absen (tidak hadir) karyawan paling banyak terjadi pada tahun 2007, Namun dari tahun ketahun ketidak hadiran karyawan semakin rendah persentasenya. Hal ini menunjukkan semakin lama karyawan semakin loyal dan disiplin. 3) Tingkat Perputaran Karyawan
Perputaran karyawan menunjukkan indikator moral karyawan, supervisi yang baik/buruk, pekerja puas atau tidak puas terhadap pekerjaannya, serta baik/buruknya kondisi kerja. Pergantian tenaga kerja yang tinggi seringkali merupakan petunjuk atas rendahnya moral, supervisi yang buruk, kerja yang tidak memuaskan serta kondisi kerja yang tidak menyenangkan dan sebagainya.
Berdasarkan hasil analisis, nampak perputaran karyawan paling tinggi terjadi pada tahun 2007 yaitu 5,85%, namun tidah jauh berbeda dibandingkan tahun 2008 sebesar 4,18% dan tahun 2009 sebesar 5,13%, dimana persentase ini termasuk rendah karena masih dibawah 6 % dan itupun kebanyakan dari mereka keluar karena pensiun.
4. Internal Bussiness Process Perspective.
Pengukuran perspektif proses bisnis internal dilakukan dengan menggunakan indikator berfokus pada tujuan untuk menyediakan pelayanan secara kompetitif. Untuk itu, Kepala Diklat harus berfokus pada tugas penting yang memungkinkan Badan Diklat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Badan Diklat Provinsi Jawa Timur harus menjawab pertanyaan: Dapatkah Badan Diklat meningkatkan pelayanan dengan mengubah cara pelayanan itu disampaikan?
1) Pengukuran Pencapaian Sasaran
Berdasarkan rencana kerja tahun 2009 yang telah ditetapkan oleh Badan Diklat Provinsi Jawa timur, dilakukan pengukuran kinerja sasaran dan pengukuran kinerja kegiatan sebagai bagian dari Internal Bussiness Process Perspective. Dari enam sasaran yang tertuang dalam Rencana Strategis Badan Diklat Provinsi Jawa Timur tahun 2009­2014, ada 2 sasaran yang tidak mencapai 100%, yaitu sasaran meningkatkannya kompetensi aparatur pemerintah baik kompetensi dasar maupun bidang sebesar 93,33%, serta sasaran meningkatnya kontribusi hasil pendidikan dan pelatihan terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi alumni sebesar 87,51 %.
Tercapai tidaknya kedua sasaran tersebut indikatornya adalah pemenuhan target peserta diklat yang merupakan kinerja pada level output. Sedangkan sasaran ketiga, yakni meningkatnya kontribusi pendidikan dan pelatihan terhadap kualitas sumber daya manusia pembangunan berbasis masyarakat tidak ada target pencapaiannya untuk tahun 2009. Sasaran ini dalam Rencana Strategis ditetapkan guna mengakomodasi kegiatan yang berbasis kemasyarakatan sesuai RPJMD Provinsi Jawa Timur, dimana untuk tahun 2009 belum direncanakan.
Sasaran keempat yakni meningkatnya kompetensi penyelengara pendidikan dan pelatihan diukur dari realisasi jenis kegiatan pendukung, dimana semua kegiatan dapat berjalan dengan cukup tertib sehingga pencapaiannya 95%. Demikian pula untuk sasaran meningkatnya kualitas program dan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan serta sasaran meningkatnya kualitas dan kapasitas sarana dan prasarana pendidikan dan pelatihan, dapat dicapai 95% dengan indikator berbagai jenis kegiatan sesuai dengan rencana.
2) Pengukuran Kinerja Kegiatan
Kegiatan inti Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Jawa Timur terdapat pada program peningkatan kapasitas sumberdaya aparatur yang meliputi Diklat Kepemimpinan, Diklat Teknis, dan Diklat Fungsional. Secara umum kinerja output mencapai 95% -100%, yang artinya peserta diklat yang direkrut untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan dapat memenuhi target kehadiran sebesar 95% ­100%.
3) Pengukuran Bidang Pengendalian dan Evaluasi
Untuk Bidang Pengendalian dan Evaluasi target dan realisasi dinyatakan secara deskriptif, dimana pokok-pokok hasil pengukuran kinerja kegiatan tesebut adalah sebagi berikut:
a. Untuk kegiatan dalam Manajemen Data Kediklatan telah terealisasi Database Alumni Diklat. Hal ini terwujud berkat peningkatan jumlah komputer dan perbaikan sistem informasi yang selalu dilakukan setiap tahunnya.
b. Dari kegiatan analisis kebutuhan diklat dapat terinventarisasi 85 % jenis diklat prioritas yang direpresentasikan di 5 Kabupaten/Kota di Jawa Timur.
c. Kegiatan penyusunan kurikulum dan silabi dapat menyelesaikan 20 jenis diklat dengan tingkat kepuasan peserta diklat yang cukup memadai.
d. Untuk bidang Pengendalian dan


