Psikologi Forensik dalam Praktek

.
.

PEMANFAATAN  PSIKOLOGI DI  KEPOLISIAN
(Pengenalan Psikologi Forensik dalam Praktek)


I.          LATAR BELAKANG
             Keberadaan peran psikologi di lingkungan Polri tidak lepas dari sejarah dan peran psikologi militer di Indonesia (Dispsi AD, Dispsi AL dan Dispsi AU), bahkan secara khusus TNI-AD sangat andil dalam membidani kelahiran fakultas psikologi Universitas Padjadjaran Bandung. Maka sejak Polri  dipisahkan dengan TNI kedudukan dan peran psikologi tidak lagi menjadi Dinas tetapi menjadi Biro di bawah Deputi Sumber Daya Manusia Polri, dan terlepas dari itu semua istilah psikologi dalam struktur organisasi menjadi sebuah pengakuan terhadap profesi psikologi dalam organisasi.  Pengakuan ini selain sebagai sebuah kebanggaan terhadap profesi  sekaligus menjadi tantangan tersendiri. Tantangan untuk menunjukkan kelayakan sebuah profesi dalam menunjang kinerja organisasi Polri khususnya dalam mengungkap sebuah perkara (penyidikan Polri) dengan pendekatan-pendekatan keilmuan yang bernuansa psikologis.
            Situasi Polri pasca reformasi sejak dipisahkan dari TNI memberikan sebuah konsekuensi yang cukup berat terutama dalam kualitas pelayanan dimana Polri harus lebih menekankan pada pola pendekatan yang humanis dan protagonis (berpihak pada masyarakat) padahal penegakkan hukum itu harus tegas dan tidakberpihak selain kepada peraturan perundangan itu sendiri.  Keadaan ini merupakan jawaban terhadap perkembangan politik pemerintahan dan harapan masyarakat yang menghendaki Polri sebagai garda terdepan dalam pelayanan di bidang hukum (law enforcement) sehingga lebih berpihak kepada keadilan serta tidak menggunakan pendekatan kekerasan (militeristik) namun lebih menggunakan pendekatan  keilmuan melalui  SCI (scientific crime investigation).
            Keseriusan masyarakat terhadap profesionalisme dan kemandirian Polri ini didukung dengan berbagai kebijakan pemerintah berupa Undang Undang  No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia serta berbagai produk hukum lainnya yang menyusul kemudian (UU Perlindungan Anak, UU KDRT, Peraturan Kapolri, dls). Kondisi ini semakin menantang berbagai lintas ilmu yang terwadahi dalam organisasi Polri untuk bisa eksis, termasuk di dalamnya psikologi meski sebenarnya peluang itu sudah terbuka sejak dulu seperti termuat dalam KUHAP pasal 184. Dalam pasal tersebut menerangkan tentang adanya surat keterangan yang diterbitkan oleh ahli (termasuk psikolog) bisa dipergunakan sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan.
             
