.
.
Kata Pengantar
Assalamualaikum wr.wb
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat
Allah Swt atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan Matakuliah Dasar Umum (MKDU) yang berjudul “Parti sipasi Masarakat Dalam Proses Pembentukan Undang Undang” ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah dasar
umum supaya pengetahuan kita lebih luas dan mengeti tentang perkembanganya.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan trimakasih yang tak terhingga
kepada semua pihak yang telahmemberikan partisipasinya, pengarahan dan pemikiran
dalam penulisan makalah kuliah dasar umum (MKDU) ini
Atas semua keihlasannya yang telah membantu hingga terlaksanakannya dan
terselesainya Makalah Kuliah Dasar Umum (MKDU) ini semoga bermanfaat bagi kita
semua yang membaca Amin.
Wassalamualaikum wr.wb
Kotabumi,22 juni 2014
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
KATAPENGANTAR
..................................................................................... ii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iii
BAB
I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah........................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah.................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan Makalah........................................................................ 3
BAB II
PARTISIPASI
MASYARAKAT DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
2.1 Definisi Partisipasi................................................................................... 3
2.2 Dasar Hukum Partisipasi.......................................................................... 5
BAB III
PARTISIPASI
MASYARAKAT
3.1 Bentuk-Bentuk Partisipasi...................................................................... 6
3.1.1 Partisipasi masyarakat pada tahap ante legislative............................ 9
3.1.2 Partisipasi
masyarakat pada tahap legislative................................... 11
31.3 Partisipasi marsyarakat pada tahap post legislative........................... 14
BAB
IV PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1. Latar
Belakang
Partisipasi merupakan sistem yang berkembang dalam sistem politik modern.
Penyediaan ruang publik atau adanya partisipasi masyarakat merupakan
tuntutan yang mutlak sebagai upaya demokratisasi. Masyarakat sudah
semakin sadar akan hak-hak politiknya. Pembuatan peraturan perundang-undangan,
tidak lagi semata-mata menjadi wilayah dominasi birokrat dan parlemen. Meskipun
partisipasi masyarakat ini terlalu ideal dan bukan jaminan bahwa suatu
undang-undang yang dihasilkannya akan dapat berlaku efektif di masyarakat,
tetapi setidak-tidaknya langkah partisipatif yang ditempuh oleh lembaga
legislatif dalam setiap pembentukan undang-undang, diharapkan dapat lebih
mendorong masyarakat dalam menerima hadirnya suatu undang-undang. Keberadaan
partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan UU sangat penting dalam
mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan melalui perangkat UU.
Demikian juga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pemegang legislasi,
dituntut untuk membuka pintu yang seluas-luasnya dalam persoalan partisipasi,
apabila disepakati bahwa reformasi politik di Indonesia merupakan tahapan untuk
menuju demokratisasi. Karena anggota DPR merupakan perwujudan representasi
politik rakyat yang harus peka kepada aspirasi publik yang telah memilihnya.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Peran apa yang
dapat dilakukan masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan?
2.
Hak-hak
apa yang menjadi dasar masayarakat dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan?
1.3 Tujuan Penulisan Makalah
1.
Untuk memenuhi
persyaratan penilaian dalam mata kuliah Ilmu Perundang-undangan;
2.
Memberi atau
setidaknya menambah sedikit khasanah pemikiran teman-teman baik diruang
akademik maupun ruang publik terkait materi yang kami bawakan.
BAB II
PARTISIPASI
MASYARAKAT DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
2.1. Definisi
Partisipasi
Partisipasi
masyarakat dalam konteks penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sebenarnya
adalah untuk memberdayakan masyarakat, yaitu yang pertama masyarakat mendapat
kesempatan luas dan akses untuk menyampaikan dan memperjuangkan aspirasi yang
menjadi haknya dan mengetahui dan memahami kewajiban dan tanggung jawabnya
sebagai warga negara atau warga masyarakat. Kedua, selaku pemangku kepentingan
mendapat kesempatan untuk meningkatkan kemampuannya di dalam melakukan fungsi
pengawasan publik. Fungsi pengawasan publik dapat dilakukan melalui berbagai
kegiatan, salah satu diantaranya adalah kegiatan advokasi terhadap kebijakan
publik. Advokasi dilakukan agar lembaga atau pejabat pengambil kebijakan tidak
bertindak sewenang-wenang dalam mengunakan kekuasaan dan kewenangannya,
terutama yang berkaitan dengan kepentingan kepastian dan perlindungan hukum
serta kesejahteraan masyarakat.
