.
.
Wanita Itu Ibuku
Brak,”Bukain
pintunya Nadiaa!!” panggilan dan ketukan keras di pintu depan membuatku yang
baru mulai memejamkan mata terkejut bukan main. Segera aku berlari ke ruang
tamu dan membukakan pintu,
”Lama banget
sih bukainnya, molor aja kamu kerjaannya!!” masuklah sesosok wanita cantik
berpakaian minim dan seksi yang langsung menyambarku dengan kata-kata sadisnya
”Maaf bu,tadi
aku memang udah hampir tidur, lagian ini kan udah jam 12 malem harusnya ibu
jangan pulang selarut ini.”ujarku mencoba sabar pada wanita yang kupanggil ibu
itu
”Halah aku
pulang juga dari kerja,udah urus aja urusanmu sendiri,anak kecil juga banyak bacot
kamu!” lalu ibu berlalu dan masuk ke kamarnya, meninggalkanku sendirian dengan
bau alkohol yang masih menguar di ruang tamu.
Yah, wanita itu memang ibuku. Ibu kandungku yang telah mengandungku selama 9
bulan dan berjuang keras hingga bisa membawaku ke dunia. Tapi selama hampir 17
tahun aku berada di dunia ini, tak pernah aku ingat ibu sekalipun mengucap
sayang padaku atau sekedar membelai lembut wajahku. Mungkin waktu aku kecil ibu
pernah memperlakukanku dengan lemah lembut hanya saja percuma karena ingatan
masa kecilku telah lenyap tanpa sisa.
Setelah tersadar dari lamunanku, aku menutup pintu lalu masuk ke kamar kembali
dengan nafas berat. Ibu macam apa yag bisanya hanya menghardik serta memukuli
anaknya jika ada kesalahan sedikit saja yang membuatnya sebal atau kesal
sedikit saja. Memang ibu selalu memberiku uang saku dan memberikan uang SPP
sekolahku. Tapi yang kubutuhkan bukan hanya itu. Lagipula saat menerima uang
permberian ibu, seringkali aku merasa waswas, karena aku tahu darimana uang itu
berasal. Ibuku bekerja di tempat pelacuran, dan dia sudah menjadi mucikari di
tempatnya bekerja. Tapi mau bagaimana lagi, hanya dari uang ibulah aku tetap
bisa meneruskan sekolahku. Apalagi sekarang aku bersekolah di salah satu SMA
favorit di kotaku. Aku merasa senang akhirnya bisa bersekolah di sekolahku
sekarang, karena di situlah aku bisa melarikan diri dari kesumpekan rumah yang
kurasakan bagaikan neraka. Di sekolah aku berusaha belajar sebaik-baiknya dan
alhamdulillah aku berhasil mendapatkan beasiswa sehingga sekarang aku tak perlu
lagi memakai uang pemberian dari ibu. Uang yang diberikan ibu aku tabung,
sementara itu untuk memenuhi uang sakuku aku bekerja di toko buku tiap siang
sepulang sekolah.
Dan tiap aku pulang ke rumah aku harus menghadapi kenyataan pahit lagi. Masih
dengan suasana rumah yang sama dan seorang wanita yang kupanggil ibu itupun
masih tetap dengan orang yang sama. Seperti di malam-malam sebelumnya, aku
terlelap tidur dengan perasaan yang kacau. Air matapun mengalir perlahan
seiring dengan terpejamnya mataku.
***
“Nadia, kamu dipanggil Bu Widi tuh. Sekarang kamu lagi ditunggu di kantor.”
panggil Syifa salah seorang teman sekelasku,”Oh iya,makasih ya Syifa.”sahutku
sambil tersenyum. Di sekolahku aku sama sekali tak memiliki sahabat karib,
karena aku takut kalau teman-temanku di sekolah akan mengetahui siapa aku
sebenarnya. Di kelas aku duduk sendirian, dan tak pernah ikut ngobrol dengan
siapapun juga. Untungnya aku punya Bu Widi, beliau adalah wali kelasku dan
hanya kepada beliaulah aku dapat bercerita dengan leluasa tentang keadaanku
sebenarnya.