e. Tersusunnya naskah akademik sebagai acuan penyusunan renstra diklat 2009­2014 dalam hal ini Penerbitan Grand Design Diklat Aparatur 2009 – 2014 telah dilakukan pada tahun 2009 ini.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan mengenai analisis kinerja Badan Diklat Provinsi Jawa Timur dengan menggunakan Balanced Scorecard, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Dalam Customer and Stakeholder Perspective yang berkaitan dengan pengukuran kinerja dari aspek materi Diklat maka ternyata tidak semua kebutuhan Diklat yang diinginkan oleh SKPD-SPKD di Provinsi Jawa Timur dapat dilaksanakan oleh Badan Diklat Jawa Timur. Hal ini dapat dilihat bahwa untuk Diklat Fungsional ada materi 7 Diklat atau 33,5 % yang tidak dapat dipenuhi oleh Badan Diklat Jawa Timur, dan Diklat Teknis terdapat 2 materi Diklat atau 12,5 % yang tidak dapat dilaksanakan oleh Badan Diklat Provinsi jawa Timur. Jika dilihat dari penyelanggaraan Diklat yang telah dilakukan oleh Badan Diklat Provinsi Jawa Timur dari 103 orang peserta yang menyatakan Sangat Baik sebanyak 26,21%, yang menyatakan Cukup sebanyak 69,91%, yang menyatakan Kurang Baik sebanyak 3,88%, dan yang menyatakan Tidak Baik tidak ada atau 0%. Untuk itu karena peserta Diklat pada umumnya yaitu 69,91% hanya mengatakan cukup baik atas penyelenggaraan Diklat yang dilakukan oleh Badan Diklat Provinsi Jawa Timur, maka perlu kiranya Badan Diklat Provinsi Jawa Timur untuk mengevaluasi kembali penyelenggaraan Diklatnya agar peserta bisa merasa penyelenggaraan Diklat tersebut Sangat Baik.
1.      Dalam Financial Perspective terjadi penghematan (sisa) anggaran secara keseluruhan sebesar Rp 3.254.391.523, atau 6,23%. Tingkat efisiensi penggunaan anggaran paling tinggi terjadi pada tahun 2009 yaitu sebesar 94% dan yang paling rendah terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 88%, sementara jika dilihat dari tingkat efektifitas dalam penggunaan anggaran maka yang paling efektif terjadi pada tahun 2009 yaitu sebesar 99% dan yang paling rendah tingkat efektifitasnya terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 92%. Hal ini berarti kinerja keuangan paling baik terjadi pada tahun 2009 karena dilihat dari tingkat efisiensi maupun efektifitasnya paling besar terjadi pada tahun 2009. Jika menggunakan analisis vertikal dimana tahun 2007 yang dijadikan sebagai tahun dasar maka diperoleh hasil jumlah persentase Anggaran pada tahun 2008 sebesar 84% dan pada tahun 2009 sebesar 87%.
2.      Dalam Employees and Organization Capacity Perspective, pengukuran kinerja dilihat dari pemanfaatan teknologi informasi nampak bahwa alat kantor, alat studio dan alat komunikasi telah mengalami penambahan. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan dalam pemanfaatan teknologi informasi yang ada. Jika dilihat dari perhitungan persentase hari kerja yang hilang (absensi karyawan) diperoleh hasil untuk tahun 2007 sebesar 17.39%; Untuk tahun 2008 sebesar 14,78% ; dan Untuk tahun 2009 sebesar 13,91%. Hal ini berarti tingkat absen karyawan paling banyak terjadi pada tahun 2007 Jika dilihat dari perhitungan perputaran karyawan diperoleh hasil pada Tahun 2007 sebasar 5,85%; Tahun 2008 sebesar 4,18%; dan Tahun 2009 sebesar 5,13%. Berarti perputaran karyawan paling tinggi terjadi pada



