CINTA PERMEN KARET part I

.
.
CINTA PERMEN KARET (part 1)

"Woy, Nada!!!" Siang itu, sepulang dari latian karate, tiba-tiba aja Denny, temen seperguruan gue, manggil gue dari pintu depan. Gue mengambil botol minuman di tas gue sambil berjalan agak cepet.
"Apaan?" Tanya gue ketika gue udah di hadapan Denny.
"Nih!" Ujar Denny sambil memberikan sebungkus plastik hitam ke gue.
"Apaan nih?" Tanya gue penasaran.
"Brownies." Ujarnya.
"Brownies? Ya elah Den, kan lo tau gue nggak suka brownies."
"Yee.. Eh, cewek jadi-jadian... Ini bukan buat lo! Ge er aja lo!"
"Yeee.. Biasa aja dong. Pake ngledek segala lagi lo dasar cowok kontet! Ya udah terus ni brownies buat siapa?"
"Itu buat kakak lo, si Melodi. Dia kan suka banget tuh ama brownies."
"Jadi lo bawa brownies ini buat kak Melodi?"
"Iya..."
"Terus lo nyuruh gue gitu, buat ngasih ini ke kak Melodi?"
"Betul!"
"Nih! Lo kasih aja sendiri ama kak Melodi! Gue nggak berminat jadi kurir lo!" Gue menyerahkan bungkusan itu ke tangan Denny.
"Udah! Minggir! Gue mau pulang!" Gue mendorong tubuh Denny ke samping.
"Eehh.. Cewek jadi-jadian... Tunggu!!! Woy!!" Denny menahan langkah gue.
"Apalagi sih?" Gue mulai kesel.
"Tolong kasihin dong... Gue kan malu kalo ngasih langsung.. Pleaseee... Tolongin guee.."
"Eh lo naksir ya ama kakak gue?"
"Ng... Hehehe..." Denny cengar-cengir sambil garuk-garuk kepala.
"Aahh... Basi lo! Lagian jadi cowok pengecut banget sih! Ngapain lo capek-capek ikut karate kalo ngadepin cewek aja lo K.O sebelum berperang! Buang aja ke laut ban item lo itu! Udah ah! Gue nggak ada waktu ngladenin lo! Minggir! Gue mau pulang!"
"Ya oke. Oke, kalo lo nggak mau nolongin gue ngasih brownies ini ke kakak lo nggak papa. Tapi setidaknya, lo bantu gue deket sama Melodi. Gue mohon sama lo, tolong bantu gue deketin kakak lo. Oke?"
"Apa?"
"Gue bener-bener suka sama kakak lo! Lo harapan gue satu-satunya, Nada... Please.."
"Geez... Just forget it!!! Minggir, gue mau pulang!"
"Nad please doonng... Lo bantu gue. Please..." Denny meremas pergelangan tangan gue kuat-kuat.
"Gue bilang gue nggak mau! Lepasin tangan gue! Gue mau pulang!"
"Nggak! Gue nggak akan lepasin sebelum lo mau nolongin gue."