Dalam hubungan
dengan advokasi, selain melakukan pengawasan dan memberikan kritik juga
memberikan masukan-masukan kepada lembaga atau pejabat yang berwenang mengenai
apa yang dibutuhkan masyarakat untuk diatur. Apa yang menjadi kewajiban dan
tanggung jawab pemerintah dan wakil rakyat dalam memberikan pelayanan dan
pengayoman terhadap masyarakat dan apa yang harus dilakukan oleh masyarakat
untuk memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya. Dalam hal ini, menjadi
keharusan bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah, terutama aparat birokrasi
memberikan ruang yang cukup bagi pemberdayaan masyarakat guna mengembangkan dan
meningkatkan peran aktifnya di dalam mendukung pesiapan, perencanaan dan pelaksanaan
kegiatan penyusunan dan pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan untuk
keberhasilan dilaksanakannya suatu Peraturan Perundang-undangan.
Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang subyek dan obyeknya terkait dengan
masyarakat, pada dasarnya dapat terjadi karena, Pertama: kebutuhan masyarakat
itu sendiri untuk diatur, yaitu berkaitan dengan aspirasi dan kebutuhan
masyarakat untuk mengatur norma atau nilai-nilai yang telah ada di masyarakat
menjadi norma hukum yang mengikat. Dalam hal ini Pemerintah bertindak sebagai
fasilitator, masyarakat diberi kesempatan untuk merumuskan sendiri apa yang
dituju, diperlukan dan arah pengaturan, serta muatan materi pengaturannya.
Selanjutnya, pemerintah dalam kapasitas sebagai regulator, mengakomodir aspirasi
masyarakat dan memadukan dengan kebijakan hukum dan Peraturan
Perundang-undangan nasional dan/atau daerah. Kedua: menjabarkan Visi, Misi dan
Arah kebijakan hukum untuk tujuan pembaharuan dan tuntutan perubahan kehidupan
di masyarakat, dengan mengatur hal-hal baru yang dapat membentuk nilai-nilai
baru dalam masyarakat, dan bertentangan dengan nilai-nilai yang sudah ada di
masyarakat yang berdampak pada perubahan nilai-nilai dan norma masyarakat.
Dewasa ini
pembentukan Peraturan Perundang-undangan lebih banyak diadakan pada pilihan
kedua tersebut diatas, dan karena tidak sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan
masyarakat, banyak Peraturan Perundang-undangan yang tidak dapat dilaksanakan
atau mendapat reaksi keras dari sebagian masyarakat. Untuk itu, diperlukan pemahaman
terhadap keberagaman nilai dan norma yang hidup dan berlaku di masyarakat,
dengan memberdayakan masyarakat untuk berperan aktif di dalam proses
perancangan, perencanaan, penyusunan, pembahasan suatu rancangan Peraturan
Perundang-undangan. Selain dari apa yang sudah diatur dalam Peraturan
Perundang-undangan diatas (bersifat formalitis), partisipasi masyarakat dalam
konteks menyerap aspirasi dan masukan dari masyarakat, dapat dilakukan melalui
berbagai cara dan kegiatan. Akan lebih tepat dan memadai, apabila pengambil
keputusan pembentukan Undang-Undang atau Perda bertindak proaktif dalam
melakukan penjaringan asmara atau penyerapan aspirasi masyarakat. Sejak dini
atau sejak perancangan dan persiapan rencana penyusunan Rancangan Undang-Undang
atau Raperda, dirancang kegiatan untuk melakukan desiminasi, sosialisasi atau
dialog langsung dengan masyarakat, mengenai hal-hal yang direncanakan dan/atau
hal-hal yang dibutuhkan oleh masyarakat.