“Permisi bu, tadi kata Syifa ibu memanggil saya.” Bu Widi mendongakkan
kepalanya dan menyambutku dengan senyuman lembut,”Iya Nadia,ada yang mau ibu
bicarakan sama kamu.” Lalu aku duduk di depan meja beliau,”Memangnya ada apa
bu?” tanyaku penasaran,”Selamat ya, tulisanmu menang juara pertama, minggu
depan kamu diundang ke Jakarta untuk mengikuti workshop kepenulisan sama
menghadiri acara pemberian hadiahnya.” Bu Widi menyalamiku dengan wajah
gembira,”Wah beneran bu? Alhamdulillaah hadiahnya besar soalnya bu, saya saja
nggak yakin kalau bisa lolos.” Aku hampir tak percaya mendengar kabar baik
barusan. Tulisanku yang kukirim ke Lomba Cerpen Remaja lolos menjadi juara
pertama,”Tapi nad, sepertinya ada satu masalah kecil.”potong Bu Widi,”Masalah
kecil apa bu?”tanyaku,”Untuk acara pemberian hadiahnya harus disertai salah
satu orang tua, panitia sudah mengirimkan dua tiket beserta akomodasinya untuk dua
orang ke Jakarta, apa ibu kamu bisa kesana?” pertanyaan Bu Widi tak bisa
langsung kujawab aku hanya menggeleng lemah,”Hmm, gitu ya, coba kamu bicara
baik-baik sama ibu kamu, siapa tahu kamu bisa membujuk dia, lagipula beliau
pasti sangat bangga karena kamu sudah menjadi anak yang berprestasi.”,”Iya bu,
akan saya coba untuk bicara dengan ibu saya.”jawabku dengan penuh keraguan.
Aku menunggu ibu dengan perasaan harap-harap cemas. Semoga dengan mendengar
kabar baik ini, perasaan beliau bisa sedikit melunak padaku. Kali ini ibu
pulang pukul sepuluh malam, seperti biasanya, bau akohol masih tercium dari
tubuhnya. Aku belum mampu mengeluarkan sepatah atapun padanya,”Kenapa kamu
Nadia? Gelisah sekali sepertinya, apa kamu mau minta uang?” tanya ibu dengan
nada ketus,”Nggak kok bu, aku Cuma pengen ngomong sebentar aja sama ibu. Aku
harap ibu nggak keberatan.”kataku dengan agak ragu-ragu,”Ya udah lima menit
aja,jangan lama-lama aku mau tidur.”,”Begini bu, tadi siang di sekolah aku
diberitahu Bu Widi guruku di sekolah, kalau aku menang sebagai juara pertama
lomba cerpen remaja, dan pemenangnya diundang untuk mengikuti workshop
kepenulisan di Jakarta, selain itu sudah disediakan dua tiket beserta
akomodasinya untuk pemenang dan salah satu orang tua untuk menghadiri acara
penyerahan hadiah, makanya aku ingin ibu bisa menemaniku ke Jakarta minggu
depan.” Aku bicara tanpa berani menatap wajah ibu.Ibuku hanya terdiam, matanya
menatap lurus ke arah wajahku lalu dia mulai bicara, tapi yang kuherankan kali
ini dia bicara sambil mulai meneteskan air mata,”Oh kamu menang lomba menulis
ya? Tapi jangan harap aku mau datang sama kamu. Ternyata gen busuk itu memang
melekat erat padamu”aku tercengang mendengar perkataan ibu barusan, tak
mengerti apa yang ibu bicarakan,”Maksud ibu gen busuk itu apa?”,”Kamu tahu?
Gara-gara aku terlena oleh tulisan-tulisan indah seseorang, akhirnya aku jatuh
cinta dengan orang yang salah? Gara-gara rayuan dalam tulisan itu jugalah
akhirnya aku harus kehilangan masa depanku dan melahirkan kamu ke dunia. Kamu
tahu kenapa aku begitu benci melihat wajahmu? Itu karena wajahmu mengingatkanku
pada orang brengsek itu. Sekarang juga ternyata bakatnya telah menurun padamu.
Bah, aku tak sudi ikut kamu ke Jakarta, pergi saja sendiri sana!”
kemudian ibu masuk ke kamarnya sambil membanting pintu dengan keras.
Baru kali ini aku mengetahui rahasia mengenai kelahiranku. aku ingat setiap
kali aku menanyakan perihal ayah kandungku, ibu selalu bilang kalau dia sudah
meninggal tanpa pernah tahu dimana kuburnya. Jadi sebenarnya aku ini seorang
anak haram? Dan gara-gara harus mengandung aku, maka ibu harus kehilangan masa
depannya? Aku hanya bisa menangis dalam diam. Sudah cukup aku merasa terhina
dengan menjadi seorang putri mucikari, sekarang aku harus menerima kenyataan
kalau aku memiliki ayah yang sama sekali tidak bertanggung jawab. Padahal di
setiap kali aku sedih karena perlakuan kasar ibu, aku selalu membayangkan kalau
ayah akan datang menjemputku dan mengajakku pergi jauh dari tempat ini.