"Gue bilang gue nggak mau!!! Lepasin Den, sakit nih tangan gue!"
"Nggakk sebelum lo bilang iya!"
"Den, tangan gue sakiitt..."
"Woy!!!" tiba-tiba suara seorang cowok terdengar dari belakang kita.
"C'mon, stop it! Dia bilang dia nggak mau!" Ujarnya sambil menghampiri kami.
"Lepasin dia." Lanjutnya lagi. Denny melepaskan tangan gue.
"Siapa lo? Ngapain lo ikut campur? Pake otot segala lagi. Gue tuh nggak lagi nyakitin Nada." ujar Denny membela diri. Cowok itu tersenyum sinis.
"Pertama, nama gue L. Kedua, gue ikut campur karena masalah ini menyangkut, hidup gue. Karena hidup gue adalah Nada." Denny tersenyum meledek.
"Ketiga, lo bilang lo nggak nyakitin Nada? Hah, bastard! Lo liat itu!" L menunjuk pergelangan tangan gue yang memerah.
"Apa pantes cowok sejati ngelakuin hal itu? Ha? Oh, atau jangan-jangan... Lo banci?"
"Apa lo bilang?" Denny menarik kerah baju L.
"L, Denny, udah cukup!" Gue menengahi.
"Banci!" Ujar L lagi.
"Tutup mulut lo! Mendingan lo pergi dari sini sebelum lo babak belur." Ujar Denny mulai geram. L tertawa meledek Denny, sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Denny.
"L, udah! Cukup! Berhenti ngurusin hidup gue! Gue sama sekali nggak butuh bantuan lo. Cepet pergi dari sini," Ujar Gue sambil sedikit mendorong tubuh L.
"Nada Nada Nada... It's okay Darling. Biar aku urus ini sebentar. Kamu bisa pergi sekarang." Ujar L.
"L!!"
"Siapa lo buat Nada? Kenapa lo peduli banget sama dia?" Denny kembali memulai.
"Siapa lo sampe gue harus jelasin semua itu ke lo? Udah cukup. Kita hentiin sampe sini aja. Kali ini lo lolos. Tapi inget, kalo sekali lagi lo nyakitin Nada, baik nyakitin fisik atau batinnya..." L menepuk pundak Denny dan berbisik di telinganya.
"Itu artinya, kita punya urusan..." Ujar L.
"Lo ngerti, kan, anak kecil?" Ujar L sambil mengacak-acak rambut Denny. Denny segera menepis tangan L. Mereka saling memelototi untuk beberapa detik.
"It's okay darling, semuanya selesai. Kamu bisa pergi sekarang. Aku juga mau pulang. Aku agak capek hari ini." Ujar L sambil meregangkan tubuhnya. L lalu pergi dari sana meninggalkan gue dan Denny.
"Haasshhh!! Lo berdua bener-bener..." gue langsung berlari ke arah motor gue dan memacunya cepat-cepat.