2.2 Dasar Hukum Partisipasi
Pada tanggal 12
Agustus 2011 Pemerintah secara resmi mengundangkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dengan berlakunya
Undang-Undang ini, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.
Sebagian besar
substansi dari Undang-undang ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 poin-poin perubahan tersebut antara lain sebagai berikut:
1.
penambahan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis Peraturan
Perundang-undangan dan hierarkinyaditempatkan setelah Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
perluasan
cakupan perencanaan Peraturan Perundang-undangan yang tidak hanya untuk
Prolegnas dan Prolegda melainkan juga perencanaan Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, dan Peraturan Perundang-undangan lainnya;
3.
pengaturan
mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4.
pengaturan
Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan dalam penyusunan Rancangan
Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota;
5.
pengaturan
mengenai keikutsertaan Perancang Peraturan Perundangundangan, peneliti, dan
tenaga ahli dalam tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan
6.
penambahan
teknik penyusunan Naskah Akademik dalam Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011.
Dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan diatur oleh UU RI No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Peraturan Perundang-Undangan yaitu Pasal 96 ayat
1 dan 2 yang menjelaskan:
BAB III
PARTISIPASI MASYARAKAT
Pasal 96
1.
Masyarakat
berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
2.
Masukan secara
lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
melalui:
a. rapat
dengar pendapat umum;
b. kunjungan
kerja;
c. sosialisasi;
dan/atau
d. seminar,
lokakarya, dan/atau diskusi.
3 Masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang
mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan.
4 Untuk memudahkan masyarakat
dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat
diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Maka dapat
dikatakan bahwa dasar hukum yang mengatur peran masyarakat dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan hanya dalam satu buah pasal, yaitu Pasal 96. Dan menurut
kami hal tersebut masih jauh dari apa yang dicita-citakan masyarakat dimana
masyarakat juga dan perlu untuk ikut berpastisipasi secara aktif dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan.
3.1. Bentuk-bentuk
Partisipasi
Partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan undang-undang pada dasarnya
dapat dilakukan dalam berbagai model pilihan partisipasi sesuai dengan tingkat
perkembangan politik suatu negara. Partisipasi masyarakat ini akan tergantung
dari kesadaran masyarakat dalam tatanan kehidupan bermasyarakat berbangsa dan
bernegara, berikut adalah model-model partisipasi masyarakat dalam pembentukan
Undang-Uundang
a. Pure Representative Democracy
Dalam model partisipasi publik yang pertama ini, sifat partisipasi
masyarakatnya masih pure atau murni. Artinya, rakyat selaku
warga negara dalam suatu negara demokrasi keterlibatannya dalam
pengambilan keputusan publik dilakukan oleh wakil-wakil yang dipilih melalui
pemilihan umum untuk duduk dalam lembaga perwakilan. Dalam hal ini, masyarakat
hanya tinggal menerima saja apa yang akan diproduk oleh legislator dalam
pembentukan UU.
b. A
Basic Model of Public Participation
Dalam model
yang kedua ini digambarkan bahwa rakyat telah melakukan interaksi
keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan, tidak hanya melalui
pemilihan umum tetapi dalam waktu yang sama juga melakukan kontak dengan
lembaga perwakilan. Meskipun
demikian model partisipasi ini belum dapat dikatakan sebagai bentuk dan hakikat
interaksi yang sebenarnya.
