cerpen PRINSIP SUCI

.
.
PRINSIP SUCI
Oleh : Wisha Aliadina
Sore itu Lisa datang ke rumahku. Ternyata dia mau menjemput. Rencananya kami akan menjenguk teman kami, Fatin. Sudah seminggu ia terbaring di rumah sakit. Entahlah, dia mengidap penyakit apa. Malam ini tes laboratorium dari dokter akan keluar. Kami, aku dan Lisa, tentu saja sebagai sahabat baik Fatin akan menengoknya. Kebetulan hari ini aku libur kerja, sedangkan Lisa libur kuliah. Jadi, kami bisa mampir ke sana.

Kondisi Fatin masih lemah. Kata dokter, dia menderita tipus. Walaupun begitu, dia masih bisa tersenyum dan tertawa. Masih bisa diajak bicara. Memang sudah lama, sejak lulus SMA, kami bertiga tak pernah bertemu. Senang rasanya bertemu mereka lagi. Kami membicarakan masa-masa SMA dulu, saat belajar bersama, bercanda, tertawa, bahkan jomblo pun bersama. Memang dulu kami bertiga jomblo. Bisa dibilang jomblowati yang berkualitas, karena prestasi kami yang terus menetas. Beda dengan sekarang.

"Minggu lalu, aku kencan sama cowokku, lho."Celoteh Lisa.
"Seneng, dong. Ke mana aja sih?"Tanya Fatin.
"Ada deh..."Jawabnya sambil tertawa.
Lisa punya cowok. Berarti dia bukan jomblo lagi.

"Kalau tiga hari yang lalu cowokku ke sini. Dia ngasih boneka ini. Lucu, kan!"Fatin menunjukkan boneka beruang warna merah.
Fatin juga punya cowok. Berarti dia bukan jomblo lagi.

"Kalau Nana bagaimana?"Tanya mereka.
"Nanti cowokku akan menjemputku ke sini."
Aku tersenyum. Aku juga bukan jomblo lagi.

Aroma obat dan bahan kimia tercium di mana-mana. Hal itu tak kami hiraukan. Kami masih betah ngobrol di sini. Lisa mungkin yang paling cerewet. Dia terus saja membicarakan pacarnya. Dia baru merasakan romantisme dalam hidupnya. Tanpa bosan dia terus membahasnya. Beginilah, begitulah. Sampai dia menyodorkan pertanyaan asing yang kudengar.
"Pernahkah kamu merasakan'first kiss'?"
"Belum. Memang kenapa?"
"Nana belum pernah? Kamu kan sudah lama pacaran dengannya."
Aku memang belum pernah merasakan apa yang dia tanyakan. Menyentuh pun tak pernah, apalagi melakukan hal seperti itu.
"Awalnya memang kaget. Tapi lama-lama jadi terbiasa. Itu bukti kalau dia sayang pada diri kita. Aku jadi semakin sayang padanya. Dan tahukah kamu, Na? Fatin juga pernah melakukannya, lho!"
"Ah, kamu ini, Lis!"Fatin mendorong bahu Lisa.

Mereka itu, sungguh, aku tidak menyangka. First kiss? Apa itu? Istilah yang tidak ada dalam kamusku. Hal itu membuatku ingin tahu, penasaran. Mungkin ada lembaran yang terlupa. Halaman, tanggal, bulan, bahkan tahun saat aku mengenal istilah itu. Yang kutahu, bukankah itu perbuatan dosa? Yang kutahu, selain kuliah, Lisa dan Fatin pernah mengenyam pendidikan di pesantren. Mereka sahabatku, mereka orang baik, mereka orang terdidik. Apa mereka tidak tahu perbuatan dosa semacam ini? Atau mungkin mereka tidak mendengarkan nasehat para pendidiknya? Sungguh terlalu. Kalau mendengar istilah itu, rasanya ada yang ternodai. First kiss, noda yang tidak terlihat.
-----

Kuingat lagi lembaran dalam memoriku. Remang-remang, tapi masih bisa kuperjelas. Aku ingat kejadian dua tahun yang lalu, kita masih kelas XII SMA. Seorang perempuan, sebut saja Ita, menghampiriku yang tengah membaca buku, di sudut belakang dalam ruang kelas. Kulihat wajahnya muram waktu itu. Yang kutahu, biasanya dia sering membicarakan hal-hal yang menyenangkan, romantis, dengan seorang lelaki yang mengisi relung hatinya. Aku mencoba menebak dari raut wajahnya. Pasti dia sedang ada masalah. Ternyata ada sesuatu yang ingin disampaikan padaku.