tahun 2007; paling rendah tahun 2008, dan ditengah terjadi pada tahun 2009. Persentase ini termasuk rendah karena masih dibawah 6 % dan itupun kebanyakan dari mereka keluar karena pensiun..
4. Dengan menggunkan pengukuran kinerja sasaran dan pengukuran kinerja kegiatan sebagai bagian dari Internal Bussiness Process Perspective, dari enam sasaran yang tertuang dalam Rencana Strategis Badan Diklat Provinsi Jawa Timur tahun 2009-2014, ada 2 sasaran yang tidak mencapai 100%, yaitu sasaran meningkatkannya kompetensi aparatur pemerintah baik kompetensi dasar maupun bidang sebesar 93,33%, serta sasaran meningkatnya kontribusi hasil pendidikan dan pelatihan terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi alumni sebesar 87,51%. Untuk kegiatan dalam Manajemen Data Kediklatan telah terealisasi Database Alumni Diklat. Hal ini terwujud berkat peningkatan jumlah komputer dan perbaikan sistem informasi yang selalu dilakukan setiap tahunnya.
5.2. Saran
Saran yang dapat diberikan pada Badan Pendidikan dan Pelatihan Jawa Timur adalah sebagai berikut:
1.      Sebaiknya analisa Balanced Scorecard digunakan untuk pengukuran kinerja Badan Pendidikan dan Pelatihan Jawa Timur. Hal ini dikarenakan Balanced Scorecard bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap Badan Pendidikan dan Pelatihan Jawa Timur untuk memberikan arah yang jelas dan strategi yang tepat dalam mencapai visi, misi, tujuan dan sasaranya.
2.      Agar Balanced Scorecard dapat mencapai kinerja yang optimal diperlukan adanya alat ukur yang dapat membantu Badan Diklat Provinsi Jawa Timur dalam meningkatkan kinerjanya baik secara finansial maupun non finansial, untuk itu pemanfaatan

teknologi informasi, dukungan sistem informasi manajemen dan database senantiasa harus selalu ditingkatkan.
3. Secara keseluruhan kinerja Badan Diklat Provinsi Jawa Timur sudah baik, namun dilihat dari analisis Balanced Scorecard masih ada yang perlu ditingkatkan misalnya dalam hal perlunya koordinasi yang lebih intensif antara provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memenuhi target peserta Diklat.


DAFTAR PUSTAKA
Anderson, L K., dan Horald M. Sollenberger, 1992. Managerial Accounting 8th Edition, South Western Publishing, Cincinnati, Ohio.
Anthony, Robert N. dan Vijay Govindarajan, 2005. Management Control Systems, 11th Edition, Salemba Empat, Jakarta.
Astri, W.W., 2009. Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah (LAKIP). http://gitacintanyawilis.blogspot.c om/2009/11/laporan-akuntabilitas­kinerja diakses pada Oktober 2010

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "ANALISIS KINERJA ORGANISASI SEKTOR PUBLIK MENGGUNAKAN BALANCED SCORECARD"