***

Tok... Tok.. Tok...
Malam itu, pintu rumah gue diketuk. Gue yang terlanjur asik nonton tv sambil makan kripik singkong di ruang tengah, males mau bukain pintu.
"Kak, bukain pintunya gih sana. Gue males nih mau berdiri lagi." Ujar gue ke kak Melodi.
"Iya iya." dengan senyum dan tutur katanya yang lembut, kak Melodi mengiyakan permintaan gue.
"Melodi! Duduk kamu! Biar Nada saja yang bukain pintunya." Ujar nyokap gue yang turun dari tangga.
"Maa.. Aku udah males bangun nih! Acara tvnya lagi asik juga!" Gue protes.
"Nada!!! Melodi itu kakak kamu! Apa pantas kamu menyuruh-nyuruh kakak kamu seperti itu!!"
"Ma, udah nggak papa, biar Melodi aja yang buka pintunya." Ujar kak Melodi.
"Udah udah!!! Buka pintu aja ribet banget sih! Ya udah biar aku yang buka!" Gue pun akhirnya mengalah. Gue berjalan ke pintu depan dan membuka pintunya.
"Hay.."
"Denny? Ngapain lo disini?" Tanya gue ketika melihat Denny ada di depan muka gue.
"Mau ngasih brownies ini ke Melodi. Kan lo sendiri yang nyuruh gue ngasih brownies ini sendiri ke Melodi. Ya kan?"
"Ya tapi nggak malem-malem gini juga..."
"Kenapa? Lo mau manggil bodyguard lo yang tadi siang itu lagi, ha?"
"Bukan gitu, Denny. Tapi..."
"Gue cuma mau ngasih ini sebentar doang, Nada."
"Emang nggak bisa besok apa?"
"Siapa Nad?" Tiba-tiba kakak dan nyokap gue nyusulin ke pintu depan.
"Eh, Denny? Tumben kesini malem-malem?" Kata kak Melodi.
"Malem, Mel, malem tante..." Sapa Denny.
"Malem... Nada, kamu ini gimana sih? Ada Denny disini bukannya disuruh masuk." Ujar nyokap.
"Emm.. Denny cuma bentar kok disini ma. Sekarang dia udah mau pulang nih... Iya kan Den?" Gue memelototi Denny.
"Ng... Iya tante. Denny kesini cuma mau ngasih ini aja kok." Denny menyerahkan bungkusan hitam di tangannya ke nyokap gue.
"Apa ini?"
"Itu brownies, tante. Tadi kebetulan di jalan beli brownies buat mama, terus ya Denny beli sekalian buat tante sama Melodi. Melodi... Suka brownies kan?"
"Ooh.. Melodi suka sekali sama brownies. Iya kan Mel?" Ujar mama sambil merangkul pundak kak Melodi.
"Kamu benar tidak mau mampir dulu?"
"Tidak usah tante, terimakasih. Sudah malam juga. Denny nggak enak lama-lama disini. Kalau begitu, Denny pulang dulu ya tante, Mel.."
"Ya udah sanaa.. Sana pulang..." Ujar gue sambil mendorong tubuh Denny keluar.
"Nada! Yang sopan sama tamu!" Bisik mama gue. Gue cemberut.
"Assalamualikum..." Ujar Denny.
"Waalaikumsalam..." Ujar kami bertiga.
Setelah Denny pergi, gue melengos pergi, masuk ke dalam rumah.
"Nada!!!" Nyokap gue membentak.
"Apalagi sih ma?"
"Kamu itu kaya anak yang nggak di ajari sopan santun! Apa begitu cara kamu memperlakukan tamu? Ha?" Ujar nyokap gue.
"Apaan sih ma? Lagipula ini kan cuma hal sepele!"
"Sepele kamu bilang? Jadi setiap ada tamu mama yang datang akan kamu usir dan kamu dorong seperti itu? Iya? Itu yang kamu anggap sepele? Kenapa kamu jadi anak yang nggak punya sopan santun seperti ini Nada? Kamu harusnya contoh kakak kamu. Yang lemah lembut dan sopan. Nggak seperti kamu!"
"Mama, udahlah ma. Nggak usah terlalu di besar-besarkan." Ujar kak Melodi.
"Kenapa sih semua yang aku lakuin itu nggak ada yang bener di mata mama? Kenapa mama selalu aja membanding-bandingkan aku sama kak Melodi? Kenapa mama selalu menomorduakan aku? Mama jahat!!! Mama pilih kasih!!!"
Plaaakkk!!!
Sebuah tamparan mendarat di pipi gue.
"Mama..." Kak Melodi menjerit.
"Apa yang mama lakuin?" lanjutnya.
"Bahkan... Sekarang mama udah bisa nampar aku. Mama udah bisa nyakitin aku." Gue menatap mama gue yang nanar. Gue berlari ke kamar gue. Kak Melodi mencoba mengejar gue tapi gue menutup dan mengunci pintu kamar rapat-rapat.