II.                PSIKOLOGI DALAM HUKUM
            Menurut The Commite on Ethical Guidelines for Forensic Psychology (Putwain & Sammons, 2002) adalah semua bentuk pelayanan psikologi yang dilakukan dalam hukum. Cakupan pelayanan psikologi yang sangat luas namun dalam prakteknya masih menggunakan pola pendekatan yang konvensional dan  belum ada keseragaman pendekatan psikologi di bidang hukum secara umum dan khususnya di Indonesia. Adrianus Meliala (2008) menyatakan psikologi forensik merupakan istilah yang memayungi luasnya cakupan psikologi itu sendiri sebagai segala bentuk penerapan psikologi dalam sistem hukum dalam rangka membantu aparat hukum bisa mencapai kebenaran hukum. 
Psikologi forensik merupakan bagian psikologi terapan di bidang hukum baru mulai muncul memasuki abad 20 melalui beberapa moment peristiwa yang mengawali , yaitu : Pidato Sigmund Freud (1906) diantaranya berisi tentang peringatan bagi para Hakim di Austria bahwa keputusan2 mereka dipengaruhi oleh proses-proses tak-sadar; Terbitnya buku On the Witness Stand :Essays of Psychology and Crime tahun 1908 oleh Hugo Munsterberg (murid Wilhelm Wundt) yang kemudian dianggap Bapak pendiri Psikologi Hukum; Munculnya  Keputusan Mahkamah Agung AS th 1907 dalam kasus Muller vs Oregon mengeluarkan peraturan bahwa jam kerja setiap perempuan yang bekerja di binatu atau pabrik dapat dibatasi hingga 10 jam. Keputusan tersebut berdasarkan pada tulisan pengacara Louis Brandeis yg dikenang sebagai  Brandeis-Brief , dls.
 Pada prinsipnya Hukum dan Psikologi memiliki obyek kajian yang sama yaitu perilaku manusia. Namun ada beberapa hal yang sangat prinsip yang membuat psikologi dan hukum  tidakbisa selaras dalam penerapan di lapangan. Beberapa hal tersebut, antara lain : tujuan, metode dan gaya penyelidikan (inkuiri) yang dipergunakan oleh masing-masing dan bersifat sangat khas. 
Tujuan dari hukum adalah untuk mencari keadilan (bagaimana seseorang seharusnya berperilaku) disisi lain psikologi bertujuan untuk mencari kebenaran atau hal yang sebenarnya terjadi (bagaimana dan mengapa seseorang itu berperilaku demikian). Perbedaan tujuan akan membuat perbedaan yang semakin tajam dimana psikologi menitikberatkan pada perilaku aktual, dan demokratis (bersifat men-deskripsikan) serta mempercaya perilaku sebagai sesuatu yang khas/karakteristik; sementara hukum lebih menitikberatkan pada perilaku yang harus dilakukan dan bersifat otoriter/memaksa, serta mempercaya tentang perilaku individu pelanggar sebagai sesuatu bentuk yang ketidak-sesuaian dengan aturan main yang ada dan telah disepakati.
Berkaitan dengan metoda, hukum berpijak pada keputusan  peraturan perundangan atau dogma, sehingga perkembangan hukum sangat tergantung pada akumulasi keputusan  hakim untuk melengkapi peraturan yang sudah ada (yurisprudensi) dan menjadi acuan dalam melaksanakan otoritas tertentu, hukum dianggap statis karena merupakan produk kemarin yang diaktualisasikan sekarang. Sedangkan psikologi berpijak pada data yang berdasarkan empirik (hasil penelitian dan kumpulan pengalaman) dan produknya bersifat antisipatif-prediktif sehingga membuat psikologi menjadi dinamis. Hukum merupakan produk orang-orang yang telah mati dan diperlakukan untuk untuk orang yang masih hidup, sementara psikologi adalah produk yang dibuat sekarang berdasarkan data-data (aktual) dan sekarang untuk meprediksikan masa yang akan datang dan teori psikologi dibuat untuk saling meruntuhkan dan membaharui.
 Perbedaan dalam gaya penyelidikan atau inkuirinya hukum lebih berpijak kepada advokasi atau pendampingan kepada seseorang berdasarkan peran yang dimainkan sehingga ada keterpihakan dia sebagai siapa (tersangka, saksi, korban, penyidik/polisi, jaksa, hakim, pengacara) sementara psikologi lebih diharapkan untuk obyektif berdasarkan pendekatan profesi (psikologi).  Celah ketiga ini yang kemudian justru sering dimanfaatkan oleh pihak ke-3 (yang tidak terlibat dalam peristiwa hukum namun memanfaatkan moment   untuk menggiring suatu opini :media & politisi).
  
III.             PSIKOLOGI DI LINGKUNGAN KEPOLISIAN
Biro Psikologi Polri menjadi salah satu sub-sistem organisasi yang berada di bawah Deputi Sumber Daya Manusia KAPOLRI dipimpin seorang Brigadir Jendral (Brigjen). Biro ini memiliki 3 (tiga) bagian yaitu: Bagian Psikologi Personel (sumbangsih psikologi dalam pembinaan personel sejak dari rekruitmen, pendidikan, penempatan, penggunaan, sampai pada pemisahan  atau pengakhiran dinas); Bagian Psikologi Kepolisian (sumbangsih psikologi dalam operasional kepolisian atau psikologi aplikatif) dan Laboratorium Psikologi   (sumbangsih psikologi dalam pengkajian dan penelitian di lingkungan Polri). Artinya  seorang perwira dilingkungan Biro Psikologi Polri  dituntut mampu mengemban tugas Psikologi secara keilmuan maupun secara profesi dan memiliki 2 kode etik (etika Profesi Kepolisian dan etika Profesi Psikologi).