c. A
Realism Model of Public Participation
Dalam model
pilihan yang ketiga ini, public participation pelaku-pelakunya cenderung
dilakukan dan didominasi oleh adanya kelompok-kelompok kepentingan dan
organisasi-organisasi lainnya yang diorganisir. Publik, selain ikut dalam pemilihan umum juga melakukan interaksi dengan
lembaga perwakilan. Akan tetapi tidak semua warga negara melakukan public
participation dalam bentuk membangun kontak interaksi dengan lembaga
perwakilan. Pelaku-pelaku public participation telah mengarah pada
kelompok-kelompok kepentingan dan organisasi-organisasi lainnya yang
diorganisir. Dengan demikian terdapat kecenderungan untuk memahami “public”
dalam konteks yang terbatas.
d. The
Possible Ideal for South Africa
Model
alternatif yang diperkenalkan sebagai bentuk keempat dari berbagai partisipasi
masyarkat ini, merupakan perluasan dalam memasukkan tiga kelompok partisipan,
yaitu : those who are organized and strong; those who are organized but weak;
and those who are weak and unorganized. Dengan menerapkan model ini, pemerintah dapat mengembangkan visi strategis
yang dapat ditujukan kepada ketiga kelompok tersebut secara bersama-sama. Dalam
model ini, pada gilirannya memunculkan dua tambahan dimensi yaitu: a) dimensi
peranan partai-partai politik dan partai mayoritas; b) dimensi hubungan
perwakilan dengan eksekutif.
Dalam sumber
yang lain juga dinyatakan beberapa bentuk-bentuk partisipasi yang lain yang
dapat di tempuh oleh masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Proses
pembentukan UU pada dasarnya dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu: tahap ante
legislgtive, tahap legislative dan tahap post legislative.
Dalam tiga tahap tersebut, pada dasarnya nnasyarakat dapat berpartisipasi
memberikan masukannya sesuai dengan keinginannya. Masyarakat dapat
berpartisipasi pada seluruh tahapan proses pembentukan UU maupun memilih salah
satu tahapan saja. Akan tetapi, bentuk partisipasi masyarakat ini berbeda – meskipun
ada pula yang sama – antara satu tahapan dengan tahapan yang lain. Artinya,
bentuk partisipasi masyarakat pada tahap sebelum legislatif tentu berbeda
dengan bentuk partisipasi masyarakat pada tahap Iegislatif maupun tahap setelah
legislative. Jadi, bentuk partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan UU
disesuaikan dengan tahap-tahap yang tengah dilakukannya.
3.1.1 Partisipasi
masyarakat pada tahap ante legislative
Pada tahap ante
legislative terdapat empat bentuk partisipasi masyarakat yang dapat dilakukan
dalam proses penrbentukan UU, yaitu: i. penelitian ii. diskusi, lokakarya dan
seminar, iii. pengajuan usul inisiatif; dan iv. perancangan. Secara ringkas
berbagai bentuk partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan UU pada tahap
ante legislatif ini adalah:
I.Partisipasi masyarakat dalam bentuk penelitian
Partisipasi
masyarakat dalam bentuk penelitian ini dapat dilakukan masyarakat ketika
melihat adanya suatu persoalan dalam tatanan hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara yang perlu diteliti dan dikaji secara mendalam dan memerlukan
penyelesaian pengaturan dalam suatu UU.Penetitian ini
dapat dilakukan secara mandiri maupun kerjasama dengan suatu instansi
pemerintahan yang menangani bidang tersebut. Hasil dari penelitian dituangkan
dalam format laporan penelitian sehingga dapat dipakai sebagai dasar dalam
proses lebih lanjut pembentukan UU.
II.Partisipasi masyarakat dalam bentuk diskusi, Iokakarya dan seminar
Partisipasi
masyarakat dalam bentuk diskusi, lokakarya dan seminar pada tahap ante
legislatif ini dapat dilakukan sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian
terhadap suatu obyek yang akan diatur dalam UU. Diskusi, lokakarya dan seminar ini akan memberikan sumbangan yang penting
dalam pengkajian terhadap persoalan materi muatan suatu RUU karena dilakukan
oleh para akademisi, pengamat, dan pakar di bidangnya masing-masing. Oleh
karena itu wacana yang dihasilkan dari suatu diskusi, lokakarya dan seminar
akan lebih utuh dan komprehensif dalam melihat suatu persoalan yang akan dimuat
dalam RUU. Jadi, diskusi, lokakarya dan seminar akan memperkaya wawasan
terhadap materi yang akan dituangkan dalam RUU sehingga akan sangat membantu
dalam proses penuangan dalam naskah akademik maupun RUUnya.