***

Sore itu, seperti biasa, sepulang kuliah, gue kerja di salah satu caffe milik ayahnya temen gue. Gue emang lebih memilih untuk kerja paruh waktu daripada harus menghabiskan waktu di rumah. Karena kalau gue hanya menghabiskan waktu di rumah, perseteruan gue sama nyokap akan semakin memburuk.
Drrtt.... Drrrtt... Ketika gue sedang berdiri di meja kasir, ponsel gue bergetar.
"Hallo..."
"Nada anyyoooonngg..." Suara yang sangat gue kenal terdengar di telepon genggam gue.
"L? Geezz... Dapet darimana lo nomer gue, cowok gila?"
"Wuaahh.... Aku terharu karena kamu bisa langsung ngenalin suara aku."
"Cowok gila, apa yang lo mau sebenernya?"
"Aku cuma mau kopi."
"Lo pikir gue pelayan?"
"Bukannya kamu emang pelayan ya? Tolong Bawain kopi ke meja 15 ya. Inget, aku mau kamu yang bikinin kopiku dan kamu juga yang nganterin. Oke Darling?"
Tut... Tut... Tut...
"Haasshhh!! Cowok gila!!!" Gue mendengus kesal.
"Meja 15?" Gue memusatkan pandangan gue ke meja 15 yang ada di pojok ruangan. Cowok yang duduk di meja itu melambai ke arah gue.
"L..? Hassshhh! Tuh cowok bener-bener ya!"
Dengan terpaksa, gue membuat kopi dan mengantarkannya ke meja dia.
"Darliiingg..." Begitu melihat gue mengantarkan kopinya, L merentangkan tangannya dan berteriak kencang.
"Bisa nggak sih, kalo lo nggak teriak-teriak? Bikin malu!"
"Ok ok. Sorry..."
"Nih, kopi lo! Puas sekarang?" Ujar gue sambil meletakkan kopi di meja L.
"Thank you Darling, akan aku minum dengan baik."
"Minum, dan jangan berisik!" Kata Gue. Gue pun lalu berniat melangkah pergi.
"Kamu nggak bisa duduk dulu? Setidaknya temenin aku minum." Ujar L menahan gue pergi.
"Lo nggak bisa liat? Gue kerja disini! Bukan untuk duduk-duduk manis apalagi main-main sama lo."
"Ah, kamu kelihatan capek, Darling. Mana manager caffenya? Biar aku kasih pelajaran! Enak aja nyuruh pacar aku kerja sampe kecapekan begitu?"
"Sejak kapan kita jadian? Huh? Dan berhenti ngomong Aku Kamu ke gue! Itu geli!!! Ngerti?"
"Ok ok.. I got it!"
"Dasar cowok gila! Heh, L, sebenernya mau lo apa sih? Nggak di kampus, nggak di tempat karate, nggak disini, lo gangguin gue mulu! Lo ngikutin gue mulu! Apa sih yang lo mau dari gue? Ha?"
"Sebenernya seberapa miskin sih lo? Sampe lo rela kerja jadi pelayan di caffe ini?"
"Ngapain lo ngurusin hidup gue?"
"Mendingan lo duduk dulu deh! Nggak perlu marah-marah begitu!"
"Makasih! Gue nggak mau di pecat! Gue balik kerja dulu!" Gue berlalu pergi meninggalkan L dengan segelas kopinya.
"Ok Darling! I'll wait you!! Jangan lupa makan dan jangan kecapekan ya? Ok?" L berteriak dari mejanya, tapi gue nggak menggubrisnya. Seluruh pengunjung caffe memusatkan mata pada L. Tapi emang dasar cowok gila, dia nggak peduli apapun. Dia malah balik melototin satu-satu semua pengunjung caffe sampe mereka semua memalingkan wajah mereka. L hanya menyeruput sekali kopinya, lalu meninggalkan uang di atas meja dan pergi dari caffe.
"Yak! Lo punya pacar kok nggak bilang-bilang sih?" Kata Terry, temen satu kerjaan gue.
"Pacar apa?"
"Heeyy... Itu udah keliatan banget kali!"
"Keliatan apa?"
"Kalo lo dan cowok imut di pojok sana tadi, ada... Something..."
"Maksud lo L? Hmh! Forget it! Gue nggak akan pernah berhubungan sama orang gila kaya dia! Lagipula, gue nggak kenal dia!"
"Nggak kenal gimana? Udah jelas kalo kalian itu akrab banget! Gimana bisa lo bilang kalo kalian nggak saling kenal?"
"L itu mahasiswa baru di kampus. Baru 3 minggu lebih dia kuliah dan satu kelas sama gue. Sejak dia liat gue, dia teruuus aja ganggu gue. Dia teruuus aja ngikutin gue. Sampe-sampe, dia juga ikut latian karate di tempat latian karate gue. Aneh kan? Gue aja heran, dia tiba-tiba bisa disini dan tau nomor hp gue pula!"
"Ooohh... Jadi dia itu fans lo?"
"Ck, ya... Semacam itulah!"
"Ya ya ya. Nggak heran sih. Kan lo lagi deket sama Denny. Cowok yang juga sering main kesini itu. Jadi ya mana mungkin lo pacaran sama cowok itu. Ya kan?"
"Denny?"
"Iya, Denny."
"A-ah... Dia juga... Cuma temen aja kok."
"Bukannya terakhir kali lo bilang kalo deketnya ama dia, ya?"
"Ah, Udahlah! Lupain mereka! Gue balik kerja ke belakang dulu ya. Lo pegang kasir. Oke?"
"Hmm.. Bisa aja lo mengalihkan pembicaraan! Hahaha.. Ya oke deh! Gue pegang kasir!" Ujar Terry sambil tertawa meledek.