Bagian psikologi kepolisian (bagpsipol) merupakan salah satu bagian dari biro psikologi Polri yang khas dan unik.  Sebagai ujung tombak organisasi yang berisi psikologi aplikatif (terapan)  untuk menunjang tugas-tugas  operasional kepolisian yang meliputi pembuatan kompetensi psikologis saksi atau tersangka,  analisa kasus, profiling dan otopsi psikologis, dan pelayanan masyarakat. Artinya dalam psikologi kepolisian ini profesi psikolog polisi harus mampu menterjemahkan bahasa psikologi menjadi bahasa polisi khususnya dalam mengungkap sebuah perkara (penyidikan kasus). Hal ini tentunya tidak diterapkan pada seluruh bentuk kasus namun terbatas pada kriminalitas khusus dengan skala prioritas dipandang memiliki nuansa psikologis (pembunuhan, perkosaan, terorisme, narkoba,dls).

Produk-produk yang diharapkan dari psikologi dalam sebuah penyidikan  kasus antara lain :
1.                  Pemeriksaan Psikologi (Kompetensi Psikologi)
Pemeriksaan psikologi ini merupakan sebuah proses psikodiagnostika yang diberikan kepada seseorang yang menjadi saksi, tersangka, ataupun korban (bila memungkinkan) dalam tindak pidana tertentu. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memperoleh informasi psikologis  (potensi, kepribadian, profile psikologi, dls) tentang seseorang berkaitan dengan peristiwa pidana tertentu untuk diinformasikan kepada penyidik untuk mengambil langkah-langkah tertentu guna mendukung proses penyidikan.
Tanpa mengecilkan pemeriksaan terhadap subyek yang lain pemeriksaan ini biasanya lebih diarahkan kepada tersangka untuk mengetahui dinamika psikologi seseorang (motif, kebohongan, indikasi psikopathologis, dls) dan saran terhadap penyidik supaya dapat mengambil langkah-langkah tertentu yang menuntut kesegeraan.  
                  Contoh : Ryan,  Babe,  Antasari Azhar, Sumanto,...dls

2.                  Profiling Psikologi
Profiling psikologi merupakan serangkaian kegiatan profesi psikolog untuk mengidentifikasi ciri-ciri yang bersifat khusus tentang seseorang  atau lebih yang diduga menjadi pelaku tindak kejahatan berdasarkan fakta-fakta di lapangan (TP TKP= Tindakan Pertama di Tempat Kejadian Perkara). Artinya profesi psikologi harus mampu menyelenggarakan psikodiagnostik terhadap seseorang tanpa harus bertemu dengan seseorang namun hanya berdasarkan pada jejak-jejak yang ditinggalkan (perilaku adalah ekspresi jiwa seseorang, dan TKP merupakan hasil perilaku seseorang).
Dalam Profiling ini psikolog tidak harus (tidak mungkin!) menunjuk pada nama/identitas seseorang secara langsung namun lebih bersifat membantu penyidik  (memperkecil dan mempermudah) dalam memperkirakan siapa yang menjadi pelaku dengan cirri-ciri yang termuat dalam profiling. Lebih mempertajam daripada sekedar memperkirakan modus operandi.    
                  Contoh : Korban mutilasi, korban pembunuhan, kasus bom, dls.

3.                  Autopsi Psikologi
Menegakkan psikodiagnostik dengan membuat gambaran tentang kepribadian seseorang (yang sudah mati) berdasarkan allo-anamnese dan berbagai keterangan lainnya dari lingkungan untuk membuat profile perilaku tertentu (masih diperdalam psipol) dan didatakan untuk kepentingan lainnya.
Contoh : Membuat profile tentang pelaku bunuh diri, Membuat profile tentang orang yang cenderung menjadi korban (victimologi), dls.

4.                  Analisa Psikologi
Kegiatan yang berupa tulisan yang berisi analisa psikologi tentang trend kejahatan atau kriminalitas tertentu dan kemudian membuat saran-saran dan prediksi tertentu (kasuistik, actual, dan berjangka waktu).
Contoh : Kejahatan bulan ramadhan, tren bunuh diri pada anak-anak, penyalahgunaan senjata api, KDRT, dls.