***
Esoknya aku menceritakan semua kejadian kemarin malam pada Bu Widi. Beliau
menghiburku dan berkata,”Tak ada yang namanya anak haram di dunia ini. Semua
anak terlahir suci tanpa dosa Nadia. Jangan jadikan perkataan ibumu itu menjadi
beban. Bersabarlah karena bagaimanapun dia ibu kamu, lagipula kalau ibu kamu
membenci kamu tentu kamu sudah digugurkan atau mungin dibuang. Buktinya sampai
sekarang ibumu tetap menjaga kamu walau dia mencari nafkah dengan cara yang
salah. Dia hanya masih belum bebas dari luka masa lalunya terhadap ayahmu.” Aku
berusaha mencerna kata-kata lembut Bu Widi,”Ya bu, saya akan selalu berusaha
untuk bersabar, tapi bagaimana dengan acara di Jakarta itu?”,”Ya sudah nanti
ibu yang akan minta izin ke ibumu untuk mendampingi kamu ke Jakarta nanti, kamu
tenang saja ya.” Aku tersenyum mendengar ucapan Bu Widi. Tak lama kemudian bel
tanda istirahat usai berbunyi. Hatiku membuncah dipenuhi harapan-harapan baru.
Sampai-sampai aku berjalan ke kelas sambil melamun,”Nad..Nadia!” aku terkejut
dan mencari sumber suara. Seorang pemuda tanggung menghampiriku dengan sedikit
tergesa,”Nadia aku nyariin kamu dari tadi.”,”Eh ada apa Kak Bima?” tanyaku
heran,”Selamat ya kamu udah jadi pemenang lomba menulis cerpen remaja, aku
mewakili redaksi majalah sekolah untuk meliput berita mengenai kamu di rubrik
profil siswa berprestasi minggu depan. Makanya aku pengen wawancara sama kamu
tapi kamunya nggak ada di kelas.” Kak Bima menyalamiku dengan antusias. Saat
dia menyentuh tanganku, seperti ada kilat yang menyambar di sekitar kepalaku.
Segera kulepaskan jabatan tangannya dan kami membuat janji besok siang akan ada
wawancara mengenai kemenanganku.
Seperti ada mukjizat, aku akhirnya bisa berbicara dengan Kak Bima. Dia adalah
senior yang kukagumi semenjak aku menginjak sekolah ini. Tingginya sedang
dengan senyum ramah yang selalu menghiasi wajahnya. Dia terkenal sebagai salah
satu siswa berprestasi di sekolah. Selain menjabat sebagai ketua OSIS, dia juga
aktif di majalah sekolah. Tentu tak terhitung berapa banyak gadis-gadis di SMA
ini yang diam-diam ingin menjadi kekasihnya. Sekarang aku bisa bicara begitu
dekat dengannya, sungguh suatu keajaiban yang tak kukira, tapi ah, jangan
mengkhayal terlalu tinggi Nadia, Kak Bima menemuimu hanya untuk wawancara saja,
lantas kenapa jantung ini tak bisa berhenti berdetak? Masa iya aku benar-benar
jatuh cinta? Tidak boleh,ini tidak boleh terjadi. Kupercepat langkahku sambil
berusaha menghapus pikiran-pikiran liar yang mulai menyerobot masuk dalam
otakku.