"Tahukah kamu tentang'first kiss'?"Dia berbisik padaku. Suaranya lirih.

Aku mendadak menghentikan bacaanku. Kututup buku, mencoba mendengarkannya dengan saksama. Aku hanya tersenyum. Istilah itu tidak ada dalam kamusku.

"Maaf mengganggumu, Na. Mungkin saja kamu tidak tahu. Kamu adalah orang paling pendiam dan cuek di sini. Makanya aku ingin curhat denganmu. Tapi tolong jaga rahasia ini, oke!"
"Oke."Aku setuju.

Dia mulai bercerita. Cerita yang hanya diketahui oleh aku dan Ita. Seperti biasa, dia membicarakan cowoknya, perlakuan terhadapnya, tak seindah yang pernah kudengar. First kiss, ciuman itu, sumber dari segala sumber masalah yang kini menimpanya. Bukan hanya satu, bahkan dua, tiga, empat, dan seterusnya. Aku sampai risih mendengarnya. Belum pernah kudengar hal semacam itu. Karena hal itu tidak ada dalam kamusku.

"Aku menyesal melakukannya. Aku ingin menghindari hal itu. Kurasa hanya kamu yang bisa membantuku. Bagaimana caranya?"Tanya Ita.
"Putuskan saja dia!"Seru aku yang langsung mengambil keputusan.
"Tapi, aku mencintainya."Matanya mulai berkaca-kaca.
"Dia menodai hatimu. Dia menodai hati sucimu. Kalau dia mencintaimu, pasti dia akan menjaga hatimu. Dia tidak akan melakukan perbuatan dosa semacam itu."
"Lalu, aku harus bagaimana?"Tanya Ita.
"Bertobatlah!"

Hanya satu kata yang dapat kuucap. Aku harap dia mengerti. Matanya masih berkaca-kaca. Aku berdiri dari tempat dudukku, meninggalkan Ita yang duduk sendirian. Biarlah dia merenung, berpikir, hanya dirinya sendiri yang dapat memutuskan. Aku tidak tahan mendengar istilah itu. Rangkaian kata yang baru kudengar, dan aku cukup risih mendengarnya.
-----

Kuingat lagi lembaran dalam memoriku yang lain. Delapan bulan yang lalu, di tempat kerja. Saat itu sedang jam istirahat makan siang. Aku dan rekan-rekan kerjaku berkumpul, hanya cewek-cewek saja. Sambil makan, biasanya kami ngobrol, membicarakan kehidupan sehari-hari. Dan tentu saja, disisipi kehidupan asmara. Kata itu, istilah itu, yang dulu pernah terngiang di telingaku, muncul kembali.

"Kalau mau berangkat kerja itu harus mencium kekasihnya dulu."
"Iya, itu harus. Kalau tiap bertemu juga ciuman kan."
"Cium pipi kiri, cium pipi kanan, ataupun mencium keningmu, asalkan jangan cium bibir ya! Hahaha..."
Mereka tertawa dan bercanda. Aku diam saja. Sesekali kulahap makanan di piringku. Mereka memperhatikan.
"Kalau Nana bagaimana? Pernah merasakan'first kiss'?"
Sontak aku kaget mendengarnya. Makanan kukunyah lebih cepat. Aku menggeleng, dengan maksud mengatakan'tidak'.
"Tahukah kamu, Na? Itu bukti kalau dia sayang pada diri kita."
Aku menggeleng lagi. Makan tetap kulanjutkan sampai habis. Lalu kuminum teh hangat yang tersaji di depanku. Sedikit demi sedikit kuminum sampai habis. Rasanya aku ingin meninggalkan tempat ini. Risih aku mendengar hal itu lagi. Kata itu, kalimat itu, istilah yang tidak ada dalam kamusku. Aku segera bangkit berdiri dan berlalu meninggalkan mereka.
-----

Aku tahu itu perbuatan dosa. Aku tahu itu perbuatan terhina. Bukankah itu menodai hati suci ini? Teman kerjaku tadi mengatakan hampir sama dengan yang dikatakan Lisa hari ini. Ita saja menyesali perbuatannya. Tapi mengapa dua sahabat baikku, Lisa dan Fatin, menganggap hal ini luar biasa? Mereka menganggapnya menyenangkan, sesuatu yang baru mereka rasakan. Merasakan nikmat yang hanya sesaat. Sungguh, aku heran, aku bertanya-tanya, aku tidak menyangka, dan aku tidak mau lagi mendengarnya. Aku ingin pergi dari sini.