***

Tok... Tok... Tok...
"Masuk..."
"Nad..."
"Ada apa kak?"
"Gue boleh masuk?"
"Masuk mah masuk aja..." Kak Melodi melangkah masuk ke kamar gue.
"Ada apa?"
"Keadaan lo... Baik-baik aja?"
"Ya ya, I'm good... Why?" Ujar gue sambil terus membaca buku komik di tangan gue.
"Lo udah pikirin perkataan gue kemaren?" Gue agak tertegun. Gue menutup komik gue dan duduk menghadap kak Melodi dengan serius,
"Maksud lo... Soal berhenti karate dan berhenti kerja?" Kak Melodi mengangguk.
"Gue kan udah bilang sama lo, kak. Gue nggak berniat buat berhenti karate dan berhenti kerja. Karena gue nggak suka menghabiskan waktu di rumah ama mama. Lo tau itu, kan?"
"Tapi... Keadaan lo..."
"Karena gue hidup hanya dengan satu ginjal ini, bukan berarti gue nggak boleh melakukan segala hal, kan kak?"
"Sebulan lalu, lo udah sempet pingsan di tempat karate. Dan dokter bilang lo emang nggak boleh kecapean kan, Nad..."
"Kak... I'm fine..."
"Nada! Gue akan semakin merasa bersalah kalo lo nggak mau dengerin kata-kata gue, sekarang. Lo kehilangan ginjal lo karena gue, Nada. Kalo sekarang lo masih tetep keras kepala kaya gini, gue akan merasa jadi kakak yang nggak berguna buat lo!" Gue terhenyak mendengar penuturan kak Melodi.
"Lo ngomong apa sih kak? Kita kan udah sepakat untuk nggak mengungkit ini lagi."
"Gue khawatir sama lo, Nada..."
"Apa yang lo khawatirin, kak. Santai aja. Badan gue ini badan baja. Jadi gue jamin sama lo, gue akan baik-baik aja. Jadi please, jangan larang gue buat kerja dan latihan karate lagi. Oke?"
"Hmh... Oke. Asal lo janji lo nggak ngeforsir diri lo."
"Oke boss. Perintah di mengerti sepenuhnya!!!" Ujar gue. Kak Melodi tersenyum sambil mengacak-acak rambut gue, lalu berjalan pergi meninggalkan kamar gue.