Esok siangnya di perpustakaan sekolah aku melakukan wawancara mengenai
kemenanganku dengan Kak Bima. Tapi debar jantungku tetap tak terkontrol seperti
kemarin, alhasil aku lebih banyak diamk lau tidak diberi pertanyaan oleh Kak
Bima,”Kamu ini orangnya emang pendiam ya?” tiba-tiba Kak Bima mengalihkan
pembicaraan, “Eits apa-apaan ini, bukannya aku harusnya diwawancarai sampai
selesai? Kenapa pembicaraannya jadi tentang aku sih?” batinku ,”Oh,ya emang
begini aku kak. Aku bukan orang yang pinter ngomong, maaf ya.” Sahutku
malu-malu,mendengar jawabanku kak Bima malah menyunggingkan senyumnya yang
paling manis,”Tapi walau pendiam prestasi kamu hebat juga. Kamu juga dapet
beasiswa penuh kan semenjak jadi siswa teladan tahun lalu?”,”Tidak juga kok
Kak.” Wajahku semakin merona malu,”Ohya, kamu kan punya bakat nulis Nad, kenapa
nggak gabung aja sama klub majalah sekolah? Lumayan bakat nulis kamu nanti
semakin terasah nantinya.” Ingin aku menjawab ya, tapi aku teringat sesuatu,”Eh
iya, tapi tiap pulang sekolah aku ada kerja sambilan Kak. Jadi maaf ya, padahal
aku ingin gabung kok.”ujarku sedikit menahan kecewa ,”Lho kamu kerja sambilan
juga? Emang diijinin orang tuamu?” .”Iya maklum aku bukan anak orang berada
seperti teman-teman lain di sekolah ini, jadi untuk menambah uang saku aku juga
cari kerja sambilan.”,”Maaf ya kalau pertanyaanku tadi nyinggung kamu, tapi aku
makin salut lho sama kamu, kamu nggak minder untuk mengakui siapa diri kamu
sebenarnya, pasti orang tua kamu adalah orang tua yang hebat.” puji Kak Bima,
aku hanya tersenyum sambil sedikit menghela nafas.
Tanpa terasa pertemuan kami sudah berakhir, aku terkejut sebelum beranjak Kak
Bima menahan tanganku,”Entar siang boleh aku anter kamu ke tempat kerja nggak,
daripada kamu capek naek angkot?” ,”Maaf Kak, tapi aku nggak mau ngerepotin Kak
Bima, lain kali aja ya, makasih udah mau nganterin.” Tolakku dengan halus,
kemudian aku pamit masuk kelas terlebih dahulu. Gila kenapa Kak Bima
bertingkah laku seperti itu? Apa seorang cowok populer seperti dia memang
pandai bergaul dengan perempuan mana saja ya? Kenapa dengan gampangnya dia mau
mengantarkanku pulang? Aku takut kalau aku menumbuhkan harapan terlalu tinggi
nantinya ketika jatuh rasanya begitu sakit. Mungkin aku takut untuk jatuh
cinta, karena cinta yang kukenal malah membawa luka menahun dan siksaan yang
teramat dalam pada orang yang kusayang, yaitu pada ibuku.
***
Hari ini toko buku tempatku bekerja begitu ramai. Biasanya pukul enam sore aku
sudah berganti shift dengan teman kerjaku yang lain, tapi hari ini dia minta
izin untuk datang sedikit terlambat karena menjaga ibunya
yang sedang sakit. Tepat pukul tujuh aku pulang. Jalanan sudah semakin gelap.
Ketika aku menunggu angkot sendirian, sorot lampu sebuah motor mengejutkanku,”Hai
Nadia, lagi nunggu angkot ya?” sapa pengendara motor di hadapanku, aku
ketakutan dan bersiap-siap untuk lari,”Eh ini aku Bima.” Kak Bima berkata
sambil melepas helm teropongnya,”Aku pikir kakak orang iseng. Maaf ya.” ujarku
lega,”Aku kebetulan lewat sini, kamu barusan pulang kerja? Daripada nunggu
angkot sendirian bahaya tuh, mending aku anter, kebetulan juga aku bawa helm
cadangan.” Kak Bima menawarkan tumpangan untukku,” Jangan takut, aku nggak
bakalan macem-macem. Kalau kamu nggak mau, aku bakalan nungguin kamu
sampe dapet angkot terus kubuntutin dari belakang lho.” ,”Eh jangan dong kak,
iya deh aku ikut Kak Bima.” Lalu aku naik di motornya. Sepanjang perjalanan
kami sama sekali tak terlibat pembicaraan yang penting. Sesampainya di depan
rumah aku sangat terkejut ternyata ibu sudah menunggu di teras rumah,”Darimana
saja kamu Nadia? Bukannya jam segini biasanya kamu udah di rumah?” ibu bertanya
sambil memandang sinis Kak Bima,”Tadi aku lembur Bu, kebetulan di jalan ketemu
Kak Bima, dia kakak kelasku di sekolah, karena sudah malam jadi aku diantar
pulang.”,”Salam kenal bu, nama saya Bima” kak Bima mengulurkan tangannya,”Lain
kali kamu bisa pulang sendirian kan Nad, oya Bima jangan coba-coba dekatin anak
saya ya, dia tidak saya bolehkan untuk pacaran dulu. Kamu bisa mengerti kan?”