III.Partisipasi masyarakat dalam bentuk pengajuan usul inisiatif
Pengajuan usul
inisiatif untuk dibuatnya suatu UU dapat dilakukan masyarakat dengan atau tanpa
melalui penelitian, diskusi, lokakarya dan seminar terlebih dahulu. Akan tetapi,
usul inisiatif ini tentu akan lebih kuat jika didahului dengan penelitian,
diskusi, lokakarya dan seminar terhadap suatu masalah yang akan diatur dalam
suatu UU. Pengajuan usul inisiatif dari
masyarakat dapat diajukan melalui tiga jalur pilihan yaitu: Presiden DPR dan
DPD (untuk RUU tertentu). Agar usul inisiatif ini dipertimbangkan dan lebih
mudah diterima maka usul inisiatif masyarakat untuk dibuatnya suatu UU harus
disesuaikan dengan program legislatif nasional yang telah ditentukan oleh Badan
Legislasi di DPR.
IV.Partisipasi masyarakat dalam bentuk perancangan terhadap suatu RUU
Partisipasi
masyarakat dalam bentuk perancangan terhadap suatu UU dapat dilakukan
masyarakat sebagai wujud partisipasi masyarakat yang terakhir dalam tahap ante
legislatif. Artinya, setelah melakukan
penelitian, pengusulan usul inisiatif maka pada gilirannya masyarakat dapat
menuangkan hasil penelitian dalam RUU. Di dalam RUU sebaiknya didahului dengan
uraian Naskah Akademik dibuatnya suatu RUU.
Selanjutnya
dari berbagai pokok pikiran dalam Naskah Akademik kemudian dituangkan dalam RUU
menurut format yang standar sebagaimana diatur dalam UU No.10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
3.1.2. Partisipasi
masyarakat pada tahap legislative.
Pada tahap
legislatif terdapat enam bentuk partisipasi masyarakat yang dapat dilakukan
masyarakat dalam proses pembentukan UU. Bentuk partisipasi masyarakat pada
tahap legislatif ini merupakan jumlah terbanyak bila dibandingkan dengan dua
tahap lainnya. Hal ini dapat dijelaskan bahwa ketika pembahasan RUU memasuki
tahap legislatif di DPR, maka biasanya banyak masyarakat yang terusik
kepentingannya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pada tahap legislatif
ini banyak bentuk partisipasi masyarakat yang dilakukan dalam proses
pembentukan UU.
Adapun keenam
bentuk partisipasi masyarakat tersebut adalah:
I.Partisipasi masyarakat dalam bentuk audensi/RDPU di DPR
Partisipasi
masyarakat dalam bentuk audensi/RDPU di DPR ini dapat dilakukan masyarakat baik
atas permintaan langsung dari DPR (RDPU) maupun atas keinginan masyarakat
sendiri (audensi). Apabila partisipasi masyarakat ini atas dasar permintaan
dari DPR, maka partisipasi masyarakat disampaikan kepada yang meminta
dilakukannya rapat dengar pendapat umum (RDPU). Akan tetapi untuk partisipasi
masyarakat dalam bentuk audensi atas keinginan langsung dari masyarakat, maka
masyarakat dapat memilih alat kelengkapan DPR yang diharapkan dapat menyalurkan
aspirasi masyarakat, misalnya Panitia Verja, Komisi, Panitia Khusus, Fraksi
dsb. Audensi/RDPU ini dapat dilakukan oleh masyarakat baik secara lisan,
tertulis maupun gabungan antara lisan dan tertulis.