"Ayo pulang!"Aku menarik baju Lisa.
"Tunggu dulu! Kalian kan baru sebentar di sini."Fatin mencegah.
"Maaf, kawan, aku harus pulang."
Aku bersalaman dengan mereka berdua. Aku juga mendoakan semoga Fatin lekas sembuh, pamit dengan orang tuanya, lalu pergi. Aku menuju halaman rumah sakit. Kulihat pacarku sudah menunggu. Aku menyapanya, lalu dia tersenyum. Aku diam tanpa kata. Dia juga tidak menanyakan apapun tentangku. Aku harap dia tidak tahu yang sedang aku pikirkan.
-----

Seminggu telah berlalu. Istilah itu masih terngiang di pikiranku. Memang belum kutemukan dalam kamusku. Tapi lama-lama istilah itu akan tertulis, namun masih samar. Haruskah kuperjelas tulisannya? Tidak akan. Bahkan aku ingin menghapus jejaknya. Sesuatu yang membuatku semakin ingin tahu dan penasaran. Aku sering menasehati diriku sendiri, mencegah agar hal itu tidak terjadi padaku juga. Aku sadar, bahwa sekarang aku sedang tidak berada di zona nyaman.

Aku berada di taman dekat perbatasan kota. Taman ini berada di sebuah tempat wisata. Seseorang yang mengajakku ke sini. Orang yang saat ini, mungkin, sangat spesial di hatiku. Pacarku, Rei, yang juga merupakan pacar pertamaku. Dia tidak keren, tapi ada di sisiku, duduk di bangku taman denganku. Kami saling menjaga jarak. Mungkin hanya beberapa sentimeter jika diukur dengan mistar. Di depan kami ada kolam yang besar. Angsa-angsa berenang, ikan-ikan juga berenang, burung-burung beterbangan. Sesekali ada kupu-kupu cantik yang melintasi kami. Aku merasakan kelembutan di sini. Kelembutan nafas alam yang begitu sejuk. Sampai aku ingin, ingin sekali, mengungkapkan segala yang ada dalam pikiranku.

"Rei, bolehkah aku bertanya?"
"Boleh."Jawab Rei singkat.
Sepertinya cukup ragu untuk kutanyakan. Namun inilah yang harus dilakukan.
"Apakah setiap dari mereka, yang punya kekasih, harus mencium pasangannya?"

Keadaan hening sejenak. Rei diam, seolah sedang berpikir. Lalu dia tersenyum dan menatapku dengan tajam. Tapi aku tidak membalas tatapannya.

"Nana kok tanya begitu. Memangnya Nana pengen aku cium ya?"Dia mulai menggodaku.
"Bukan, bukan begitu. Maksudku...."Wajahku mulai memerah. Aku tersipu malu.
"Setiap orang yang pernah kutemui, setiap dari mereka yang punya kekasih, mereka selalu bicara tentang'first kiss', ciuman, kepadaku. Apalagi mereka pernah melakukannya."
"Lalu, Nana ingin tahu?"
"Ya."Jawabku seru.

Rei memandang ke arah kolam. Air kolam itu sangat jernih. Ada dua angsa yang berenang ke arah kami. Sepertinya menatap kami berdua yang sedang duduk di sini. Sembari berpikir, Rei mengambil beberapa kerikil di sekitar sepatunya. Satu kerikil ia lempar ke arah kolam, sehingga membuat angsa-angsa itu terkejut.

"Setiap orang punya cara masing-masing untuk menunjukkan rasa sayangnya."Rei memulai pembicaraan.
"Tapi, kenapa harus berciuman? Mereka kan belum menikah. Itu kan dosa."
"Bagi mereka yang pernah melakukannya, itu terasa candu dan nikmat..."
"Kenikmatan yang sesaat."Aku langsung memotong.
"Itulah nafsu setan."katanya menambahkan.
"Tapi aku masih heran. Kenapa mereka melakukan hal itu?"
"Tadi kan aku sudah bilang bahwa setiap orang punya cara masing-masing untuk menunjukkan rasa sayangnya. Masih belum mengerti juga?"
Aku menggelengkan kepala, tanda belum mengerti.

