.
.
Cerpen ini hanya karanangan semata apa bila ada kesamaan nama karakter dan tempat kejadian saya minta maaf karena saya tak ingin menyinggung siapapun
“Ah, cantiknya dia. Andai aku memilikinya”,
Ucapku dalam hati ketika membayangkan Jelly
saat ia sedang duduk terdiam saat mengawas rapat BEMM.
“Ardo, Ardo,,, hey Ardo”,
panggilan itu tiba – tiba membuyarkan lamunanku. Kini di hadapanku berdiri seorang wanita. Parasnya cantik, dengan senyuman manis yang selalu menghiasi
bibirnya. Dandanannya sopan dengan jilbab putih dan pakaian lebar yang membalut
dirinya hingga menutupi seluruh tubuhnya.
“Jelly”, jawabku yang kaget ternyata Jelly sudah berada di hadapanku.
“Ngelamun aja. Ini suratnya, tinggal ditandatangani. Bawa pena kan ?”, kata Jelly
sambil menyerahkan secarik kertas untuk kutandatangani.
“Hehe…”, senyumku. “Sudah ku tebak, pasti gak
bawa pena. Dasar mahasiswa jaman sekarang. Ardo, Ardo jadi ketua kok malas banget
sih bawa pena. Kalau lagi dalam keadaan genting disuruh tanda tangan gimana”,
jawab Jelly sambil mengambil pena dari ranselnya. Terlihat ia sedikit
kesal padaku.
“Kan ada sekretaris
yang selalu ada buat ketua”, candaku padanya. “Ya, walaupun aku sekretaris gak
selamanya aku berada di dekatmu Di. Kalau aku gak ada gimana. Siapa yang
nyediain pena buatmu”, jawab Jelly balik.
“Kalau kamu gak ada,
tentu hati ini merindukanmu Jelly. Aku rela tidak membawa pena setiap hari,
asalkan kamu selalu menyediakan pena buatku. Karena kalau kamu jauh, pasti hati
ini akan selalu gundah”, gumamku dalam hati.
“Ini suratnya Bu
Sekretaris. Oh ya, jangan lupa ingatkan semua Anggota Bem untuk rapat lepas
Jum’at nanti ya. Ada pulsa kan? Apa perlu diisiin nih”, tanyaku seraya bercanda
sambil memegang dompet.
“Wee, emang saya
wanita kurang modal apa. Kan ada SMS gratisan. Oke deh, kalau gitu aku
berangkat ke kantor Rektor dulu ya Di”, jawab Jelly. “Oke, semoga sukses. Insya
Allah pasti langsung di terima usulan kita”, kataku menyemangati Jelly.
“Aamiin. See U Di”, jawab Jelly yang lalu pergi. Aku hanya bisa memandanginya,
sambil tersenyum sendiri.
“Aku hanya ingin
bilang, kalau aku….”. Kreek, kurobek kembali secarik kertas dari buku itu.
“Waduh, ternyata susah ya menulis surat cinta. Padahal dulu waktu menggombalin
cewek yang tidak kucintai begitu mudah rasanya. Apa karena aku sudah lama nggak
pacaran ya”, gumamku dalam hati mencoba menulis surat kembali. Surat cinta. Ya,
aku ingin mengungkapkan perasaanku pada Jelly. Sebuah surat yang menyatakan isi
hatiku padanya.
Jelly, wanita yang
kukagumi. Orangnya simple, tidak pernah neko – neko dalam bersahabat. Ia juga
seorang wanita yang selalu menjaga amanah. Setiap pekerjaan yang diamanahkan
padanya ia laksanakan dengan sungguh – sungguh. Ia juga wanita yang selalu
bersemangat dan mengayomi teman – teman yang berputus asa. Ia pintar, baik, dan
taat ibadah. Sholatnya nggak pernah tinggal. Shaum sunnah ia jaga. Bahkan lebih
rajin dibandingkan diriku. Hm, ia wanita yang sempurna. Dan karena hal itu aku
mengaguminya. Hubungan kami semakin dekat setelah aku di tempatkan sebagai
ketua Bem, dan ia sebagai sekretarisku. “Wah ini yang namanya jodoh”, pikirku.