***

Pagi itu, seperti biasa, gue memasuki kampus dengan setumpuk buku berat di tangan gue. Baru gue menginjakkan kaki di tangga pertama gedung kampus gue, dari kejauhan gue liat L yang merentangkan tangan dengan senyum lebar di wajahnya, seakan-akan dia harimau yang siap menerkam gue dan nggak akan pernah ngelepasin gue. Setidaknya itu yang gue rasa ketika dia deketin gue. Gue pun langsung pasang tampang jutek sambil terus melangkah dan berusaha nggak menghiraukan lelaki konyol itu. Tapi, ketika jarak kami hanya 5 meter jauhnya, tiba-tiba Denny datang menahan langkah gue.
"Nada..."
"Eh, Denny... Ngapain lo?" Tanya gue. Denny berdeham ringan. Gue memandang ke arah L. Cowok itu langsung kehilangan senyum lebar di wajahnya. L tetep berdiri di sana, memandang gue dan Denny yang mengobrol pagi itu.
"Apaan?" Tanya gue.
"Melodi... Apa kabar?"
"Lo cuma mau ngomong itu?" Ujar gue.
"Apa? I-iya... Gue cuma.. Khawatir sama keadaan dia."
"Lo buang-buang waktu gue!" Ujar gue.
"Nad..." Denny menggenggam tangan gue. Gue melihat ke arah L, yang pada akhirnya balik badan dan melangkah pergi.
"L! L, tunggu!!!" teriak gue. L menghentikan langkahnya.
"Tunggu L! Ayo ke kelas bareng!" Ujar gue lagi.
"Gue duluan!" Ujar gue ke Denny, lalu bergegas menghampiri L.
"Darling?" L kembali menampakkan senyum di wajahnya. Gue menghampiri L dan menggandeng lengannya. Wajah L agak kaget, tapi dia lalu tertawa lebar ke gue.
"Jangan ge er! Gue kaya gini ke lo karena Denny lagi ngebetein banget!!!" Bisik gue ke L.
"It's okay. Aku nggak peduli kok apapun alasan kamu. Kamu mau gandeng tangan aku aja, aku udah bersyukur, hahaha..." Ujar L sambil mengelus-elus dada.
"Terserah! Ayo cepetan ke kelas!"
"Wait, wait... Sini, biar aku bawain buku kamu." L mengambil setumpukan buku si tangan gue.
"Eh... Ng-nggak usah. Gue masih kuat kok."
"It's okay, it's okay Darling. Kamu nggak boleh bawa barang-barang berat! Nanti kamu tambah pendek! Hahaha..."
"Heh, manusia abnormal! Ngledek gue lo?" Gue memukul lengan L. L tertawa. Kami pun melangkah ke kelas. Sesampainya di kelas, gue melepaskan tangan gue yang dari tadi menggantung di lengan L.
"Makasih." Ujar gue sambil mengambil buku-buku gue dari tangan L.
"Heyy... Makasih buat apa Darling? Aku nggak ngelakuin apa-apa kok, buat kamu." Gue tersenyum.
"Aku mau nanya sesuatu deh, sama kamu, Darling."
"Hassh! Udah gue bilang jangan ngomong aku kamu ke gue! Dan jangan panggil gue Darling! Gue geli tau!" L tersenyum lembut.
"Oke." Ujarnya singkat.
"Lo mau nanya apa?"
"Apa tadi, lo bersikap kaya gitu ke gue, cuma buat bikin si Denny... Cemburu?" Ujar L. Gue terhenyak.
"A-apa?"
"Emm... Ah, udah, Lupain! Gue duduk dulu ya." Ujar L tetap dengan senyum lebar di wajahnya. Dia lalu berjalan pergi meninggalkan gue. Gue berjalan ke bangku gue.
"Morning Dis..." Sapa gue ke Disty, temen gue yang duduk di sebelah gue.
"Morning... Heh, Nad, apa lo... Nggak keterlaluan sama L?"
"Maksud lo apa sih?"
"Gue tadi liat semuanya. Si L bener. Lo baik ke dia hari ini cuma buat bikin Denny
cemburu sama lo, kan?" Ujar Disty.
"Apaan sih Dis? Gue nggak maksud kaya gitu, kok!"
"Kalo gue jadi lo ya, Nad. Gue akan lebih memilih suka sama L dibandingkan suka sama Denny. Denny itu nggak peka, Nad! Udah berapa taun lo suka sama dia? Tapi dia? nganggep lo aja nggak! Bahkan yang lebih parah, sekarang dia suka sama kakak lo. Apalagi yang buat lo bertahan suka sama dia? Mendingan juga lo sama L. Udah imut, manis, romantis, dan udah jelas dia memperlakukan lo istimewa. Ya kan?" Gue menghela nafas, lalu memandang Disty lekat.
"L itu jauh jauh jauh lebih baik daripada Denny. Ya itu sih menurut gue. Menurut lo gimana?" Ujarnya lagi. Gue hanya mengangkat bahu.