Dia menghela nafas panjang. Lalu mengambil kerikil yang tersisa tadi dan melemparkannya ke kolam. Aku hanya diam memperhatikan. Kuserap makna kalimat yang tadi ia ucapkan. Kupikir dalam-dalam, pelan tapi pasti. Aku mencoba mengartikan semuanya. Mungkin harus kucari makna itu dalam kamus, yang letaknya ada di pikiranku. Kubuka lembar demi lembar, kutelusuri dari A sampai Z. Mungkin saja aku akan menemukannya. Atau bisa saja, kutemukan istilah lain yang belum pernah kupelajari.

Aku menarik nafas, lalu menghembuskannya pelan-pelan. Kuhirup sejuknya udara di sekitar sini. Aku duduk semakin mendekati Rei. Kurasakan aroma Aqua Bulgary dari tubuhnya. Amat wangi dan sejuk. Aroma yang pernah kutemui saat pertama kali bertemu dengannya. Dia melempar kerikil yang terakhir, kemudian memandangku lagi.

"Nana lihat riak air di kolam itu?"Dia menunjuk ke arah kolam.
"Ya, Rei. Aku melihatnya berulang kali. Itu akibat kerikil yang kamu lempar."
"Cinta itu bagai riak air, meluas dengan perlahan. Aku punya cara sendiri untuk menunjukkan rasa sayangku padamu. Karena aku percaya kepada suatu prinsip."
"Prinsip ??"
"Ya. Suatu prinsip suci. Itulah prinsip kesucian hati."
Kalimat asing yang baru kudengar. Sepertinya menarik. Aku akan menambahkannya dalam kamusku: Prinsip suci.
"Mungkin aku tidak seromantis lelaki lain, yang selalu mencium kekasihnya setiap bertemu, bergandengan setiap jalan berdua, serta mengucapkan kata-kata manis yang memikat. Aku berbeda dengan mereka. Aku tidak ingin seperti itu. Yang kuinginkan adalah menjaga hatiku, hatimu, hati kita..... Menjaga hati agar tetap suci. Menurutku, itulah yang dimaksud PRINSIP SUCI."

Aku menghela nafas. Mataku berkaca-kaca. Butir-butir air mata mulai keluar. Aku sangat terharu. Baru kali ini kutemui laki-laki sebaik dia. Pantas saja dia hampir tak pernah menyentuhku, walaupun hanya sekedar salaman. Dia selalu melepaskan tanganku saat aku ingin menggandengnya. Dia juga pernah menahan tanganku, saat bersalaman dan ingin sekali kucium tangannya. Dia selalu melepaskan genggaman tanganku. Rei menahan semua itu, semata-mata karena dia ingin menjaga hatiku dan hatinya. Karena dia menyayangiku. Kali ini, aku benar-benar terharu.

"Kamu tahu, mengapa aku tidak pernah menyentuhmu? Itu karena kamu belum resmi milikku. Kamu masih milik orang tuamu, milik keluargamu. Jadi, jangan menangis lagi ya!"
Dia memberikan selembar tisu padaku. Lalu aku mengusap mata dan pipiku yang basah.
"Maafkan aku, Rei. Aku selalu meminta lebih darimu. Aku selalu menginginkan sesuatu seperti yang dilakukan pacar temanku. Ternyata aku salah. Kamu tulus menyayangiku lebih dari yang aku tahu. Kamu melakukan semua itu untuk menjaga prinsip suci hati kita."
"Aku memahami sifat kekanakanmu. Ini bukan salahmu. Itu hal yang wajar. Mungkin karena Nana baru mengalaminya."
"Baiklah, aku akan berusaha menahan keinginan itu."
"Kalau masih bisa tahan menunggu, suatu saat nanti masih ada kita. Tenang saja!"
"Aku sayang kamu, Rei."
Rei pun membalas sambil tersenyum,"Aku juga, Na."

Lega rasanya mendengar semua yang dia ucapkan, serta nasehat-nasehat yang dia utarakan. Aku merasa bahagia, bangga, dan bersyukur. Beruntungnya aku memiliki lelaki seperti Rei, yang kini ada di sampingku. Sungguh indah hidup ini bila kita dapat membersihkan hati dari perbuatan yang kotor dan menodai. Aku akan senantiasa selalu menjaga prinsip suci ini; hatiku, hatimu, hati kita.
~¤~¤~¤~

Maafkan aku
Ku bersumpah kepada prinsip
Perasaan suci, walau kau memelukku
Ku tak bisa, ku tak bisa mencium
Maafkanlah

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "cerpen PRINSIP SUCI"