II.Partisipasi masyarakat dalam bentuk RUU alternatif
Partisipasi
masyarakatdalam bentuk penyampaian RUU altematif ini dapat dilakukan oleh
masyarakat dengan membuat RUU alternatif ketika RUU yang tengah dibahas di
lembaga legislatif belum atau bahkan tidak aspiratif terhadap kepentingan
masyarakat luas. Penyusunan RUU alternatif dilakukan dengan mengikuti format
sebagaimana diatur dalam UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Penyampaian RUU alternatif ini harus dilakukan pada tahap
awal pembahasan RUU di lembaga legislatif, yaitu, bersamaan dengan dilakukannya
pengajuan RUU kepada DPR baik yang dilakukan oleh Pemerintah maupun DPR
sendiri. Sebab, jika penyampaian RUU alternatif baru diajukan pada pertengahan
atau bahkan diakhir pembahasan suatu RUU, maka sasaran disampaikannya RUU
alternatif tidak akan effektif dalam mempengaruhi pembahasan suatu RUU.
III.Partisipasi masyarakat dalam bentuk masukan melalui media cetak
Partisipasi
masyarakat dalam bentuk masukan melalui media cetak ini dapat dilakukan oleh
masyarakat dengan membuat opini terhadap suatu masalah yang tengah dibahas
dalam lembaga legislatif. Opini masyarakat ini dapat berupa artikel, jumpa
pers, wawancara, pernyataan-pernyataan, maupun berupa tajuk-tajuk berita dari
surat kabar dan majalah. Partisipasi masyarakatmelalui media cetak ini banyak
dilakukan masyarakat, karena caranya yang relatif praktis bila dibandingkan
dengan bentuk partisipasi masyarakat lainnya. Artinya pelaku partisipasi
masyarakat tidak akan kehilangan banyak waktu untuk melakukannya. Akan tetapi,
bentuk partisipasi masyarakat melalui media cetak ini, mempunyai sisi kelemahan
yaitu opini yang disampaikan belum tentu sampai ke tangan yang berwenang
membahas suatu RUU. Oleh karena itu selain disampaikan kepada media cetak
sebaiknya materi dikirim juga ke DPR baik melalui pos maupun email sehingga
langsung diterima oleh alat kelengkapan DPR yang tengah membahas suatu RUU.
IV.Partisipasi masyarakat dalam bentuk masukan melalui media elektronik
Partisipasi
masyarakat dalam bentuk masukan melalui media elektronik ini dapat dilakukan
oleh masyarakat dengan membuat dialog dengan menghadirkan narasumber yang
kompeten terhadap suatu masalah yang tengah dibahas dalam lembaga legislatif.
Dialog melalui media elektronik ini mempunyai jangkauan yang cepat luas dan
dapat mendorong masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam membahas persoalan
yang menyangkut masyarakat luas. Oleh karena itu, partisipasi masyarakat dalam
bentuk media elektronik ini perlu digalakkan dalam proses pembentukan UU
sehingga akan menyadarkan masyarakat tentang hak dan kewajibannya yang akan
diatur dalam UU.
V.Partisipasi masyarakat dalam bentuk unjuk rasa
Partisipasi
masyarakat dalam bentuk unjuk rasa ini dapat dilakukan masyarakat dalam rangka
mendukung, menolak maupun menekan materi yang tengah dibahas dalam proses
pembentukan UU. Unjuk rasa ini dapat dilakukan baik secara individual maupun
kelompok masyarakat dengan jumlah yang besar. Akan tetapi, pengaruh dari unjuk
rasa ini akan lebih berhasil dalam mempengaruhi lembaga legislatif jika
dilakukan oleh masyarakat yang langsung berkepentingan, dengan jumlah yang
besar dan dilakukan secara berkelanjutan. Unjuk rasa ini merupakan ungkapan kebebasan
individu warga negara atas kepentingannya yang akan diatur dalam suatu UU.
Jadi, unjuk rasa ini tidak dapat hanya dianggap sebagai angin lalu dalam proses
pembentukan UU.