IV.       KOMPETENSI  PSIKOLOG POLISI
            Berkaitan  dengan uniknya kegiatan profesi psikologi kepolisian yang bersifat khas dalam kaitannya dengan pengungkapan kasus (penyidikan perkara) maka ada beberapa kompetensi profesi yang dipersyaratkan terhadap profesi psikolog di lingkungan kepolisian.  Kompetensi profesi ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan profesi psikolog lainnya karena  kekhasan dari psikolog polisi tersebut lebih disebabkan oleh tuntutan tugas. Adapun kompetensi yang dibutuhkan antara lain :

a.       Kemampuan Psikodiagnostik (secara cepat!!!), yaitu membuat kesimpulan dan saran berdasarkan pengukuran atau pengujian terhadap tersangka. Saksi, atau korban melalui seperangkat alat tes psikologi. Hal yang membedakan proses psikodiagnostik  psikolog polisi dengan psikolog lainnya adalah berkaitan dengan kecepatan (karena pengungkapan kasus sangat dibatasi waktu dan segera dikomparasikan dengan ilmu terkait lainnya (kedokteran, labkrim, dls). Selain kesegeraan (atau kecepatan) seorang psikolog polisi harus memiliki sense of crisis dalam menghadapi keadaan testee pada saat itu (tersangka, saksi, atau korban) untuk menentukan  materi tes yang ditentukan demi informasi psikologis yang diharapkan. Bahkan sangat memungkinkan seorang psikolog polisi bias membuat alat psikologi sendiri yang bersifat darurat berdasarkan pada keyakinan profesi dan tujuan pemeriksaan psikologi.

b.      Kemampuan Wawancara mendalam (depth interview), yaitu kemampuan mengumpulkan data psikologi dan informasi factual secara langsung kepada testee (tersangka/saksi/korban). Untuk dapat menciptakan rapport yang bagus dan berpijak kepada rasa aman dan kepercayaan testee bukan proses yang mudah karena masing-masing memiliki kondisi emosi yang tidak sama (kecemasan, takut, trauma, dls) padahal kita dibatasi oleh waktu sementara banyak fakta-fakta yang masih disembunyikan. Dalam hal ini selain kemampuan komunikasi yang baik maka seorang psikolog polisi harus memiliki kesiapan mental, stamina, dan kesabaran serta kepekaan yang cukup baik dan dipersiapkan.

c.       Kemampuan Observasi, dengan keterbatasan waktu dan keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh tersangka/saksi/korban (usia, pendidikan, mekanisme pertahanan diri yang kuat) maka seorang psikolog polisi harus memiliki kemampuan pengamatan yang jeli terhadap reaksi atau gejala yang nampak serta berbagai kondisi lain diluar itu (kondisi psiko-social maupun ekonomi, dls) yang berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung dan diseskripsikan dengan baik.

d.      Kemampuan profiling, yaitu kemampuan untuk melakukan identifikasi dan analisa berdasarkan data yang bersifat khas/sighnature yang diperoleh dari sebuah obyek atau peristiwa tentang seseorang dalam kaitannya dengan sebuah tindak pidana. Berdasarkan data tersebut seorang psikolog dapat  merangkaikan dengan kasus serupa  dan bias menggambarkan karakteristik tersangka pelaku.

e.       Kemampuan membuat Laporan, karena psikolog polisi sebagai kekuatan pendukung dalam proses penyidikan maka pada seorang psikolog dituntut untuk dapat membuat laporan psikologi secara lugas dan komunikatif serta mengkaitkan dengan peristiwa criminal yang disangkakan (bukan laporan psikologis mandiri). Situasi menuntut adanya cara tindak professional dan berpijak pada sebuah keyakinan yang mendalam pada seorang psikolog polisi. Maka dalam laporan psikologi psikolog polisi selaku disertai dengan bahasa Hukum : Surat keterangan ini dibuat berdasarkan sumpah jabatan dan sumpah profesi psikologi, ditutup dan ditandatangani di……, pada tanggal ……….., Psikolog Pemeriksa…….

f.        Kemampuan Mengajar, psikolog di Polri sangat terbatas untuk melayani ke dalam maupun keluar Polri dan dianggap serba bisa. Maka untuk membuat kepanjangan tangan psikolog di lingkungan Polri maupun berbagi ilmu diluar Polri maka  harus memiliki kompetensi untuk mengajar.
Contoh : Psikologi Investigasi untuk Penyidik, Psikologi Massa untuk Brimob dan Dalmas; Psikologi Negosiasi; Bimbingan Konseling, dls.

V.      PENUTUP
Demikian tulisan tentang Pemanfaatan Pemeriksaan Psikologi dibidang Penyidikan Kepolisian, semoga dalam forum ini kami sebagai pengemban profesi psikologi di Jajaran Polri akan semakin memperoleh pengayaan dan masukan supaya semakin berkembang dan berbenah diri.

Terima kasih.







Subscribe to receive free email updates:

0 Response to " Psikologi Forensik dalam Praktek"