“Hei Jelly, katanya Susi
bakal nikah tahun ini loh”, kata seorang wanita pada Jelly yang saat itu kami
baru saja selesai rapat umum. “Benarkah, Barakallohu. Alhamdulillah, siapa
lelaki yang berhasil mendapatkan hatinya Ti ?”, tanya Jelly.
“Arif. Ketua Bem
Fakultas Teknik. Subhanalloh ya. Mereka dipertemukan di usia muda dan masih
berstatus mahasiswa. Untung aja mas Arif sudah bekerja”, jawab Atika.
“Wah, indahnya. Semoga
kita cepat nyusul ya. Ya, mungkin setelah bekerja. Hehe”, tawa Jelly.
“Amin. Hm, Jelly,
seperti apa pria impianmu yang bakal menjadi imammu kelak?”, tanya Atika pada Jelly.
Saat itu aku mendengar baik – baik pembicaraan mereka. “Ya, Allah kutahu ini
dosa. Tapi ini adalah kesempatanku”, gumamku sambil mencoba memasang
pendengaranku baik – baik.
“Seperti apa ya.
Mungkin lelaki yang sederhana, tegas, manis, pintar, cerdas, dan taat
beribadah. Dan satu lagi pintar memasak kali ya, jadi bisa mengajariku memasak.
Hehe”, jawab Jelly.
“Pintar memasak,
tegas. Aku bisa memenuhinya”, pikirku setelah mendengar kriteria pria impian Jelly.
“Jelly, tunggu aku. Aku pasti bisa jadi pria impianmu”.
Sejak saat itu, aku
belajar memasak. Berbagai masakan ku coba. Dan untuk menguji rasanya, teman –
teman kos kujadikan kelinci percobaan. Dan hasilnya luar biasa, 4 dari 5
penghuni kosku nyaris masuk rumah sakit gara – gara masakanku. Entah apa yang
salah, apa perut mereka yang tidak tahu masakan enak, atau masakanku yang tidak
enak. Lalu di organisasi aku mencoba memimpin secara tegas. Setiap anggota yang
kurang bertanggung jawab aku berikan teguran, lalu kuayomi mereka semua, kuberi
semangat agar mereka bisa melaksanakan tugasnya. Aku rasa itu sudah bisa
menunjukkan ketegasanku pada Jelly.
Dan tiba – tiba suatu
hari…
“Assalammu’alaikum Jelly”,
SMS ku pada Jelly pada suatu malam. Tidak berapa lama HPku pun berdering.
Wa’alaikumsalam, knp
ktua?
Bgaimana surat dari REKTOR,
sdh ditanggapi? (kedokku berusaha mencari celah)
Alhamdulillah sudah.
Mgkn bbrp hari lg kita bkal audiensi
Syukurlah. Skretarisku
mmg hbat
Sm2 ketua. Smw sdh
bkrja keras kok. Bkn saya sja
Iya sih. Jelly
trimakasih bwt smw krja krasnya ya. Tnp mu aku tdak bs mngerjakan apa2. Hehe
Aku mencoba menunggu
balasan dari Jelly. Lama sekali sampai akhirnya aku tertidur.
Esoknya selepas Subuh,
aku mencoba memeriksa Inboxku, berharap ada balasan dari Jelly. Ternyata nihil.
Padahal aku berharap ia membalas kembali.
Sudah seminggu aku
tidak melihat Jelly. Ya, ia pulang ke kampungnya selama hari libur. Rasanya
sepi sekali. Ku coba mengirim SMS padanya, namun SMS ku tidak pernah sampai.
“Kemanakah dirimu Jelly? Padahal aku hanya ingin tahu kabarmu saja. Itu sudah
membuatku tenang”, gumamku.
Aku berjalan menyusuri
jalanan. Aku biarkan kakiku melangkah entah kemana ia akan membawaku. Saat itu
pikiranku begitu gundah. Sedih, bimbang, sakit, dan berbagai perasaan perih
yang kurasakan. Sampai aku tersadar suara azan menyadarkanku. Aku pun berhenti
ke sebuah mesjid untuk melaksanakan sholat. Sholatku kali ini begitu berbeda.