VI.Partisipasi masyarakat dalam bentuk diskusi, lokakarya dan seminar
Partisipasi
masyarakat dalam bentuk diskusi, lokakarya dan seminar ini dapat dilakukan
masyarakat dalam rangka memperoleh kejelasan persoalan terhadap materi yang
tengah dibahas dalam lembaga legislatif. Karena diskusi, lokakarya dan seminar
ini dilakukan ketika proses pembentukan UU tengah memasuki pembahasan dalam
tahap legislatif, maka narasumber yang dihadirkan tidak hanya dari kalangan
para ahli, akademisi, pakar maupun pengamat, tetapi sebaiknya mendatangkan juga
politisi yang berkecimpung langsung dalam pembahasan suatu RUU. Dengan
demikian, diskusi, lokakarya dan seminar, akan mendapatkan gambaran yang utuh
terhadap persoalan yang tengah dibahas dalam lembaga legislatif.
3.1.3. Partisipasi
marsyarakat pada tahap post legislative
Apabila dilihat
secara selintas, tahap post legislatif ini tidak dapat dimasukkan dalam proses
pembentukan UU. Akan tetapi, justru pada tahap post legislatif inilah
produk suatu UU mempunyai makna dalam kehidupan riil masyarakat.Artinya, dalam suatu negara yang menganut sistem demokrasi, maka suatu
produk UU harus berpihak pada kepentingan rakyat. Oleh karena itu, partisipasi
masyarakat dalam proses pembentukan UU pada tahap post legislative dapat
dilakukan dalam berbagai bentuk:
I.Unjuk rasa terhadap UU baru
Adanya UU baru
dapat disikapi beraneka ragam oleh masyarakat, karena sangat mungkin dengan UU
yang baru itu bukan menyelesaikan masalah, tetapi justru menimbulkan masalah
sosial baru dalam masyarakat. Sikap itu dapat berupa dukungan atau penolakan
terhadap lahirnya UU baru yang diwujudkan dengan unjuk rasa. Akan tetapi,
sayangnya, unjuk rasa terhadap UU baru itu lebih ditujukan untuk menolak UU
dari pada mendukung munculnya UU baru. Padahal sebenarnya, unjuk rasa juga
dapat dilakukan terhadap adanya UU baru yang sesuai dengan keinginan
masyarakat. Oleh karena itu, unjuk rasa ini merupakan suatu bentuk partisipasi
masyarakat dalam proses pembentukan UU –khususnya unjuk rasa yang menolak –
karena akan mendorong penyempurnaan atau penggantian dengan UU yang lebih baik.
II.Tuntutan pengujian terhadap UU
Suatu UU yang
telah diproduk oleh lembaga legislatif dan telah disahkan oleh Presiden serta
dimuat dalam lembaran negara mempunyai kekuatan mengikat dan sah berlaku di
masyarakat. Meskipun demikian, dalam suatu negara demokrasi – termasuk di
Indonesia – rakyat mempunyai keleluasaan untuk menanggapinya. Bagi masyarakat
yang belum atau tidak puas dengan lahirnya UU dapat melakukan permohonan uji
materiil terhadap UU tersebut. Sebab, konsepsi Negara Demokrasi tidak dapat dilepaskan
dari prinsip Negara Hukum dengan konstitusi sebagai hukum dasar yang tertinggi
dalam Negara. Oleh karena itu, adanya uji materiil terhadap Undang-Undang
adalah dimaksudkan dalam rangka menjaga tegaknya konstitusi dari penyalahgunaan
kekuasaan dari organ pembuat UU. Sebab, UU dibuat oleh lembaga legislatif yang
merupakan lembaga politik dan oleh karena itu tak dapat dielakkan dapat sarat
dengan kepentingan politik di dalamnya. Jadi, tuntutan uji material terhadap UU
adalah hak masyarakatyang harus tetap dijamin dalam mewujudkan adanya
partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan UU.