***

"Assalamualaikum..." sepulang kuliah, gue mampir ke rumah untuk sekedar memeriksa keadaan rumah sebelum gue berangkat latihan karate. Tapi tidak seperti biasanya, rumah sepi. Gue nggak tau mama dan kak Melodi kemana. Tapi gue mengabaikan itu semua. Gue cuma perlu mandi dan berangkat karate. Ketika gue melewati kamar kak Melodi, pintu kamarnya sedikit terbuka. Gue berjalan sangat pelan. Ternyata, mama dan kak Melodi lagi ngobrol-ngobrol disana. Gue memutuskan untuk menguping pembicaraan mereka.
"Mama cuma mau menjaga kamu, Melodi."
"Tapi mama keterlaluan, ma! Nada bener! Mama selalu menomorduakan dia! Dan karena hal itu, Aku semakin merasa menjadi kakak yang paling kejam di dunia, ma!"
"Mama hanya tidak mau, terjadi sesuatu dengan kamu, Melodi. Sejak kecil, kamu hampir beberapa kali tidak tertolong karena gagal ginjal. Maka dari itu mama takut kehilangan kamu."
"Iya. Mama bener. Aku emang penyakitan. Tapi apa mama nggak pernah berpikir, bahwa aku, sekarang masih bisa duduk di hadapan mama karena pertolongan dari anak kedua mama! Aku hidup karena Nada! Tapi mama sama sekali nggak pernah menghargai Nada! Yang seharusnya mama khawatirkan itu Nada. Bukan aku!"
"Mama tau sayang. Mama tau mama salah. Mama seperti ini, mungkin karena, mama dan almarhum papa kamu sebenarnya tidak berniat untuk menghadirkan Nada di dunia ini."
"Apa maksud mama?"
"Sejak kecil, kamu sakit gagal ginjal. Kamu harus mendapatkan pendonor ginjal yang cocok. Tapi mama dan papa tidak bisa mendonorkan ginjal kami karena ginjal kami tidak cocok dengan kamu. Sedangkan kamu tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Jadi karena itu, satu-satunya harapan adalah adik kamu. Karena itulah, Nada lahir."
"Jadi... Nada di lahirkan hanya untuk menolong aku?"
"Iya Melodi.... Mama..."
Braaakkk!!! Gue membuka pintu dengan keras.
"Jadi aku lahir hanya karena kalian mengharapkan ginjal aku? Bukan karena kalian menginginkan aku lahir di dunia ini? Begitu ma?" Ujar gue.
"Nada... Kamu..."
"Hah! Jadi karena itu dari dulu mama menomorduakan aku? Karena dari awal mama emang nggak pernah mengharapkan kehadiran aku di dunia ini? Gitu kan?"
"Nada... Bukan seperti itu... Mama... Mama menyesal."
"Cukup ma!!! Aku udah muak!!! Aku udah muak sama semua ini!!! Mama pengen aku pergi dari rumah ini Biar mama bisa fokus ngurusin kak Melodi? Oke!! Aku akan pergi dari sini!!!" Gue langsung berlari ke kamar gue dengan air mata yang mengalir deras.

TO BE CONTINUED..

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "CINTA PERMEN KARET part I"