Begitu khusyuk, hingga tak terasa aku meneteskan air mata ketika melantunkan
doa – doa pada-Nya.
Selesai sholat aku
coba duduk sebentar. Saat itu sedang berlangsung tausyiah yang di bawakan oleh
seorang ustad muda. Judulnya “Mencintai atau di cintai”.
Kudengarkan baik –
baik apa yang disampaikan sang ustad.
“Para pemuda yang di
rahmati Allah, pasti diantara kita pernah merasakan yang namanya cinta. Cinta
yang akhirnya memiliki rasa ingin mendapatkan cinta itu seutuhnya. Ingin
melakukan segala cara untuk mendapatkannya. Sampai raga ini berjanji kalau akan
menyesal apabila tidak mendapatkannya”.
Aku pun mengangguk.
Saat itu aku tersadar dengan apa yang telah kurasakan.
“Tidak ada yang salah
dengan yang namanya cinta. Cinta itu hakikat setiap manusia. Tidak ada larangan
untuk mencintai. Tapi pernahkah kita sadar kalau saat kita merasakan cinta pada
seseorang, kita melupakan cinta kita pada Allah”.
“Cintaku pada Allah”,
aku tersentak mendengar hal itu.
“Ya, cinta kita pada
Allah. Saat kita menginginkan orang tersebut, pernahkah terlintas di pikiran
kita kapan kita mengaharapkan cinta dari Allah? Cinta dari Allah yang selalu
memberikan nikmat pada kita? Cinta dariNya yang selalu menjaga kita? Cinta
dariNya yang selalu ada untuk kita? Pernahkah terlintas di pikiran saudara –
saudara”
Aku tersadar. Di saat
aku mengharapkan Jelly, aku lupa cintaku pada Allah. Bukankah Allah tidak
pernah meninggalkan hamba-Nya, tetapi hamba-Nya yang meninggalkan ia karena
sesuatu. Kenapa aku harus takut kehilangan Jelly, kalau Allah sudah menjanjikan
jodoh yang terbaik untukku. Kenapa aku harus berusaha mendapatkannya, kalau
belum tentu ia akan memiliki perasaan yang sama padaku. Bisa saja karena aku
terlalu berharap, hati ini akan sakit menerima kenyataan yang ada.
“Astagfirulloh. Ya
Allah, terimakasih Engkau telah mengingatkan hamba Ya Allah. Duniaku tak lebih
hanya sebuah tempat singgah. Kenapa aku harus khawatir kalau segala urusan
telah Engkau tetapkan untukku Ya Allah. Engkau Yang Maha Mengetahui, Tiada
Tuhan selain Engkau Ya Allah”, gumamku dalam hati.
Air mataku mengalir.
Selama ini aku berada di jalur yang salah. Aku terlalu takut kehilangan Jelly,
padahal aku tidak pernah tahu isi hati Jelly terhadapku. Allah telah menjaga
hamba-Nya. KIni pikiranku mulai cerah. Aku sadar, dan menyerahkan segala
urusanku pada Allah. Kini aku percaya Allah akan memberikan yang terbaik
untukku.
Hari liburan pun
berakhir. Kini aku bertemu kembali dengan Jelly. Tapi dengan perasaan berbeda.
Tak lagi diriku berusaha mengungkapkan cinta padanya.
“Hai Ardoo, ayo kawan –
kawan dah pada nunggu rapat tu”, seru Jelly padaku yang sedang duduk memandangi
langit.
“Baik buk. Bentar lagi
saya kesana”, jawabku seraya membereskan buku – bukuku yang berserakan di kursi
taman.
“Cepat ya ketua.
Jangan lama. Kasihan mereka dah pada gak sabar nunggu kabar baik dari kita”,
kata Jelly yang lalu pergi meninggalkanku.
Aku pun kini
menatapnya kembali dari jauh
Cerpen ini hanya karanangan semata apa bila ada
kesamaan nama karakter dan tempat kejadian saya minta maaf karena saya tak
ingin menyinggung siapapun
2 Responses to " Cerpen Rasa yang kupendam"
i like it
tanks sob
Post a Comment