ibu berkata dengan ketus,”Ibu salah paham, Kak Bima hanya bermaksud
baik.”,”Udah Nad, mending aku pulang dulu, nggak apa-apa kok,ibu kamu cuma
khawatir. Aku pulang dulu ya.” Kak Bima lalu pulang diikuti dengan tatapan ibu
yang begitu sinis. Aku masuk ke dalam rumah dengan hati yang sangat
kesal,”Jangan gampang didekati lelaki, semua laki-laki di dunia ini brengsek.”
,”Jangan samakan Kak Bima dengan ayah Bu. Lagipula kami hanya berteman, aku
tidak ada niatan buat pacaran sama dia.” ,”Awalnya memang hanya berteman, tapi
selanjutnya dia akan merayumu lalu mengambil semua yang berharga dari kamu.”
Ibu berteriak keras,”Aku tidak pernah minta dilahirkan bu, kalau memang ibu
merasa keberatan dan menderita karena melihat sosokku yang mirip dengan ayah,
lantas ibu berhak mengatur juga menyiksa aku pelan-pelan? Untuk kali ini aku
tidak mau ibu atur-atur lagi, dengan siapa aku berteman itu urusanku!” amarahku
memuncak tak tertahankan lagi. Ibu hanya terdiam di depan pintu, dia sangat
terkejut melihat aku yang berani melawan perkataannya. Aku muak hidup dengan
tekanan seperti ini terus-menerus. Amarah dan kekesalanku sudah sampai
puncak.
“Nadia,kamu... Uhuk,uhuk!” ibu tak melanjutkan perkataannya, ia batuk-batuk
sangat hebat hingga mengeluarkan darah,”Ibu kenapa bu?” aku panik melihat darah
yang keluar dari mulut ibu, belum sempat menjawab ibu langsung jatuh
pingsan,”Tolong,tolong ibuku pingsan!” aku berlari keluar berteriak sekeras
mungkin, pikiranku begitu kalut hingga tak tahu harus berbuat apa. Untungnya
ada beberapa orang tukang becak yang mangkal di dekat rumah mendengar
teriakanku, dengan bantuan mereka akhirnya aku menyetop angkot lalu pergi ke
rumah sakit. Ya Tuhan ada apa dengan ibuku, au hanya bisa menangis sambil
berdoa agar tidak terjadi hal yang serius pada ibu,”Bu sadar bu, maaf tadi aku
membentak ibu.Cuma ibu yang kupunya di dunia ini?” bisikku lirih tapi ibu belum
mau membuka matanya, sontak air mataku mengalir dengan lebih derasnya.
Menurut diagnosa dokter ibu harus segera dirawat inap. Hal berikutnya yang
membuatku sangat terpukul adalah ketika dokter menjelaskan apa penyakit ibu
sebenarnya,”Adik yang tabah ya, ibu adik menderita penyakit AIDS, karena tidak
pernah mendapat perawatan serius sekarang penyakit itu telah menggerogoti
imunitas tubuhnya, dan ibu adik terserang penyakit TBC akut, sehingga butuh
perawatan yang serius di sini.” Seperti ada petir yang menyambar di kepalaku
mendengar penjelasan dokter itu. Aku kembali ke ruang dimana ibu dirawat dengan
hati yang hancur. Ibu masih tertidur di ranjangnya, kugenggam tangannya yang
kecil dan berhiaskan kuteks berwarna merah. Walau seang tertidur wajahnya tetap
terlihat cantik untuk wanita seusianya. Air mataku mengalir tak tertahankan
lagi,”Nadia”panggil ibu dengan sedikit parau,”Ibu jangan banyak bicara. Kata
dokter ibu harus dirawat disini.”,”Ayo pulang, percuma ibu disini, penyakitku
nggak akan sembuh.” Ibu berusaha bangkit dari tidurnya,”Jadi ibu sudah
tahu?”,”Sudah enam bulan ini aku tahu tentang penyakitku.” Ibu menjawab
lemah,”Nggak, ibu nggak boleh kemana-mana, ibu juga nggak boleh kerja lagi. Aku
akan menjaga ibu terus disini.”