III.Sosialisasi UU
Dalam rangka
menyebarkan produk UU yang baru dikeluarkan oleh lembaga legislatif, maka
masyarakat dapat berpartisipasi melakukan berbagai kegiatan berkaitan dengan
lahirnya UU baru. Bentuk-bentuk kegiatan ini dapat berupa penyuluhan, seminar,
lokakarya, diskusi dsb. Dengan cara demikian, maka keberadaan suatu UU
tidak hanya diketahui oleh kalangan elit yang berkecimpung langsung dalam
proses pembentukan UU, tetapi akan cepat dikenal luas oleh masyarakat. Jadi,
sosialisasi UU kepada masyarakat luas merupakan juga sebagai bentuk partisipasi
masyarakat dalam proses pembentukan UU
BAB III
PENUTUP
Partisipasi publik adalah suatu keniscayaan bagi suatu negara-negara
demokrasi dalam rangka membangun hubungan yang harmonis antara negara dengan
masyarakat sipil. Tidak mengherankan jika pada negara-negara yang telah
maju maupun negara-negara berkembang memberikan tempat bagi adanya
partisipasi publik dalam pembentukan UU meskipun melalui proses yang
berbeda. Ada negara demokrasi di mana partisipasi publik lahir sebagai suatu
proses evolusi dari kematangan politik suatu bangsa, namun ada pula negara
demokrasi yang sejak awal berdirinya negara secara sadar menempatkan
partisipasi publik sebagai bagian dari matieri muatan konstitusinya Berikut
contoh beberapa Negara di dunia yang menerapkan partisipasi publik:
Jerman misalnya, sebagai negara yang telah banyak berpengalaman dalam
menerapkan sistem demokrasi telah menemukan suatu proses yang mapan dalam
memberikan ruang gerak bagi partisipasi publik. Artinya, dalam suatu proses
politik yang telah bertahun-tahun dibangun di Jerman, partisipasi publik
merupakan suatu kekuatan tersendiri dalam proses pengambilan keputusan dalam
pembentukan UU. Namun, fokus utama dari kekuatan partisipasi publik di Jerman
bukan pada masyarakat secara keseluruhan, melainkan terutama dilakukan oleh
experts.
Demikian juga dengan negara Kanada, Partisipasi publik dalam
keputusan-keputusan pemerintahan telah menjadi suatu ketentuan yang
istimewa dalam kehidupan politik di Kanada. Adanya partisipasi publik
dalam pengambilan kebijakan publik ini telah muncul sejak dekade tahun 60 dan
70 an. Meskipun konstitusi Kanada maupun aturan hukum pada umumnya tidak
memberikan tempat bagi partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan
publik. Akan tetapi, partisipasi publik mempunyai peran yang signifikan dalam
pembuatan kebijakan dan pembentukan hukum.
Dengan
demikian, materi muatan dan konsepsi Rancangan Undang-Undang atau Raperda yang
akan disusun seharusnya tidak hanya didasarkan pada hasil: pemikiran, pendapat
dan penalaran atas konsep, teori, pengalaman, dan legal formal, serta prinsip
pokok benar sendiri dan untuk kepentingan kekuasaan, politik atau kepentingan
kelompok tertentu. Inilah sebenarnya, kenapa proses partisipasi masyarakat
tidak berjalan sebagaimana diharapkan, dan masyarakat kecewa karena merasa
tidak didengar aspirasinya. Kondisi demikian, menjadikan masyarakat bersikap
apatis, dan mengaktualisasikan ketidak puasannya dengan penolakan, demonstrasi,
bahkan tindakan anarkhis dan melawan hukum. Yang perlu dipahami bersama, bahwa
keberadaan suatu Peraturan Perundang-undangan adalah untuk kepentingan bersama,
dan harus dirumuskan dan dibuat berdasarkan kesepakatan bersama, melalui proses
pemberdayaan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
[1] http://dodiksetiawan.wordpress.com/2011/11/21/uu-12-tahun-2011-tentang-pembentukan-peraturan-perundang-undangan/
0 Response to "Makalah Parti sipasi masarakat dalam Pembentukan Undang-Undang"
Post a Comment