Dengan lembut ibu lalu menyeka air mataku, baru kali ini aku melihat kelembutan
terpancar dari wajahnya,”Maafkan aku Nadia. Kamu benar seharusnya aku tidak
boleh melampiaskan kebencianku padamu. Maafkan ibumu yang buruk ini Nadia?”
Lalu aku memeluk tubuh rapuh ibu dan kami menangis tanpa suara.
***
Empat hari berikutnya aku izin tidak masuk sekolah. Tiap siang hingga malam aku
bekerja di toko buku dan juga menjaga ibuku yang dirawat di rumah sakit. Untung
tabunganku dan tabungan ibuku cukup untuk membayar biaya perawatan ibu beberapa
hari ini. Tapi aku mulai gelisah karena uang kami pasti makin menipis nantinya.
Sampai menjelang keberangkatanku ke Jakarta aku tak masuk sekolah. Aku sudah
tak peduli lagi dengan hal lain selain kesehatan ibu. Satu hari sebelum hari
keberangkatanku ke Jakarta, Bu Widi dan Kak Bima datang ke toko buku tempatku
bekerja,”Bu Widi? Kenapa ibu bisa kesini?” tanyaku,”Bima yang memberitahu ibu,
sudah hampir satu minggu kamu absen sekolah, ada apa Nadia? Kalau ada masalah
bukankah kamu selalu cerita pada ibu?” Bu Widi memandangku kecewa,”Ibu saya
sakit , sekarang dia dirawat di rumah sakit bu. Maaf saya tidak sempat
memberitahu ibu.”,”Apa? Ibu kamu jatuh sakit? Baik sekarang antar ibu ke tempat
ibu kamu dirawat.”,” Saya tidak mau merepotkan ibu dan Kak Bima, maaf
bu.”,”Kamu sudah ibu anggap seperti putri ibu sendiri, jadi tolong jangan merasa
seperti orang asing.” Ujar Bu Widi lembut,”Iya Nad, ayo sekarang kita jenguk
ibumu, aku bawa mobil hari ini jadi kita bisa berangkat sama-sama.” Kak Bima
memandangku dengan senyum tulusnya, kemudian kami berangkat menuju rumah sakit
bersama-sama.
Sesampainya di rumah sakit Bu Widi menemui ibuku yang sedang terbaring
lemah,”Bu Sinta.” panggil Bu Widi kepada ibuku, ibuku membuka matanya
perlahan,”Nadia boleh kamu tinggalkan kami berdua sebentar, ibu ingin bicara
dengan ibu kamu. Boleh ya bu?” pinta Bu Widi,”Boleh saja bu, ibu pasti Bu Widi
, guru kesayangan Nadia, Nadia sudah sering cerita tentang ibu, maaf kalau
selama ini kami merepotkan ibu.” ibu menggenggam lembut tangan Bu Widi. Lalu
aku pergi meninggalkan mereka berdua dengan perasaan damai,”Nadia, ini.” Kak
Bima menyodorkan secarik kertas kecil padaku,”Aku tahu ini bukan saat yang
tepat, tapi saat aku meninggalkan rumahmu malam itu, hatiku diiputi perasaan
gelisah, jadi tolong baca surat ini ya.” Aku membacanya pelan dan merasa
bahagia dengan isi suratnya,”Kak Bima, aku memang kagum dengan Kak Bima, tapi
maaf aku tidak bisa membalas perasaan Kak Bima. Aku takut kakak nanti menyesal
kalau jatuh cinta denganku.”,”Aku sudah tahu tentang kamu dari Bu Widi,
siapapun ibu kamu bukan masalah buatku, aku dan Bu Widi akan membantu biaya
perawatan ibu kamu. Jadi tolong pertimbangkan lagi ya.” Aku menatap ke arah
jendela rumah sakit, hatiku diliputi dengan rasa syukur dan gembira, ternyata
Tuhan tak pernah benar-benar meninggalkanku sendirian,”Aku yakin perasaan Kak
Bima tulus padaku, tapi sekarang aku tidak mau memikirkan hal lain. Aku hanya
memikirkan mengenai ibuku saja saat ini.” Kak Bima maklum dengan pendirianku.
Ya, aku tak menyesal, walau cinta itu tak kugapai. Karena untuk saat ini aku
hanya ingin membagi cintaku dengan satu orang saja. Dia seorang wanita
cantik. Wanita itu ibuku.
0 Response to "Wanita Itu Ibuku"
Post a Comment